Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29° Jawaban

"Kalian tidak menemukannya di rumah sakit mana pun?" Aldo bertanya heran membuat kami menggeleng pelan.

Tentu saja ini seperti yang tidak diharapkanku, Yessa pasti akan menjaga neneknya dengan sangat baik untuk tidak ditemuiku.

"Kalau kita tahu di mana, kita pasti akan tahu sejak pagi," keluh Lala sambil mengambil kacang di meja untuk segera ia makan dengan lahap.

Aku tidak tahu sejak kapan, tapi semua ini menjadi sangat jelas. Ayahku yang tidak pernah lagi pergi berlibur bersama kami pasti karena perempuan itu, Nenek Yessa yang sangat ingin aku cemooh.

Aku masih ingat di mana ibu menangis memanggil nama ayahku, aku tidak pernah mengetahui betapa sakitnya ibuku selama ini.

Nenek Yessa yang bernama Ratna itu sangat salah, bahkan aku sangat benci mengetahui faktanya. Fakta menjijikan yang bertahan hingga saat ini.

Aku merasa jika ayahku tidak mati, pasti mereka masih menjalani hubungan gelap itu hingga akhir.

"Aku benci kenyataan ...."

"Kenyataan bahwa ayahku sangat jahat, bahkan aku seperti terperangkap dalam bayangannya. Bagaimana ibuku mempertahankan rumah tangganya, aku melihat mereka bertengkar, semua terasa sangat jelas saat ini."

Aku berandai-andai menjadi sebuah bulu yang selalu terbang tanpa hambatan, tapi aku tidak tahu bagaimana dia menghadapi terjangan musim dan sekian milyaran makhluk yang tidak pernah mempedulikannya.

Itu terasa sangat sulit ...

Aku berjalan masuk ke dalam kamarku di lantai 1, aku segera mengunci pintu dan mulai terduduk mengetuk lantai kencang menahan tangis yang mengalir.

Tangisan itu buruk, untukku dan semuanya.

Kenapa ibu menyuruhku tetap hidup karena ini? Ini menyakitinya, bahkan menyakitiku dan saudaraku yang lain.

"Semua terasa menyedihkan." Aku segera menarik bajuku dan segera mengelap wajahku yang basah dibanjiri air mata yang tak pernah malu untuk datang.

"Semua orang pernah punya rasa marah, tapi marah itu tidak akan pernah selalu berakhir. Mereka pasti akan mencari sesuatu untuk meredakannya, seperti kekesalanmu saat ini. Semua pasti akan berakhir baik kalau kamu mampu meredakan semua emosimu." Aku menyender ke pintu dan memeluk kakiku erat masih mencerna semua yang ia katakan.

"Kita ditakdirkan punya masalah, tapi apa kita tahu sebuah masalah membuat manusia bangkit jauh lebih baik?" aku segera menengadah menatap malaikat putih dengan pandangan teduh.

"Terima kasih," tuturku canggung.

"Tenang saja, aku bukan orang yang pendendam kok." Dia mengelus rambutku saat aku merasakan bagaimana merasakan halusan lembut tangannya yang muncul.

"Aku seperti merasakan kamu pertama kali datang, mengelus rambutku pelan." Aku tersenyum dan mulai murung saat dia mulai tak mengelusku lagi. Dia terbang menjauh hingga bersender di tembok.

Dia terdiam menunduk hingga aku menatap sesuatu tetesan yang jatuh dari balik tudungnya.

"Kamu ... menangis?" aku mendekat padanya dan segera memeluk bayangannya walaupun aku tahu dia tak akan pernah bisa kusentuh.

"Aku kuat kok, jangan menangis ya ...."

Aku merasakan tetesan di kakiku dari balik tudungnya.

Kalau aku bisa menyentuhnya, aku ingin mengulas air matanya agar tidak kembali terjatuh. Menangisi hidupku merupakan hal yang tidak ada untungnya bagi siapapun termasuk makhluk di depanku.

"Hari ini entah kenapa ... sangat menyakitkan." Dia berucap sangat lembut membuat hatiku berdesir, aku segera bergerak mundur satu langkah saat dirinya mulai menghilang.

Entah kenapa aku sedih melihat malaikat menangis pertama kalinya untukku. Malaikat penjagaku itu sangat kuat, dia pasti sangat kuat untuk tetap tegar diambang kehancuran yang terjadi.

"Eyla, ayo makan malam!" aku mengangguk mendengar panggilan Aldo dan segera membuka pintu kamar dan menatap malaikat putih yang menyender di tempat yang sama sambil menghilangkan bekas tetesan air matanya yang terjatuh di lantai.

"Aku tidak tahu apa penyebabmu menangis, aku cuma ingin berkata bahwa tegarlah menghadapi segalanya. Kamu harus bisa, karena aku belajar lewat kamu."

Blam.

Pintu pun aku kunci dari luar.

❃.✮:▹ ◃:✮.❃

Setelah beberapa hari berlalu, aku terdiam membayangkan saat kenangan itu muncul kembali.

Saat aku berumur 13 tahun, aku teringat pernah bertemu dengan ayah dan wanita itu lagi. Aku terlanjur takut dan langsung pulang tanpa bertanya pada ibuku.

Kalau ibuku tahu saat itu, mungkin dia akan sangat sakit hati.

Tapi itulah kenyataannya, terkadang menerima masa lalu lebih sulit dibandingkan berjalan meratapi masa depan yang semu.

Aku terdiam sambil menidurkan diriku di kasur sambil menutup tubuhku dengan selimut hingga bahu. Aku masih berpikir sesuatu hal yang terus mengganjal di dalam hatiku.

"PERGI?!"

"CEPAT PERGI?!"

Aku teringat saat bangun tidur di mana detik-detik sebelum kebakaran itu terjadi, aku diteriaki di dalam mimpiku oleh sosok tak terlihat yang membuat tubuhku terbangun.

Aldo mengatakan bahwa ada lilin di sekitar kamarku saat itu dan bahkan—ada bensin yang tak bisa kucium baunya.

Ini terasa aneh, tapi apa penyelidikan itu konkret?

Bensin dan lilin, semua itu menjadi penghubung kebakaran itu terjadi.

Apa ini kelakuan Nenek Yessa itu?

Entah kenapa tanganku mulai memukul kasurku kasar. Aku tak yakin tapi entah mengapa aku menyatakan pasti bahwa dialah pelakunya.

Dia pasti ada amarah dengan keluargaku, entah mengapa aku sangat yakin. Selama 8 tahun, entah ayahku sudah menikahinya atau belum dia pasti meminta sesuatu lebih yang tidak bisa ayahku tepati.

Aku harus segera menemuinya untuk mengetahui segalanya.

Aku tidak mau ada kesalahpahaman yang membuat aku tambah berpikir buruk kepada Nenek Yessa itu.

Tapi ... aku sangat yakin sekali.

Untuk menjernihkan pikiranku, aku segera bergerak menuju area belakang rumah, area dapur merupakan tempat favoritku apalagi saat aku bisa meminum segelas air es yang membuat perasaanku makin tenang.

Aku langsung terpikirkan kepada Lala dengan pemikirannya bahwa dia pernah ke kos-kosan Yessa.

"Aku harus memastikannya." Aku beranjak menaruh gelasnya dan segera menaiki lantai 2 dan menemukan Aldo yang membawa tas kerjanya.

"Kamu mau ke mana?" tanyanya membuatku menunjuk kamarnya.

"Aku ingin bertanya sesuatu pada Lala, saat aku ke rumah Yessa, dia berkata pernah melihat kursi tamunya dan merasakan pernah mengunjunginya. Aku jadi yakin kalau dia pernah ke sana." Aku langsung saja berjalan tapi langkah Aldo jauh lebih cepat dariku.

Cklek.

Dia membuka pintunya dan menemukan istrinya yang sedang terdiam merenung.

"Kalian kenapa ke sini?" tanya Lala heran dan Aldo langsung duduk di sampingnya.

"Dari kemarin kamu melamun, kamu mikirin tempat kemarin?" tanya Aldo membuat Lala mengangguk, lalu menggeleng.

"Tempat itu ... sepertinya kita pernah ke sana saat kita pacaran." Lala menetap penuh Aldo. "Ada seorang perempuan seumuran kita saat itu, dia memanggil kita ke rumahnya. Kamu pasti ingat kejadian 19 tahun yang lalu? Dia minta hanya mengobrol denganmu saja, aku waktu itu ... tahu 'kan sempat cemburu sampai memukul-mukul kursi di sana." Aldo segera tertawa pelan membuat Lala cemberut.

Aldo menatapku sambil menahan tawa. "Kamu tahu tidak? Dia waktu itu sampai dikira pengemis karena tidur terlentang di kursi panjang di sana."

"UDAH ENGGAK USAH DIOMONGIN!" aku terkekeh saat Aldo masih tidak bisa menahan tawanya.

"Sebenarnya saat itu ... cewek itu mengatakan hal aneh. Dia mengatakan bahwa dia ingin menemuimu," ucapnya padaku.

"Aku?"

"Iya, dia bahkan mencarimu hingga ke rumah lamaku, dia juga sampai mencari rumah baruku. Saat itu karena aku sedang berkunjung ke rumah mertuaku, aku sekalian membawa Lala ke rumahnya."

"Siapa namanya?"

"Namanya Siska saat aku ingat, dia memintaku untuk menemui kamu karena ada kejadian aneh yang membuat ibunya harus bertemu denganmu. Aku tidak tahu pasti tapi itu semua berhubungan dengan sosok makhluk tak kasat mata katanya."

Aldo segera bergerak menuju lemarinya dan berkutat di sana sampai membuka lacinya dan menyerahkan secarik kertas kepadaku.

"Kalau aku bertemu denganmu, dia mengatakan kasih kertas ini kepadanya."

"Sebuah alamat?" aku terdiam berpikir sebuah hal yang kini menyatu dalam pikiranku.

"Jangan bilang ...." Lala menutup mulutnya kaget.

Aku mengangguk mengiyakan apa yang pasti dia pikirkan. "Aku rasa, aku telah mengecewakan orang ini selama 19 tahun."

❃.✮:▹ ◃:✮.❃

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro