2° ASAP
Jam masih menunjukkan pukul 4 pagi, aku sampai di sebuah minimarket yang buka 24 jam penuh.
Aku membuka pintu kaca dengan tulisan dorong itu perlahan, setelahnya aku disapa oleh pria di meja kasir yang tersenyum padaku. Aku segera masuk memilih air mineral dan juga beberapa camilan untuk mengganjal perut. Tapi tidak kusangka harganya cukup mahal. Tidak pas untuk kantongku yang kering ini ....
Tepat ketika aku berbalik ke arah belakang, aku langsung berteriak ketakutan dan terjatuh dengan menyenggol beberapa bungkus chiki di belakangku.
BRUK!
"Kamu tidak apa-apa?" tanya lelaki penjaga kasir itu saat tiba di sampingku.
Aku hanya menggeleng sambil menjawab, "tidak apa-apa, aku hanya kaget melihat binatang di lantai tadi," ucapku sambil tersenyum padanya. Lelaki itu mengulurkan tangannya dan segera aku menerima uluran tersebut.
"Apa-apaan itu?!" Aku menengok ke depan dan melihat malaikat yang memakai jubah putihnya. Aku bahkan kaget mengingat sekarang masih pukul 4 pagi dan melihat kain putih di depanku yang bahkan terlihat melayang itu.
Dia memang melayang ... kakinya bahkan tidak ada membuatku merinding.
Dua puluh tahun hidup dengan malaikat yang termasuk salah satu makhluk gaib itu tidak menyurutkan ketakutanku pada makhluk sejenisnya. Apalagi ada beberapa malaikat semacam dia yang suka lewat beberapa kali di sampingku membuatku jantungan setengah mati.
"Aku akan mengambil kotak P3K dulu," ucap lelaki itu membuatku langsung menarik tangannya agak kencang. "Tidak usah, aku baik-baik saja." Lelaki itu menganggukkan kepalanya dan mulai membereskan beberapa chiki yang jatuh dan aku yang memperhatikan malaikat yang melayang menembus pintu minimarket.
Dia mengerjaiku lagi?!
❃.✮:▹ ◃:✮.❃
"Aku akan pergi ke makam keluargaku," ucapku sambil memakai hoodie hitam untuk menutupi kepalaku saat tiba di pemakaman. Tentunya aku masih membawa tas di punggungku dan satunya aku jinjing di tanganku. Aku menatap malaikat yang senantiasa bersamaku telah merubah dirinya menjadi seorang pria berkumis dan berjanggut tebal. Dia memiliki postur muka yang berbeda, tapi tetap saja aku heran karena dia selalu merubah dirinya menjadi laki-laki berjanggut.
Yasudah terserah dia saja.
Setidaknya saat ini dia tidak menjadi malaikat, akan sangat sulit membedakannya dengan banyaknya malaikat nanti.
Memang benar aku bisa melihat hal gaib seperti banyaknya malaikat di sekitarku, tapi nyatanya aku tidak bisa melihat hal gaib terkecuali malaikat. Sebenarnya hal itu membuatku bersyukur, mungkin aku akan menangis menjerit jika bisa melihat sosok hantu tak kasat mata yang menyeramkan, misalnya hantu tanpa kepala atau pun hantu mengerikan lainnya.
"Apa kau yakin tidak takut?" Dia menunjuk pada mobil ambulan yang tiba membawa jenazah.
Sebenarnya bukan ketakutan itu yang malaikat tunjukan, tetapi beberapa banyak malaikat berjubah putih yang mengikuti jenazah itu untuk dikuburkan. Mereka menerawang mengikuti barisan para manusia yang membawa sebuah jenazah ke pemakaman.
"Tidak, lagian mereka satu spesies sepertimu," ucapku sambil tersenyum membuat dia menatapku datar. "Spesies yang kamu bilang itu bahkan bisa membuatmu ketakutan saat kau mati nanti."
"Iya maaf, aku keceplosan."
Aku berjalan bersamanya dan dia terus saja mengomeliku karena sifatku yang sudah seperti anak remaja labil yang super hiperaktif.
"Aku sudah 37 tahun kalau kamu lupa."
"Tapi semua menganggap umurmu 17 tahun, bukan?" Aku merasa telak mendengarnya. Tidak lama aku mulai terdiam menatap makam keluargaku yang agak kusam termakan waktu.
Entah mengapa tubuhku mulai kaku dan kakiku merosot lemah hingga jatuh ke tanah, aku bergerak mengelus nisan itu sedikit kasar. Air mataku mulai tidak terbendung dan tidak lama mulai mengalir deras seiring dengan kenangan masa lalu yang kembali teringat.
Aku ingat saat aku dan keluargaku pergi menuju taman bermain ketika aku masih SD. Itu merupakan kenangan yang tidak bisa aku lupakan. Aku rindu bagaimana orang tuaku memelukku, aku sangat merindukannya ....
"Ibu maafin aku," ucapku yang terus menangis mengelus nisan milik ibuku. "Aku tidak tahu harus mengatakan apa, tapi aku kangen dengan ibu," ucapku sambil memeluk nisan itu dengan isak tangis yang tidak dapat tertahankan.
Orang yang paling aku rindukan adalah ibu, ibuku yang selalu marah kepadaku menjadi suatu kenangan yang tidak pernah terlupakan. Suaranya bahkan terus mengalun seiring aku menangis di makamnya.
Ibu adalah sosok penyemangat, tidak akan pernah ada yang menggantikannya.
"Eyla, ayo kita cari tempat tinggalmu," jawabku dengan menggeleng pelan saat malaikat itu menepuk bahuku. "Aku mau di sini."
"Kau bisa lihat makam di sebelah sana." Aku mengelap kedua pipiku yang basah sembari menatap pemakaman yang ramai bahkan kamera pun menyoroti acara pemakaman tersebut.
Kenapa hari menyedihkan seperti itu harus diabadikan?
"Ayo kita pergi, keadaan sudah mulai ramai." Aku mulai berdiri dan bergegas menjinjing kedua tasku sambil berjalan pergi menjauhi pemakaman.
"Aku yakin keluargaku sekarang sedang bahagia di sana." Aku tersenyum sambil menatap malaikat yang menatapku datar dengan tampang pria dewasa yang akan memarahi anaknya.
"Sebelum kamu mengatakan itu, ingatlah untuk mencari kebaikan agar seluruh keluargamu bahagia."
Entah apa yang dia bicarakan, aku hanya mengangguk pelan membalasnya sambil menatap pemakaman keluargaku yang sudah tidak terlihat oleh pepohonan kamboja.
"Aku sudah dapat rumah yang akan kamu tinggali." Aku melotot terkejut. "Kamu harus bangga saat melihatnya. Kos-kosan itu paling bagus bahkan harganya paling terjangkau."
Setelah aku berjalan ke arah selatan makam selama 15 menit, aku sampai di kos-kosan yang lumayan mewah membuatku ternganga tidak percaya. Malaikat di sampingku mulai menekan bel rumah.
Aku mulai memukul pundaknya membuat ia kaget. "Apa kamu berniat membuatku miskin?" Dia menggeleng sambil tersenyum. "Tenanglah, ini tempat yang sangat dipercaya sebagai tempat yang paling murah meriah."
Setelahnya seseorang membuka pagar dan aku bisa melihat perempuan yang mungkin berumur 20 tahunan sedang membawa sapu di tangannya.
"Ohh ada Pak Adri, silahkan masuk," ujarnya membuat kami masuk ke dalam. Aku masih berpikir bagaimana bisa perempuan itu bisa mengenali Pak Adri padahal dia terus bersamaku?
Apa dia menggunakan jurus seribu bayangan?
Aku dan mala—bisa dipanggil Pak Adri sudah duduk di ruang tamu dengan kursi kayu jati kokoh yang tampak indah, aku jadi teringat kursi ruang tamuku dahulu.
"Ohh jadi ini keponakan bapak yang akan tinggal disini." Pak Adri mengangguk dan mulai mengelus rambutku pelan.
Mungkin dia lebih cocok menjadi bintang film dibandingkan menjadi malaikat.
"Dia sebenarnya sudah lulus dan berniat kuliah tahun ini, tapi sayangnya dia tidak lolos kuliah yang dia inginkan. Jadi aku bawa saja dia ke sini untuk bekerja mengisi waktu luangnya untuk menunggu kuliah tahun depan," ucapnya yang tentu saja sudah aku pastikan dia mengarang.
Aku menghiraukannya dengan menatap perempuan di depanku, kami saling tatap sampai dia tak lama memutuskan pandangannya mengobrol dengan pria tua membosankan itu. "Kebetulan ada kamar yang kosong, ohh iya nama kamu siapa, Dik?"
Aku yang ingin menjawab malah pria menyebalkan itu yang menjawabnya, "dia Ela, Yessa. Aku berharap kalian berteman dengan baik," ucapnya lalu mendorong lenganku untuk mengulurkan tanganku ke depannya. Aku cuma mendengus dan mulai melakukannya.
Hey?! Dia seenaknya mengubah namaku!
"Hallo Ela namaku Yessa, semoga kita bisa berteman baik," tuturnya sambil tersenyum.
Aku menyalaminya sembari mengangguk senang melihat senyuman pertemanan ini, aku harap dia bukanlah teman kesekian yang akan menjauhiku.
❃.✮:▹ ◃:✮.❃
Malam harinya, aku sedang duduk di kasur nyaman sambil memandang malaikat di depanku yang berdiri layaknya seorang hantu.
"Jangan memanggilku hantu, derajatku di atas mereka." Aku mendengus sebal.
Aku lupa dia bisa mendengarkan suara hatiku.
"Kenapa kamu balik lagi menjadi malaikat?"
"Ya aku 'kan malaikat," aku mendengus mendengarnya.
Sudah kuduga.
"Ohh iya, aku akan keluar." Aku berjalan membuka pintu dan mendengus ke belakang saat merasakan jubahnya mengenai tanganku.
"Jangan mengikutiku?!"
"Okee okee silahkan." Aku berjalan pergi menutup pintu dan mulai merasa canggung saat ada orang yang lewat. Aku cuma berjalan gugup dan segera membuka pintu utama dan menutupnya pelan.
Huft, syukurlah..
Aku segera mengambil sendalku di rak dan langsung berjalan membuka pagar sambil menyapa pak satpam yang sedang ngopi sambil menonton bola.
Aku menatap malam dengan sendu, memang kembali ke kota asal adalah pilihan buruk. Tapi apa daya, aku tidak akan bisa berkembang banyak untuk menerima takdir yang menyedihkan ini.
Lagian aku sudah punya—aku bahkan hanya punya malaikat yang selalu ada di sampingku. Ya walaupun terkadang menyebalkan diikuti olehnya tapi aku suka saat ada teman yang menjagaku, walaupun atensinya bahkan terlihat melayang sekalipun.
Aku berjalan sambil menatap jalan raya yang sepi dan agak mencekam. Aku bisa merasakan dari arah belakangku ada seseorang yang mengikuti, tapi aku tidak ambil pusing. Biasanya malaikat itu selalu mengikutiku dalam bentuk apapun. Mungkin sekarang dia menjadi tiang listrik yang sekarang sedang aku pegang.
Ehm, mungkin.
Setelah berjalan berkelok-kelok, aku menatap seseorang yang menempelkan sesuatu di pintu minimarket yang membuatku tersenyum menyadari kebetulan ini.
Saat aku mendekat dan melihatnya, aku langsung tersenyum lebar dan segera masuk untuk berbicara pada ibu berumur yang pasti membutuhkan bantuanku.
"Permisi, bu." Ibu itu menatapku dari atas ke bawah.
"Iya, ada apa?"
"Saya baca lembaran yang ditempel—"
"Ohhh, kamu mau ngelamar?" Aku mengangguk walaupun omonganku sempat terpotong. "Okee kamu diterima, kamu besok bisa datang sekitar pukul 12 siang." Ibu itu berjalan pergi
"Terima kasih, bu," jawabku sambil tersenyum menatapnya yang sudah berbalik ke arah pintu belakang.
Aku menegakkan tanganku ke atas dengan semangat saat keberuntungan datang secara tiba-tiba. Aku berjalan menutup pintu minimarket seraya loncat kesenangan.
Tapi tunggu ....
"Tadi aku lewat mana ya?"
❃.✮:▹ ◃:✮.❃
Keesokan harinya, aku bangun terlambat dan segera mandi cepat untuk pergi ke minimarket.
Seharusnya aku menandai jalanku ke arah mana malam itu, aku bahkan sampai tersesat hingga hampir 3 jam kalau tidak ada malaikat yang menemukanku. Untungnya dia datang walaupun dia mengomeliku saat diperjalanan pulang.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah 12, tapi aku baru saja bangun dan untungnya aku cekatan dalam hal mandi maupun mengisi perut.
Aku lebih baik mengisi perut dengan roti sambil bergegas menggigitnya dan mengunci pintu kamar untuk segera pergi dari kosan.
Setelah berjalan sekitar 10 menit, aku sampai di minimarket dengan pemiliknya dan seseorang lelaki muda yang membawa tasnya keluar sebelum aku membuka pintu.
Aku membuka pintu pelan dan ibu bos berkacak pinggang melihatku. "Kenapa jam segini baru datang?" Aku meminta maaf kepadanya dan dia hanya menghela napas panjang.
"Karena sekarang kamu sudah diterima, kamu bisa melihat saya yang nanti akan melayani pelanggan," ucapnya saat melihat pelanggan yang masuk.
Aku disuruh tersenyum melayani pelanggan yang datang, aku melakukannya dan tersenyum menatap keluarga hangat yang terdiri dari ayah, ibu, dua anak perempuan, dan satu anak lelaki yang sedang berjalan bersama.
Mereka tersenyum bahagia tatkala aku tersenyum pada mereka.
"Kenapa menangis?" Aku kaget mendengar ucapan bosku dan segera mengulas air mataku yang mengalir.
Entah mengapa, aku merasa teringat sesuatu ....
"Ayah, Eyla pengen numpak bianglala." ayahku berpikir sebentar lalu mulai berbisik pada ibuku yang mengangguk dan segera ayahku menggendongku. Kakak lelakiku mengikuti dengan menggandeng tangan ibuku yang sedang menggendong adik perempuanku yang saat itu berumur 3 tahun.
Setelah membeli karcis, aku segera menaikinya bersama ayahku dan ibuku beserta kedua saudaraku menaiki bianglala setelahnya.
Saat bianglala itu mulai meninggi, aku memeluk ayahku ketakutan seraya merasakan tangan besar ayahku yang mengelus rambutku pelan.
"Eyla bocah apik*, Eyla kudu berani ya," ucap ayahku dan aku masih memeluknya saat itu.
"Ayah, aku sudah berani hidup tanpamu. Tolong doakan aku," gumam pelan saat aku menatap keluarga itu yang sedang membayar belanjaan oleh bosku.
Aku hanya diam menatap lekat ayah dengan anak perempuan di dalam gendongannya. Ayah itu menatapku dan mulai menggerakkan tangan anak perempuannya seakan menyapaku.
Aku kangen ayahku ....
Tidak, aku bahkan rindu seluruh keluargaku ....
❃.✮:▹ ◃:✮.❃
*bocah apik = anak baik
.
.
.
Semoga bahasa jawanya mudah dipahami.
Semoga dapet feel-nya🙃
Vote and coment jangan lupa:v
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro