Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3° Sakit?

"Shift kamu udah selesai, sekarang Kak Ali yang bakal gantiin kamu." Aku mendengarkan kicauan bosku dan menatap lelaki tampan itu yang pergi ke belakang untuk menaruh barangnya.

Aku merenung bersyukur tidak ditempatkan di shift malam.

"ELA?!" Aku mengejapkan mata menyadari bosku memanggilku kencang.

"Dari tadi dipanggil kenapa enggak jawab?!"

Aku masih tidak sadar saat seseorang memanggil nama palsuku.

"Maaf, bu," balasku ragu saat melihat betapa mengerikannya pemilik minimarket ini. Wajah tuanya sangat menyeramkan apalagi dibuat marah seperti itu.

"Kalau kamu sampai tidak mendengarkan ucapan saya lagi, kamu saya pecat?!" Tekadnya dan langsung berjalan pergi ke pintu belakang membuatku terdiam merasa kecewa pada diri sendiri.

Aku harus mempertahankan pekerjaan ini, aku sudah 2 minggu disini dan aku harus bisa menerima gaji pertamaku di kota ini secara sehat, tanpa bantuan siapapun apalagi makhluk gaib seperti malaikat yang mungkin sedang ada di sekitar sini.

Aku berjalan keluar dari minimarket sambil memandang awan berwarna oranye hampir pink dengan pandangan sendu.

Di kala ku termenung, selalu saja teringat sosok keluargaku yang kini sudah berada di atas sana. Aku harus bertahan di dunia ini entah sampai kapan.

Ingin ku mati, tapi tidak ada satu pun cara. Malaikat pasti akan datang dalam bentuk apapun untuk mencegahku bahkan untuk mengembalikan diriku di tempat semula seperti sediakala. Seperti pertama kali kita bertemu.

Mungkin aku harus kembali ke kosan untuk tidur dan tidak melakukan tindakan overthinking yang melampaui batas, tindakan seperti itu terkadang membuatku lelah memikirkan suatu khayalan yang tidak pernah tercapai.

Setelah sampai membuka pagar kos-kosan, aku beranjak menutup pagar itu sambil mengulas senyum pada Yessa yang sedang menyiram tanamannya.

Dia merawatnya dengan baik, aku tersanjung padanya. Aku bahkan sangat yakin dia itu hebat sudah bisa mengelola kos-kosan sebesar ini sendirian.

"Ela, kamu habis darimana?" tanyanya membuatku berhenti berjalan untuk menghadap ke sampingnya. "Aku habis kerja di minimarket sekitar sini."

Dia mengangguk pelan. "Untuk seukuran gap-year sepertimu, kamu hebat bisa bekerja untuk membiayai kuliah ke depannya." Aku mengangguk berbohong, tapi rasa tidak enak itu membuat pengecualian karena semua orang pasti tidak percaya akan ceritaku.

Umur 37 hidup ditubuh remaja berusia 17 tahun?

Itu sangat mustahil untuk diceritakan, aku bisa pindah tempat tinggal karena dianggap gila.

"Ohh iya, pamanmu sudah membayar uang bulan ini. Barangkali dia tidak mengabari ini." Aku cuma bisa menghela napas panjang mendengarnya.

"Dia melakukannya lagi," gumamku pelan. Padahal aku sudah bekerja tapi dia masih saja suka membayar sewa tempat yang aku tinggali.

"Sudahlah jangan dipikirkan, pamanmu itu baik. Aku bahkan iri padamu," ucapnya yang ternyata mendengar suaraku. Aku cuma tersenyum setelahnya.

"Aku mau mandi dulu, Mbak," pamitku kemudian.

"Ohh iya, maaf ya sudah menganggu," ucapnya sambil mematikan keran air dengan membereskan selangnya.

"Tidak apa-apa, Mbak." Kami berjalan bersama masuk ke dalam rumah dan memisahkan diri memasuki kamar masing-masing.

Aku segera membuka pintu tapi sesuatu berwujud putih menembus pintu membuatku jatuh terduduk ketakutan.

Aku terdiam sejenak menatap lorong yang sedang sepi dan menatap malaikat itu dengan pandangan membunuh.

"Apa kamu tidak berpikir kalau ada yang menyadarinya nanti? Bagaimana kalau Mbak Yessa jadi tidak mau mengobrol denganku lagi?" Ucapku kesal setengah mati.

"Disini sedang sepi, buat apa kamu kesal?" Aku cuma bisa menghela napas panjang seumur hidupku menghadapi kelakuan malaikat di depanku ini. Karena kelakuan kekanak-kanakannya, aku bahkan memanggilnya tanpa embel-embel apapun padahal aku yakin umurnya sudah ratusan bahkan ribuan tahun.

"Sudahlah aku mau mandi, jangan ganggu aku!" Aku segera membuka pintu dan terlonjak kaget menatap malaikat yang sudah berada di dalam kamarku.

"Ada apa lagi?" Tanyaku gemas. Aku yakin pasti malaikat ini punya kepentingan tertentu yang harus diberitahu.

"Tidak ada, cuma iseng." Dan setelahnya, dia menghilang.

"Dasar kau?!" Teriakku sambil menutup mulut kaget dan segera masuk mengunci pintu kamar rapat.

❃.✮:▹ ◃:✮.❃

Sekarang tepat pukul 5 sore, jam kerjaku akan segera berakhir membuatku menginginkan bersenang-senang setelahnya.

Mungkin akan menyenangkan bila berjalan-jalan, seperti mencari bakpia yang enak ataupun makan di angkringan.

Aku sedang mengelilingi isi minimarket menatap beberapa roti yang mungkin akan kadaluarsa besok. Tidak lama ada suara pintu terbuka dan langkah berdecit seseorang yang melangkah cepat. Tidak beberapa lama aku ingin kembali ke kasir, anak kecil terjatuh saat kami akan melewati persimpangan dari arah yang berlawanan.

Anak itu menangis meraung-raung memanggil ibunya dan aku segera membawanya bangun tapi dia malah mendorongku kencang hingga aku hampir kehilangan keseimbangan.

"Mamah ... dia tadi mendorongku!" Teriakan kecilnya membuatku membungkam kaget menatap pandangan ibunya yang marah kepadaku.

"Kau?! Apa kau tidak punya sopan santun? Apa salah anakku sampai kau tidak punya etika mendorongnya seperti ini?!" Teriaknya membuat aku menggeleng. "Sumpah, kami cuma tidak sengaja tertabrak saat dia berlari—"

"Alasanmu tidak masuk akal? Apa kau malah menyalahkan anak tidak berdosa ini?" Seorang lelaki tua datang menghampiri kami dan berbicara, aku yakin dia adalah ayahnya saat anak itu menangis kencang dan memeluknya erat.

"Tidak ini bukan—"

"Sudah tidak usah banyak omong?! Mana bosmu?!" ucapnya mencercaku dan mulai berteriak kesetanan hingga tidak lama bosku datang dan menatapku tajam.

Tidak, habislah nyawaku ....

"Ada apa ya bu, pak," ucapnya ramah. Aku cuma bisa menunduk tidak bisa apa-apa.

"Ibu bisa cari karyawan yang bener enggak?! Lihat nih anak saya sampai luka gini karena dia dorong anak saya?!" Cibir ibu itu dengan menunjuk ke arahku.

"Bu, tapi—"

"HALAH ENGGAK USAH BANYAK OMONG?! UDAH PECAT AJA!" Sungut lelaki tua itu membuatku menatap bosku dengan tatapan teduh.

"Bu, aku bahkan tidak melihatnya, dia berlari dan terjatuh menabrakku di sana," ucapku menunjuk sopan ke arah belakang keluarga itu membuat bosku menatapku diam.

Aku menatap bos meminta pertolongan, tapi dia bahkan sama sekali tidak menengokku.

"Ibu bisa lihat CCTV di sana, saya mohon jangan pecat saya." Aku memohon apalagi sebentar lagi hari gajian tiba, aku akan bekerja sia-sia jika tidak bisa melanjutkan pekerjaanku hingga seminggu berikutnya.

"Kalau ibu tetap pertahankan anak kumuh ini, lihat saja besok apa yang terjadi pada minimarket ini," ucapnya membuat pemilik tergagap dan langsung menarik tanganku ke arah pintu luar.

"Sekarang kamu bisa keluar dari sini," ucapnya sambil menarik pintu dan membawaku keluar membuatku kecewa.

Saat ini Tuhan bermain pada takdirku, tapi orang kaya yang tidak punya sopan santun itu yang berlagak bermain di atas kenyataan. Seakan Tuhan tidak akan pernah memberi ganjaran pada mereka.

"Ibu tahu aku yang benar," sahutku menatap bos yang sedari tadi menunduk dan mulai menatapku. "Kamu tahu orang seperti kita, tidak diberikan kehidupan baik oleh Tuhan."

Aku terkejut dan ingin menegurnya tapi orang tua menyebalkan itu segera keluar dan menyenggolku sengaja membuatku marah dengan apa yang aku lihat.

Saat melihat anak kecil itu menjulurkan lidahnya membuatku merasakan keluarga itu dalam pandangan suram, seperti di sekelilingnya ada aura hitam pekat. Malaikat hitam ternyata menunggu di samping mobil mereka saat keluarga itu akan melajukan mobilnya.

Anak itu tidak punya tatakrama, bahkan orang tuanya tidak mendidiknya dengan benar. Tidak lama aku tersadar bahwa aku masih bersama ibu bos berdiri diam menatap mereka yang menjalankan mobil mahalnya menjauh.

"Makasih udah buat saya kerja di sini," ucapku tenang pada ibu bos yang menatapku dingin, "tapi aku cuma menyarankan sesuatu, Tuhan tidak pernah salah pilih memilih bagaimana takdir manusia di dunia ini. Cobalah ibu melihat ke bawah sesekali dan jangan melihat ke atas, ada begitu banyak orang miskin di dunia ini. Tapi kebanyakan dari mereka bekerja keras untuk memenuhi kehidupan mereka dengan baik. Kalau kita melihat ke atas pun, kita tidak akan pernah dapat kecukupan apapun. Jadi cobalah jangan menyalahkan Tuhan, Tuhan baik pada ibu. Minta maaflah padanya, Sang Pencipta akan tahu arti dari kesadaranmu."

Aku segera mohon pamit dan berjalan pergi dengan cepat hingga pada tikungan, aku segera berbelok dan terdiam menyender di dinding kokoh dengan jalanan yang kosong karena suasana hampir malam.

"Bisa-bisanya aku menceramahi hidup seseorang sedangkan aku tidak bisa melakukan semua itu," ucapku terdiam dengan lelehan air mata yang menghiasi pipiku.

Aku selalu menyalahi Tuhan, aku bahkan lebih berdosa dengan selalu berniat bunuh diri saat sedang berada dalam rendahnya hidup. Aku bahkan membenci takdirku, aku kehilangan keluargaku karena takdirku yang buruk.

Badanku runtuh, aku mulai menangis sambil menutup mukaku saat tangisan mulai tak tertahankan. Aku sesekali meringis menatap takdirku yang buruk, aku kehilangan pekerjaan dan sekarang aku harus berjuang kembali mencari pekerjaan.

Entah mengapa, aku semakin teringat kepada orang tuaku. Ibu pasti akan memelukku saat ini, dia akan mengelus rambutku dan bahkan menepuk punggungku pelan, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

Tapi nyatanya afeksi itu tidak pernah ada, 20 tahun bukan waktu yang sebentar untukku menahan semua ini.

"Aku akan bersikap lebih baik lagi ... tolong maafkan aku dan beri aku takdir yang baik."

❃.✮:▹ ◃:✮.❃

Aku baru pulang ke kos-kosan keesokan harinya, saat membuka kamarku, aku bisa melihat Paman Adri yang berkacak pinggang padaku.

"Kemana saja kamu?!" Aku menunduk tapi dia memegang bahuku dan menatapku sendu. "Kamu habis nangis?" Aku cuma bisa terdiam.

"Maafkan aku, aku akan hidup lebih baik hingga seterusnya. Tolong perbaiki hidupku, aku berjanji tidak akan bunuh diri lagi," paksaku memegang kedua tangan malaikat itu yang tidak bisa ku sentuh. Aku menatapnya yang sudah berubah kembali menjadi malaikat seutuhnya.

"Jangan karena dipecat, kamu sampai stres, Eyla. Kamu harus sabar, semua ada waktunya."

"Sampai kapan?! Mau sampai kapan kau dan Tuhan menguji hidupku?!" Marahku membuat malaikat diam tidak bergerak. Hanya saja helaian jubahnya menari karena angin yang cukup besar. Aku menunduk ketakutan, sesuatu akan terjadi. Bagaimana bisa jubahnya terbawa angin padahal aku tidak membuka jendela?

"Jangan membuat Tuhan marah, kamu harus hidup menjadi lebih baik untuk orang tuamu. Mereka mungkin menangis di atas sana karena kelakuanmu ini." Malaikat menepuk rambutku dan aku bisa merasakan sentuhan tangannya untuk pertama kalinya. "Sebentar lagi, kalau kamu bisa bersabar. Tuhan akan bangga padamu."

Aku yang akan menatapnya hanya bisa tersenyum tipis. Dia kembali menghilang lagi, tapi aku yakin dia akan datang kembali saat keadaanku mulai tenang.

Aku menidurkan diriku di kasur sambil menguap kelelahan karena bertamasya keliling beberapa tempat di Yogyakarta dalam waktu semalam.

Seharusnya aku tidak boleh menyalahkan takdir Tuhan, aku mengaku salah padanya.

"Ibu, kalau kamu ada disini, aku akan sangat senang. Aku rindu suaramu."

Aku ingat saat aku berumur 7 tahun, aku menangis karena nilaiku sangat buruk.

"Ibu ...." Aku menunduk menangis saat ibuku menatap rapotku. Ibu pasti akan sedih karena aku tidak bisa mempertahankan nilaiku.

Aku terkejut saat merasakan pelukan hangat ibuku, dia mengelus rambutku dan mataku langsung memerah dan mulai menangis kencang tidak peduli dengan beberapa pejalan kaki yang melihat kami.

"Nyuwun pangapunten, bu*. Eyla dapat nilai elek."

"Ora popo, sayang. Kowe iso dapat ing semester ngarep , ora usah kuwatir." Aku semakin menangis dan ibuku mulai mencium puncak kepalaku pelan, "uwis yuk, Eyla pengin ibu tuku es krim?" aku mengangguk senang dan ibuku langsung menggenggam erat tanganku dan kami berjalan bersama ke warung terdekat.

Aku masih mengingatnya, saat itu umurku 9 tahun dan aku dimarahi guru karena rangking dan nilaiku turun.

"Aku berjanji akan lebih berusaha lagi."

Aku harus memenuhi tekad kuat untuk berjuang hidup di zaman modern ini. Aku harus hidup lebih baik, aku yakin Tuhan punya cara lain untuk membahagiakan orang sepertiku di lain waktu.

❃.✮:▹ ◃:✮.❃

*nyuwun pangapunten, bu = minta maaf, bu.

.

.

.

Maaf kalau ada salah kata ....

Vote and coment jan lupa🙃








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro