Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

26° Rumah

Aku menerima ulurannya, aku segera memegang lengan jubahnya yang tampak menerawang, tanpa aku bisa merasakan lengannya, aku sudah berpindah ke suatu tempat.

Aku sudah pindah di pohon beringin yang menjadi tempatku dulu bermain.

"Kenapa kamu membawaku ke sini?" dia mulai terbang mendekati pohon beringin yang beriringan menyertainya. Daunnya mulai berjatuhan seperti menandakan kedatangannya.

"Kehidupanmu mungkin akan sangat menyedihkan, seiring kamu tahu segalanya ... apa kamu mau melanjutkan?" aku terdiam mengangguk membuatnya melangkah menembusku membuatku pindah di suatu tempat yang agak sangat sepi.

"Kamu mengenali tempat ini?" aku menggeleng saat dia memasuki sebuah tanah dengan rerumputan tinggi. Aku segera mendekatinya tapi rumput itu seperti pagar yang sulit untuk aku lewati.

"Kamu pasti ingat itu ...." aku mengambil sesuatu yang membuatku terdiam ketakutan.

"Bagaimanapun hidupmu, akan ada suatu ketika kamu akan kembali—"

"Ini ...."

"—ke rumahmu sendiri."

Aku menggeleng tidak percaya, tapi suatu kenyataan menyulitkanku bahwa aku telah kembali.

Aku memegang garis polisi yang telah sobek dengan erat sambil menahan tangis yang mulai berderai. Seiring aku mengingatnya, aku tidak tahu harus mengatakan apa saat memori itu silih berganti saling menampakkan diri.

"Takdir telah membuat keluargamu mati ... tapi takdir telah menolongmu untuk hidup lebih baik."

"Aku hidup dengan buruk ... apa kamu tidak tahu apa yang aku rasakan?" aku memarahinya merasakan amarah pada seluruh jawabannya.

"Sebentar lagi kamu akan tahu, bahwa jika takdir tidak mematikan mereka, kamu akan hidup lebih buruk dari ini."

"Seburuk apapun takdirku, aku memang sudah memiliki takdir yang buruk." aku segera melanjutkan ucapanku. "Aku hidup sebatang kara selama 20 tahun, mungkin adanya malaikat pelindung yang menolongku aku bisa merasakan bahwa dia hidup bersamaku, tapi nyatanya tidak, dia tidak bisa merubah takdir. Aku selalu bahagia bersamanya, tapi saat aku ketakutan dan sedih, dia seperti menyakiti dirinya sendiri untuk menolongku. Apa aku benar?" dia terdiam.

"Mungkin takdir meringankan sedikit ketakutanku, tapi tanpa keluarga satu pun? aku bahkan seperti berjalan di tali gantung yang semakin rapuh." Aku terdiam mulai menunduk, tak bisa melihat sosoknya yang juga menunduk.

"Aku selalu ingin bunuh diri, aku bukan tidak menyadari adanya malaikat penjagaku yang senantiasa menolongku. Dia sahabatku, tapi keluargaku lebih penting. Jadi jangan membandingkan apapun yang menurutmu baik dan buruk, semua sama-sama membuat orang terlena dalam sekejap."

"Oke, kamu benar. Tapi tujuanku bukan untuk mendengar ceramahmu itu." Aku terdiam mengangguk. "Aku tahu."

Aku mungkin sudah mengetahui maksud dan tujuannya ke sini.

"Halo, Eyla." Suara itu mengejutkanku membuatku menatap Yessa bersama malaikatnya dengan memegang pisau di tangannya.

"Apa kalian ingin menjebakku?" aku terdiam khawatir saat ketiganya tertawa terbahak-bahak.

Ini tidak lucu, kalian seperti mentertawakan hidupku.

Aku menggeram saat Yessa menatapku sebal. "Ronald itu ternyata sangat bodoh, padahal aku sangat menantikan kematianmu." Dia bergerak beberapa langkah mendekat, aku langsung saja mundur hingga batas kemampuanku. Lenganku dipegang olehnya.

"Dengarkan dulu ... tidak asyik kalau kamu tidak tahu segalanya. Kamu sudah mendengarkan cerita Ronald, apa kamu tidak mau mendengarkan ceritaku?" aku menggeleng tidak mau saat pisaunya mengarah pada lenganku.

"A-aku—kau orang jahat?!" teriakku gugup membuat dia tertawa. "Kamu tetap ceroboh, tidak ada yang bisa menolongmu saat ini. Mana malaikat konyolmu itu? Dia bahkan tidak bisa menolongmu ...." dia terkikik membuatku menendangnya hingga terjatuh.

Dia tetap tertawa, mentalnya kuat seiring aku menampakkan ketakutan di depannya.

Tidak, aku tidak boleh mati hari ini.

Tapi aku harus ke mana?

"Aku belum pernah membunuh sebelumnya, tapi melihat teriakan orang kesakitan, itu boleh juga." Aku terdiam merasakan ketakutanku yang melonjak lebih kuat.

"Kamu takut? Sepertinya beberapa waktu yang lalu kamu menantangku," terkutuklah omongan malaikat milik Eyla itu, dia benar-benar menyebalkan. Tapi aku tak akan pernah lemah.

"Tuhan tidak akan pernah mengabulkan permintaan kalian, aku tidak akan mati hari ini, ataupun karena kalian—termasuk kamu, Yessa."

"ITU TIDAK MUNGKIN?!" Yessa berteriak sambil menyuruh kedua malaikat hitam itu mematuhinya tapi siapa sangka bahwa mereka telah menghilang.

"ARGHHHHHHH!!!!!!" teriakan dan juga amarahnya menjadi satu, aku sesekali memperhatikan sekeliling yang tampak sepi.

Di mana orang-orang?

"Apa malaikat itu berani menantangku?! Okee, aku bisa membunuhnya sendiri." Dia mulai mendekatiku, tentu saja tanpa banyak waktu aku mulai berlari dengan wajah pucat bak mayat hidup yang berjalan seiring waktu.

Aku seperti kembali ke tempat awal, aku bahkan yakin sudah berputar sebanyak 3 kali dan kembali di tempat tadi.

"Sepertinya kedua malaikat itu hanya mengerjaiku." Mata safir itu menatapku seperti pisau yang bisa membunuhku dalam satu detik.

Aku yakin aku tidak akan mati hari ini, itu yang pernah aku ingat dari malaikatku sendiri.

Aku harus kuat.

Ibu menungguku menemukan sesuatu, aku harus tunjukan kepada semua orang bahwa aku menepati janjinya.

Sret.

Bajuku seperti buku robek saat pisau itu mengenainya, tepatnya di bagian perut. Aku segera menangkisnya dengan menendang tangannya membuat pisau itu terbang jauh masuk ke dalam rerumputan tinggi rumahku dulu.

Syukurlah, kalau pisau itu—

Sret.

Tring.

Aku bisa merasakan betapa ngilunya saat pisau kecil ditarik kasar dari balik kaos kakinya, sebuah darah bermunculan bahkan hampir menutupi putihnya kaos kaki itu.

Seperti adegan sadis, dia mengeluarkan beberapa pisau di tubuhnya.

Di kantung bajunya.

Saku celananya.

Semuanya bahkan ia lempar ke tanah menimbulkan suara dencing pisau saling beradu.

"Aku bahkan punya lagi di dalam sepatuku, kamu mau lihat?" aku menggeleng cepat, masih menatap kaos kakinya dengan darah yang semakin pekat menutupi keseluruhan kaos kaki itu.

Aku menggeleng ngeri, tak disangka dia telah mempersiapkan segalanya.

"Aku punya 5 pisau di sini, aku bahkan bisa memenggal kepalamu dengan kelimanya."

Itu terdengar ... sedikit serius.

"Kamu tahu? Lingkungan ini memang cukup sepi, bahkan hanya orang tua dungu yang tidak bisa mendengar yang tinggal di sini. Kamu yakin akan ada yang menolongmu?"

"Aku ... tidak akan pernah dibunuh olehmu?!" bentakku tajam membuat ia tertawa.

"Aku yakin kamu bahkan bukan seseorang yang pemberani." Tanpa banyak waktu ia mengambil pisaunya dan melemparkan salah satunya kepadaku.

Aku berlari menghindar secara tidak sengaja kakiku menyenggol batu membuatku terjatuh.

DUK.

Aku terbatuk setelah dia mulai menendang dadaku kasar. "Kamu memang selemah ini ... dan tetap akan lemah."

BUGH!

BUGH!

Aku merasakan badanku ditendang olehnya. Tapi aku tidak mau tinggal diam.

Sret.

"Apa yang kamu lakukan?!" aku memegang kaki kanannya yang terluka dan sedikit merematnya hingga dia terjatuh di tanah. Ia sedikit menendang ke sana kemari ingin segera mengambil pisaunya di tempat yang sama membuatku segera membalik badannya kasar.

DUK!

Dia pingsan setelah aku memukul tengkuknya.

Aku terdiam menutup mulutku tak percaya.

Bagaimana bisa aku melawannya?

Tanpa banyak waktu aku segera mengambil pisaunya dan berlari ketakutan menjauhinya, aku tak yakin pukulan itu kuat karena kakinya sedikit bergerak memancing ketakutanku.

SRET!

"Lepaskan?!" aku segera memukul tangan seseorang yang memegang lenganku kasar.

Tidak ada siapapun?

Tidak ada yang menarik lenganku, hanya ada seseorang yang tertidur pulas.

Aku kembali?

Ini seperti mimpi.

"Ini bukan mimpi ...." Aku menatap kelima pisau itu di tanganku membuatku segera membuangnya cepat dan ingin segera pergi dari sini.

Aku harus secepatnya menemui Lala.

Aku berlari membuka pintu ruang inap secara kasar, masa bodoh saat melihat perawat yang kaget denganku dengan tegurannya. Aku segera meremat bajuku yang berlubang untuk mencari jalan keluar dari rumah sakit ini.

"Dokter, apa kamu tahu jalan keluar dari sini?" tanyaku kepada dokter yang sama sehabis dia keluar dari ruang pasiennya.

"Ada apa denganmu, nak?" aku menggeleng cepat. "Kumohon tolong katakan pintu keluar dimana ...." dia terdiam segera menjelaskan membuatku berucap terima kasih dan segera pergi.

Aku sampai hingga keluar dari rumah sakit dengan napas tak beraturan, aku seperti membutuhkan oksigen setelah dihadapi manusia yang sangat menyeramkan.

"Kamu selamat ternyata, aku bahkan menunggumu di sini untuk sesi penguburanmu." Aku menatapnya tajam saat malaikat dengan tanduk di kepalanya tertawa dengan tubuhnya menempel di tembok rumah sakit.

"Ternyata Yessa itu sangatlah bodoh. Dia terlalu meremehkan wanita tua dihadapannya." Aku berjalan mendekatinya saat merasa aman melihat banyak orang di sekitar sini.

Mungkin tidak aman saat aku akan di cap sebagai orang aneh.

"Kenapa kalian berdua melakukan itu?" dia sedikit terkekeh sambil menunjukku.

"Itu petunjuknya."

Petunjuk?

Apa otaknya bergeser hingga mengatakan bahwa seseorang yang akan membunuhku sebagai petunjuk?

"Aku perlu mengatakan sesuatu di sini. Kamu pasti punya alasan untuk hidup, dan Yessa juga punya alasan untuk membunuhmu."

"Dia membunuhku karena neneknya."

"Ohh, ternyata kamu sudah tahu." Aku menggulirkan mataku malas sambil memandang sekitar saat tidak ada satu orang pun yang menyadari aku mengobrol dengannya.

"Tanduk di kepalaku bukan berarti sembarangan, kamu bahkan tidak menemukannya di malaikat milik Eyla dan Ronald, bukan?" aku mengangguk sambil berpikir agak konyol.

"Tanduk itu berarti iblis?" dia menggeleng cepat. "Bukan, aku bukan iblis. Tapi aku ... menyamainya."

"Kamu mengada-ada."

"Ckckck, aku serius. Kamu akan mengetahuinya nanti. Sudah ya aku pergi dulu."

Saat aku mendengarkan suara mobil berdecit agak kencang, aku mengeryit perih dan setelahnya dia menghilang.

"Ke mana dia?" aku menengok ke segala arah sampai mataku menatap tajam pintu rumah sakit yang terbuka.

"Tidak, aku tidak akan ke sana." Aku segera menuju pagar pembatas rumah sakit untuk segera menyebrang dan menemui Lala yang pasti sudah menungguku lama.

Aku menatap restauran itu dari luar dan melihat Lala yang sedang berdiri memeluk saudaranya, sepertinya mereka akan segera keluar.

Tidak ingin menganggu, aku mulai menunggu di luar sambil memikirkan apa perkataan malaikat tadi.

Dia bukan iblis, tapi menyamai iblis.

Jadi dia ....

"Sifat nenek itu pasti sangatlah buruk karena telah menyamai iblis."

❃.✮:▹ ◃:✮.❃











Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro