5° Ketakutan
"Mbak, ayok kita dolan petak umpet!" seru adikku membuatku segera berlari mengajaknya ke pohon beringin yang sepi karena masih pagi.
"Mbak hitung ya, saiki cepet adek ngumpet!" suruhku dan dia melakukan tanda hormat saat aku akan menempelkan tanganku di pohon dan memejamkan mata sambil menghitung kencang.
"Hiji .... "
"Loro .... "
"Telu .... "
Suara langkah kaki kencang terdengar membuatku terkikik geli, adikku pasti sekarang sedang bersembunyi di balik beberapa pepohonan di dekat sana.
"Papat .... "
"Lima .... "
"Enam .... "
"Pitu .... "
Tap.
Tap.
"Wolu ...."
Suara langkahan kaki terdengar mendekat, aku tersenyum geli ingin mengintip saat adikku berjalan ke arah sini.
Apa adikku akan menyerah kali ini?
"Sa—"
"Mbak?!"
Aku segera menengok saat adikku berteriak memanggil dari arah yang agak jauh dariku.
"Mbak iku," dia menunjuk sesuatu di samping kiriku membuatku menengok pada seseorang yang sudah berlari jauh dengan pakaiannya yang serba hitam dan topi yang melingkar di kepalanya.
"Ada opo?" tanyaku perhatian mendekati adikku yang saat itu berumur 6 tahun. Dia menatapku dengan pandangan pertanyaan.
"Mbak pengin dolanan masak-masak karo ibu tadi ya?" tanyanya sambil tersenyum membuatku heran dan hanya ku elus rambutnya untuk segera pulang dari tempat ini.
Aku merasakan hal aneh dan menengok ke belakang saat melihat orang itu mengintip dari balik bangunan tua yang tidak jauh dari tempatku. Aku langsung saja mengajak adikku pulang karena merasa ada yang aneh.
Setelah sampai di rumah, aku hanya menganggapnya biasa saja karena semua itu mungkin cuma pikiran burukku saja.
Sampai beberapa jam kemudian, adikku membawa sesuatu dari dapur dan mengajakku untuk bermain.
"Mbak, ayok dolan masak-masak!" ucapnya membuatku terkejut bukan main dan segera mengambil benda tajam itu, "Adek, ini benda tajam. Dolan yang lain aja ya," tuturku sambil menaruh pisau itu kembali ke dapur dan segera menemani adikku untuk bermain di luar bersama teman-temannya.
Aku membuka mataku terkejut dengan kedua anak di depanku. Kedua ini anak yang sama yang membuatku teringat akan hal menyeramkan.
Tidak, bahkan kenyataan menyeramkan yang membuatku merinding.
"Kakak kok tidur?" tanya anak kecil berkepang itu membuatku tersenyum geli dan mengelus rambutnya pelan, "soalnya udara disini sejuk."
"Iya benar?! Kak Fero juga suka tidur di sini, kak! Dia juga suka tidur sambil buka matanya, kak!" aku terkikik saat menatap kakak lelakinya yang menatap adiknya datar.
"Kakak, adek! Ayok pulang ayah udah jemput!" suara halus itu membuat mereka yang tadi duduk di sampingku segera berdiri dan membersihkan pantatnya dari tanah yang menempel.
"Aku pergi dulu ya, kak. Semoga bisa bertemu lagi!" lontar perempuan berkepang itu riang dan sang kakak yang tersenyum padaku setelahnya membawa pergi adiknya ke seorang ibu yang sepertinya masih muda yang tersenyum sopan padaku.
Setelah mereka pergi tanpa terlihat lagi, pikiranku berkelana pada kenyataan yang aku peroleh lewat mimpi.
"Apa itu yang membuat adikku ingin bermain dengan pisau ya?" tanyaku merinding sendiri sambil memeluk tubuhku menatap pohon beringin di belakangku dan anak-anak yang bermain di sana.
Saat itu aku berumur 8 tahun, aku baru sadar setelah hampir 30 tahun berlalu begitu cepat.
"Siapa dia?" tanyaku kemudian, aku hanya bisa mengingat kalau dia perempuan yang sudah dewasa.
Yang aku tanyakan sekarang adalah aku punya masalah apa dahulu sampai bisa ingin dibunuh oleh seseorang yang tidak aku kenali?
Aku mengerang frustasi dan kembali mengingat sesuatu hal yang cukup aku selidiki.
"Karena hidup lebih lama, aku tahu beberapa hal yang tidak pernah aku sangka sebelumnya."
Sebenarnya apa yang terjadi?
❃.✮:▹ ◃:✮.❃
Hari sudah mulai petang, aku baru sampai di kos-kosan setelah pulang berjalan kaki untuk menghemat uang. Ya walaupun beberapa jalan membuatku tersesat, tapi aku senang mendapatkan jalan tikus yang membuatku bisa datang dan pulang ke sini dengan cepat jika sewaktu-waktu ingin pergi lagi.
Aku menatap Mbak Yessa yang mengeluarkan motornya yang berada di teras, ia menatapku dengan tersenyum.
"Aku mau ke minimarket, kamu mau ikut?" tanyanya membuatku terdiam sebentar.
Sebenarnya aku sangat ingin sekali rebahan, tapi karena sudah tidur siang di pohon beringin, aku menganggukkan kepalaku setuju dan Mbak Yessa memberikanku sebuah helm yang tidak terpakai setelah aku menaiki motornya. Dia langsung saja tancap gas dan aku bisa menaiki motor untuk yang pertama kalinya.
Sungguh, angin sejuk menyapaku dengan semangat membuatku merasa telah hidup di zaman batu.
Mungkin anak zaman sekarang akan mengatai diriku semacam kudet.
Ya sebenarnya memang benar, tapi mengertilah kenyataan bahwa aku hanya seorang anak 17 tahun jadi-jadian yang sebenarnya sudah berumur hampir 40 tahun.
Mungkin kalau aku hidup seusiaku, aku sudah mempunyai anak dan sedang merawat mereka dengan sepenuh hati.
Setelah membayangkan hal yang tidak wajar, kami sudah sampai di minimarket yang sudah bisa aku kenali.
Ini tempat kerjaku dulu, atau mungkin bukan tempat kerjaku karena pemiliknya mengusirku dengan sembrono.
"Kamu boleh ngambil apa aja kok, aku traktir karena kamu udah nemenin aku ke sini," ucapnya lembut membuatku menggeleng tanpa mengeluarkan suara, "tidak apa-apa, sebenarnya aku sudah mengajak anak kos-kosan tapi tidak ada yang mau. Jadi ambil saja, jangan sungkan."
Kami segera berjalan ke arah yang berlawanan, aku yang masih agak canggung padanya hanya bisa mengambil satu buah roti berukuran sedang untuk makananku hari ini, setidaknya ada yang mengganjal dari perutku hingga besok hari.
Setelah menemukan sosok kasir yang tidak aku kenali, aku langsung bersyukur dan Mbak Yessa segera membayarnya dengan membeli stok mie yang menurutku sangat banyak.
Sekarang kami keluar dari minimarket dengan belanjaan Mbak Yessa yang banyak sampai membuatku juga ikut membawanya, tapi tidak apa, dia sudah mentraktirku membuatku tersenyum senang.
"Nanti kita makan mie bareng ya, aku bersama beberapa anak kos-kosan lain akan makan bareng habis ini," aku menggeleng dan ingin berbicara tapi dia langsung menahan mulutku dengan jari telunjuknya. "Aku belum menyambut penghuni baru, maaf baru sebulan ini aku mewujudkannya dan hanya bisa mengumpulkan beberapa orang di kos-kosan karena sibuk."
"Tidak apa-apa, Mbak. Aku udah senang kok," ujarku menenangkannya membuat dia tersenyum.
"Nah sekarang Ela harus mau ya." Aku mengangguk dan kami menaiki motor bersama untuk segera melaju ke arah rumah.
Aku tidak lama langsung terdiam karena sesuatu, di samping kiriku yang letaknya berada di seberang jalan, aku bisa melihat malaikat berjubah hitam yang menatapku membuatku heran.
Aku ingin bertanya padanya tapi tidak jadi karena Ela pasti akan sadar.
Setelah motor bergerak maju menjauh, aku menengok ke belakang dan masih bisa melihat malaikat hitam itu yang menengok mengikuti arah pandanganku yang akan pulang ke rumah.
Aku segera menghilangkan pandangan itu dan bersenang-senang dengan angin kuat yang menembus jiwaku.
Ini menyenangkan, aku ingin naik motor lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro