Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21° Bertemu kembali

"Kenapa kita seperti penguntit sih?" aku memarahi malaikat yang masih menjadi Ibu Indah mulai membekap mulutku.

"Sudahlah, kita tunggu saja. Kamu bisa lihat 'kan suasananya sedang tidak kondusif?" aku mengangguk pelan.

Keadaan di pemakaman terasa sangat ramai, apalagi kalau tangisan dari ibunya dan juga Aldo yang juga menangis sambil mengelus kuburan anaknya.

"Kasihan Ronald, dia bahkan tidak punya siapapun teman yang mengunjunginya." Aku masih teringat ucapannya, semua orang melakukan bully pada dirinya. Itu terasa menyakitkan, tapi kesalahannya membunuh ketiga temannya terasa sangat mengerikan.

Kehidupan Ronald adalah kesalahan, Ronald sebagai contoh orang yang tidak pernah tahu tempatnya untuk bergantung.

Saat melihat ibunya adalah seorang entertainer, aku merasa pantas saja tidak pernah melihat istri Aldo itu. Aldo saja bahkan jarang pulang saat aku sering bermain bersama Ronald.

Satu jam berlalu, semua rekan Aldo dan istrinya sudah pulang menyisakan kedua orang yang masih menyesali takdir.

Aku dengan memakai baju hitam masih saja bersembunyi di balik pohon. Tentu saja ditemani Ibu Indah yang sedang diam saja.

"Bagaimana roger, apa sudah aman?" aku menatapnya datar.

Dia mulai lagi ....

"Tuh Aldo sama istrinya udah mau pulang, cepat sana kamu temuin!" dia mendorong badanku kasar membuatku segera berlari sambil menyiapkan wajah tersenyum agar Aldo tidak semakin sedih.

"Hallo, paman!" aku menyapanya membuat Aldo tersenyum.

"Dia siapa?" tanya istrinya di sampingnya yang masih mengelap wajahnya dengan tisu.

"Oh, ini keponakanku, Chelsea. Kamu tahu Eyla yang sering aku omongin, dia ini anaknya." Aldo berucap sambil tersenyum mengelus puncak rambutku pelan.

"Hallo, Tante. Aku turut berdukacita buat Ronald." Dia mengangguk lalu memelukku erat.

"Terima kasih ya, kudengar kamu juga selalu dekat dengan anakku. Terima kasih telah berada di sampingnya." Aku mengangguk pelan dalam pelukannya.

"Chelsea mau ikut paman ke rumah? Kebetulan kami mau pergi ke suatu tempat." Aku terdiam memikirkannya sambil mengangguk.

Aldo adalah satu-satunya manusia di bumi ini yang bisa aku percayai.

"Emang Paman mau ke mana?" Aldo terdiam bahkan istrinya juga mulai menunduk dan menangis lagi.

"Kami lalai menjaganya, dia ditemukan sebagai pelaku pembunuhan ketiga orang temannya. Berita ini sebenarnya disembunyikan publik, jadi hanya orang tua korban yang tahu." Aku terpaku kaget akan penjelasannya. Ternyata mau mati sekalipun, kasus Ronald tetap akan berjalan.

Daripada terlihat memarahi anaknya, mereka masih terlihat murung. Aku yakin mereka menyesal telah lalai menjaga Ronald.

Ronald mungkin sangat butuh kasih sayang, tapi kedatanganku mungkin sangatlah terlambat. Aku masih merasa menyesal, kenapa aku tidak datang beberapa tahun belakangan, aku yakin saat aku ada di sampingnya, Ronald tidak akan melakukan semua ini.

Kami berjalan menuju mobil hitam yang terakhir kali aku tempati saat Ronald menyekapku di kursi belakang.

"Ini mobil yang dipakai Ronald terakhir kali ... aku harus tetap memakainya untuk mengenangnya," ucap Aldo membuatku kembali bersedih.

Aku yang memasuki mobil di bagian belakang, sama seperti dua hari yang lalu membuatku mengenang kejadian itu.

Aku merasa ragu untuk mengatakannya, aku ingin sekali berbicara banyak fakta yang terjadi. Termasuk beberapa keajaiban hingga aku masih hidup hingga saat ini. Bersamaan juga beberapa kesalahan yang hadir dan jika Ronald masih hidup hingga saat ini.

Sesampainya di sekolah, kami masuk ke dalam ruang kepala sekolah. Aku terdiam menatap tiga keluarga yang menatap mereka tajam akan kedatangannya. Bahkan ada kedua ibu yang menampar Aldo kasar membuatku kembali bersedih. Aldo dan istrinya harus menanggung semuanya, tapi itulah kenyataan yang terjadi.

"Anakmu itu pantas mati?!"

"Orang tua macam apa kau!"

"Kalian tidak mendidiknya dengan baik, dia membunuh anakku satu-satunya ...." seorang ibu menangis menahan pilu di pelukan suaminya erat.

"Aku akan mengganti semua—"

"KAU TIDAK BISA MENGGANTI NYAWA ANAKKU!" perempuan lainnya berteriak frustasi membuat suaminya segera mengekangnya.

Ting!

Ting!

Ting!

Aku yakin tidak punya teman sebelumnya, kenapa ada pesan masuk?

Aku menggulirkan pesan terkejut tak percaya.

Apa ini?

Ting!

Tunjukanlah pada mereka, kamu tahu siapa yang bisa melakukan ini.

Malaikat?

Aku terdiam gugup, akan ada pertengkaran antara para ibu dengan istri Aldo. Aku harus segera menuntaskannya.

"Berhenti!" teriakku membuat aku sempat memukuli mulutku berbicara keras. Aku bukanlah seorang wanita dewasa yang bisa melakukan apapun seenaknya. Aku harus punya tatakrama untuk itu.

"Siapa kau?"

"A-aku ...."

Jangan gugup.

Suara itu menguatkanku membuatku merasa kuat untuk mengatakan segalanya.

"Aku adalah sepupunya, aku tahu semua kejadian kenapa Ronald membunuh anak kalian." Mereka terdiam, ada salah satu orang tua yang gugup akan itu.

"Aku minta maaf atas nama sepupuku, perbuatan Ronald memang salah. Mau bagaimana pun, melakukan pembunuhan adalah salah satu tindakan keji. Tapi kalian pasti tahu seseorang pasti punya alasan."

Aku segera menghela napas kasar saat kegugupan mulai melanda. "Para guru pasti tahu tentang hal ini, bisa kalian jelaskan?" tanyaku sarkas membuat beberapa guru dibelakang hanya terdiam kaku.

"Anak kalian—maksudku mereka menyebarkan info buruk tentang Ronald. Mereka bertiga adalah otak dibalik semuanya, pembullyan yang terjadi di sekolah ini."

"Omong kosong! Mana buktinya?!" entah bagaimana tv di ruangan itu seketika menyala menayangkan saat ketiga anak mereka menendang Ronald bahkan menyiramnya dengan air sampah.

Keadaan itu berada di toilet sekolah, keadaan sangat parah bahkan CCTV di luar wc itu menayangkan segalanya saat sebelum Ronald menolongku di jembatan saat itu.

"Orang seperti kau tidak pantas hidup?! Hanya menjadi beban orang tua saja. Kenapa kau tidak mati saja? Apa harus aku matikan kau hari ini?"

Ronald mundur ketakutan, dia menangis histeris saat seseorang menendang perutnya bahkan menginjaknya secara kasar.

"Tidak, Tidak?!" dia menggeleng pelan.

TV pun tak lama mati.

"Aku yakin kalian paham dengan semua ini ... jadi bagaimana?" tanyaku membuat mereka terdiam menunduk. Semuanya diam bahkan aku heran kenapa mereka menunduk selama itu.

"Hey bangun?!"

"Kamu ngapain di sini?" tanyaku pelan pada malaikat yang entah sejak kapan berada di depanku.

"Tutup matamu, lalu bukalah kembali." Aku terheran lalu menurutinya untuk menutup mataku tak lama membukanya.

Tunggu?! Kenapa sekarang aku berada di kamar?

"Ini mimpi?!" aku menggeleng frustasi dan menatap malaikat yang sedang menutup jendela secara kasar.

"Sudah sore, cepat sana mandi! Kamu bau seperti kerbau!" aku mendengus kesal.

"Memang kamu punya hidung?" aku berceloteh dan langsung menutup mulutku saat melihat aura hitam berada di sekeliling badannya.

"Iya aku akan mandi!" aku terkekeh geli dan mulai berjalan mencapai kamar mandi lalu segera menutupnya.

❃.✮:▹ ◃:✮.❃

Mimpi itu ternyata terjadi masih di hari yang sama saat aku mendapat kabar kalau Ronald telah meninggal. Aku masih terpaku memikirkan mimpi itu, mimpi yang terasa sangat nyata.

"Tenanglah, aku hanya iseng."

Perkataan malaikat itu lagi, kenapa dia seenaknya datang ke dalam mimpiku? Aku bahkan masih sedih saat melihat Ronald dibully oleh temannya saat itu. Itu terasa sangat menyakitkan, aku bahkan meneteskan air mata saat melihatnya.

Sekarang tujuanku bersama malaikat iseng ini ke area pemakaman. Setelah malaikat bertanya kepada teman-temannya yang lain, kami sampai di pemakaman yang jaraknya beberapa km dari rumah.

Pemakaman ini tidak elit seperti yang aku pikirkan, aku bisa melihat bagaimana banyak orang berlalu lalang keluar masuk pemakaman dengan mudahnya.

Tidak jauh dari pandanganku, aku bisa melihat Aldo dengan istrinya masih berada di nisan milik anaknya. Aldo menunduk sedih berbeda dengan istrinya yang menangis dalam pelukan Aldo.

"Ini waktu yang pas untuk mengatakannya." Aku terdiam melihatnya.

"Tapi mereka masih dalam kese—"

"Katakan sekarang atau tidak sama sekali!" aku terdiam sebentar dan mulai berjalan meninggalkan malaikat yang sedang menyender di pohon. Aku berjalan sangat pelan dan sampai di tempat di mana Aldo dan istrinya berada.

Bahkan saat aku sampai, mereka tidak menyadari keberadaanku.

Mereka pasti sangatlah kehilangan.

"Hallo Paman, Bibi," sapaku membuat mereka menatapku dan istri Aldo yang berdiri sambil mengelap pipinya yang basah.

"Siapa kamu?" tanya istri Aldo itu dengan pandangan heran kepada suaminya yang tersenyum.

"Dia Chelsea, kamu tahu 'kan sepupuku Eyla? Dia anaknya." Dia mengangguk pelan.

"Maaf aku baru datang ke pemakaman Ronald hari ini."

"Tidak apa-apa, Ronald pasti sangat menerimanya. Dia pasti senang didatangi sepupu sebaik kamu." Aldo tersenyum membuat aku menggeleng pelan.

Ronald pasti sangat marah, tujuannya tidak tercapai.

"Sebenarnya aku mau memberitahu kalian sesuatu ... maaf kalau keadaannya kurang pas. Ini tentang ibuku dan juga Ronald," ucapku membuat mereka menatapku meminta penjelasan.

"Ronald dekat denganmu?" aku mengangguk mendengar pernyataan Ibu Ronald. Dia langsung menunduk sedih.

"Kita baru dekat sebulan ini. Aku mau memberitahu tentang Ronald ... maaf kalau perkataan ini terasa aneh buat kalian." Aldo mengernyit bingung membuatku gugup setengah mati.

"Sebenarnya Ronald berperilaku buruk, dia membunuh ketiga temannya." Mereka terdiam kaget.

"Apa maksudmu?" Ibu Ronald menatapku tajam membuatku bingung mau berbicara apa setelah ini.

"Kalian tidak tahu? Dia dibully di sekolah, dia melakukannya. Aku tahu kalian pasti tidak akan percaya—"

"Aku percaya." Aldo menatapku dengan bersungguh-sungguh lalu segera menatap istrinya yang kembali menangis. "Maaf aku baru bilang ini, tapi aku menemukan sebuah buku di lemarinya, dia mengatakan telah membunuh temannya." Tangisan itu semakin membesar bahkan Ibu Ronald tersipuh di tanah masih dalam keadaan tidak percaya.

"Ronald ... maafin Mamah ...." Aku menangis melihatnya, aku tidak percaya kalau Aldo bisa setegar itu menenangkan istrinya.

"Ayo sekarang kita pulang, Chelsea kamu bisa ikut denganku." Aku mengangguk patuh setelah Aldo merangkul istrinya yang terkulai lemah tak bisa berjalan stabil. Dia pasti sangat stres memikirkan semuanya.

Aku jadi merasa tidak enak sekarang, mengatakan sesuatu hal fatal milik Ronald dalam keadaan berduka seperti ini.

Aku masuk ke dalam mobilnya di bangku belakang, mobilnya berbeda dengan apa yang ada di dalam mimpiku ini.

Perjalanan ini cukup memakan waktu saat kemacetan melanda Yogyakarta, aku hanya terdiam di mobil sambil memperhatikan Ibu Ronald yang tertidur pulas.

"Kedua, ada apa dengan Eyla?" tanya Aldo padaku dengan tatapan tajam. Aku menunduk takut.

"Pasti ada sesuatu yang terjadi pada sepupuku, bukan?" aku terdiam menunduk saat melihat mukanya tak biasa, dia seperti ingin menangis lagi.

"Apa kamu ... tahu sesuatu dari buku Ronald?" dia terdiam menunduk bahkan tidak menjalankan mobilnya.

TIN!

TIN!

TIN!

Aku merasa marah melihatnya, dia menghalangi jalanan. "ALDO CEPAT JALANKAN MOBILNYA!" dia menjalankannya dan memakirkannya di tempat terdekat.

"Kamu Eyla, bukan?" aku terdiam saat dia terkekeh pelan.

"Dunia macam apa ini? Kenapa Ronald menceritakan hal fantasi semacam itu?" dia masih tertawa kencang hingga tak lama tangisannya mulai deras. "Apa Ronald bercanda dengan bukunya?" aku terdiam dan segera menggeleng.

"Dia ... tidak bercanda. Dia tidak berbohong." Dia menangis keras saat aku mengatakan itu.

"Syukurlah kalau kamu masih hidup, Eyla. Aku selalu percaya padamu."

Karena tak tahan menahannya, aku menangis keras bersama dengannya.

❃.✮:▹ ◃:✮.❃



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro