[31] Semua Sudah Cukup
Dalam kesunyian, aku mengintai semua yang terjadi.
^^^
Laser berjalan di koridor dalam diam. Rambutnya acak-acakan seperti rambut kingkong gondrong yang tidak pernah disisir. Tatapan tajamnya terarah lurus, seperti hendak menghancurkan segala hal yang ada di muka bumi ini. Siapapun yang melihat, pasti akan merasa terkorosi. Jika tatapan beracun, pasti semua sudah jatuh pingsan dengan mulut berbusa.
Ketika Laser menoleh ke belakang, langkahnya langsung terhenti. Tatapannya berubah tak terbaca ketika memerhatikan Natusa yang berjalan dengan kepala tertunduk. Dilihatnya tangan Natusa yang bergerak resah dengan langkah kaki terlampau lambat. Hendak menyapa, Natusa sudah mendongakkan kepala menatap tepat manik mata Laser. Langkahnya juga berhenti.
Diam. Kaku. Hawa sekitar mendadak terasa sengit karena tatapan kebencian sekaligus kecewa Natusa yang terpancar jelas, ditujukan pada Laser. Bingung sejenak, Laser segera tahu jika Natusa marah karena dia mereject telfonnya semalam.
Ketika dia ingin menghampiri Natusa untuk menjelaskan dan menceritakan segala kegalauannya sekarang, Natusa sudah putar balik, berjalan cepat menghindarinya.
"NAT!"
Laser berlari mengejar, Natusa berlari menjauh. Natusa menampakkan wajah geram, wajah Laser tak kalah rumit. Tidak sampai sana, adegan kucing-kucingan terus berlanjut. Natusa memutar balik arah, melewati koridor kecil, memasuki ruang kelas sepuluh, membiarkan Laser berlari melewati kelas tempatnya bersembunyi.
Ketika ia keluar dan berlari hendak menaiki tangga, Laser memergokinya. Natusa langsung mengurungkan niatnya untuk menaiki tangga dan berlari menyeberang lapangan upacara, mengabaikan Laser yang terus-menerus meneriakkan namanya.
Laser berhenti lagi ketika kehilangan jejak Natusa. Mengedarkan pandangan ke seluruh tempat dalam jangkauan, Laser menghembuskan nafas keras sambil menarik rambutnya kasar.
Masalah apa lagi ini? Natusa marah karena dia mereject panggilannya, lalu Natusa tidak mau mendengarkan penjelasannya? Natusa tidak tahu apa yang menimpanya tadi malam! Ia juga ingin Natusa membantunya keluar dari masalah rumit yang sudah lama tidak terpecahkan ini! Masalahnya dan Sergio, kelewat mustahil jika Laser harus memecahkannya sendirian. Natusa tidak tahu dia punya masalah yang lebih penting daripada mengangkat telfon Natusa!
Laser melihat kelas X IPS 2 yang ada di belakangnya. Apa Natusa sembunyi di dalam? Ia berjalan menuju pintu kelas, berniat mengobrak-abrik kelas dan tidak akan berhenti sampai Natusa ketemu. Jangan tanya mengapa dia seperti kesetanan sekarang. Tenang. Dia tidak kesurupan. Hanya saja ada setan yang hobinya marah, menempel tepat di punggungnya. Dia tidak suka dengan keadaan yang memunculkan bertubi-tubi masalah ini. Laser hanya ingin menyelesaikannya dalam sekejap, tanpa menimbulkan kesalahpahaman lagi.
"Kak Laser!"
Laser menoleh, menatap Nindy yang berdiri dengan senyum manis terpampang di bibir tebalnya. Kuncir kuda yang begitu tinggi sedikit membuat Laser salah fokus.
"Gimana, Kak? Nanti jadi mau nganterin aku?"
Mendengar itu membuat Laser ingin sekali menghantamkan kepalanya sendiri pada tembok di dekatnya. Tuhan, masalahnya sendiri belum selesai, Natusa juga marah-marah, dan kali ini Nindy muncul seolah-olah dia sudah berjanji mengantarkannya? Padahal kemarin Laser tidak membalas pesan chatnya.
Menoleh ke kanan, Laser terkejut ketika melihat Natusa sudah berdiri menghadapnya dengan tatapan tidak menyangka. Mundur pelan-pelan, Natusa langsung berbalik meninggalkan Laser dan Nindy berduaan.
Laser menatap Nindy sejenak sebelum berkata, "mending lo masuk kelas, deh." Nindy mengangguk patuh. Tatapan keingintahuannya tertuju pada Natusa sebelum Laser berlari mengejar.
Nindy geleng-geleng dan berjalan ke kelasnya. Jika dia disuruh melihat adegan drama korea dimana seorang cowok berlari mengejar cewek, lalu memeluk sang cewek, Nindy bisa kejang-kejang dan pingsan di tempat.
"NAT!" Laser berdecak sambil menarik tangan Natusa keras. "Berhenti gue bilang!" Laser menatap Natusa dengan dahi yang berkerut dalam.
Menghempaskan tangan Laser, Natusa berkata dengan marah. "Apa sih? Mau apa?"
Natusa menatap Laser kecewa. Hatinya tiba-tiba terasa panas ketika menatap manik mata Laser. Cowok yang dulu sangat dia benci, lalu dia mulai menaruh perasaan padanya, akhirnya sekarang dia membencinya lagi.
Kenapa sih lo nggak bisa ada saat gue butuh lo?
Ser, apa bener lo cinta sama gue? Kenapa gue pengen nangis sih sekarang?
Apa sangking marahnya gue sama lo terus gue pengen nangis sekarang?
Natusa yang awalnya kecewa ketika Laser tidak ada saat dia membutuhkannya, kini lebih kecewa lagi ketika tahu Laser dan Nindy ada hubungan. Hubungan macam apa, Natusa tidak ingin tahu. Yang pasti Natusa tahu Laser punya janji akan mengantarkan Nindy.
"Dengerin gue dulu! Lo salah paham, Nat!" Laser kembali memegang tangan Natusa, tetapi dihempaskan lagi.
Beberapa murid yang melihat keributan di antara keduanya, langsung menjaga jarak. Yang hendak lewat, berbalik lagi dan memilih lewat jalan lain. Bahkan tiga cewek yang kelasnya tepat di depan Laser dan Natusa beradu mulut, berbalik dan pergi entah kemana karena tidak berani melewati sepasang ulet bulu yang sewaktu-waktu bisa melepaskan semua bulunya.
Zona tempat mereka berdiri sekarang tanpa sadar menjadi kawasan terlarang, seakan-akan bergaris polisi. Dari jarak 10 m, semua akan mundur secara teratur. Beberapa anak heran. Padahal tidak ada gunung berapi di dalam sekolah, kenapa atmosfer sekitar bertambah panas?
Natusa menggelengkan kepala. Walaupun Laser mengungkapkan beberapa alibi yang dia buat tentang hubungannya dengan Nindy, belum tentu hal itu bisa membuat rasa kecewa di hatinya hilang. Tentang semalam misalnya. Apa yang bisa Laser jelaskan tentang semalam? Apa Laser sedang berbalas pesan dengan Nindy membicarakan tentang janji pergi yang dimaksud Nindy tadi?
"Ser, asal lo tau. Gue udah nggak peduli sama apa aja yang lo lakuin!" Dengan nyalang Natusa menatap mata Laser. Memejamkan mata sejenak, Natusa berusaha meredam hatinya yang membisikkan kata untuk mendengar dan memaafkan Laser.
Tolong hati, untuk kali ini jangan ikut campur dulu pada masalah yang bisa membuat dirimu sendiri patah.
"Kok lo gitu sih?" Laser berhenti menggapai tangan Natusa. Ditatapnya Natusa dengan raut wajah kecewa, tak percaya, dan tersakiti. Cewek yang dia cintai tidak bisa mengerti dirinya. Memandangnya salah, bahkan tanpa menanyakan alasan. Hal apa lagi yang bisa menyakiti ego seorang pria?
Memandang wajah kecewa Laser, air mata Natusa mulai merebak.
Gue salah?
Apa salah gue berharap Laser selalu ada buat hidup gue?
Apa gue salah membalas cinta seseorang yang dulunya sangat dia benci?
Tuhan. Ada apa dengan Natusa sekarang? Rasa kecewanya muncul begitu besar ketika dia semakin lama menatap mata Laser. Apalagi ketika melihat kekecewaan yang ditunjukkan Laser, dia merasa semakin sedih. Laser kecewa pada perkataannya yang kelewat kasar? Natusa hanya berharap Laser menyadari kesalahannya, menanyakan apa sebab dirinya marah, memeluknya di saat Natusa rapuh, ada dikala Natusa membutuhkan sebuah bahu untuk bersandar.
"Nat, Nat! Jangan nangis."
Baru kali ini dia melihat Natusa meneteskan air mata. Apalagi air mata ini ada karena dirinya! Sungguh, Laser tidak pernah melihat Natusa menangis saat Arjun menolaknya terang-terangan. Ini bukan hal yang patut untuk dibanggakan. Ini awal dari kegagalannya untuk menjaga Natusa, membuat Natusa bahagia karena cinta yang dia berikan pada Natusa. Nyatanya? Dia hanya memberikan air mata.
Laser menjambak rambutnya frustasi karena merasa tidak berguna. Sergio benar. Dia merendahkan Laser karena memang itu faktanya. Sekarang lihat. Dia terlihat begitu rendah karena menyakiti hati cewek yang dia cinta. Hendak memeluk Natusa, kedua tangan Laser malah ditepis keras oleh Natusa yang mulai terisak.
Mengusap air mata yang tanpa malu turun, dengan terisak Natusa bertanya, "kemana lo semalem? Insting gue bilang lo nggak lagi tidur pas gue telfon lo." Menatap langit-langit sekolah untuk mencegah air mata yang hendak membasahi pipinya lagi, Lusi dan Anas tiba-tiba menyerobot ke tengah-tengah Natusa dan Laser.
"Ini ada apa sih!" Lusi berdiri di depan Natusa sambil mendorong Natusa mundur.
"Lo apain temen gue!" Menatap Laser tajam, Lusi seolah ikut patah hati juga ketika melihat Natusa menangis.
"Ser, ini ada apa sih?" Anas menepuk bahu Laser, berusaha membuatnya tenang. "Lo tenang. Ini pasti ada kesalahpahaman. Gue kenal Natusa dari kecil, dan ini baru kelima kalinya gue liat dia nangis."
Laser tidak menjawab, hanya menatap Anas dengan perasaan campur aduk.
"Ser. Apa lo tau gue udah mulai cinta sama lo? Kenapa lo buat gue ragu disaat hati gue ikutan main dalam masa-masa ini? Lo nggak tahu tadi malem gue ketakutan, sendirian, gelap. Dan saat itu yang ada di pikiran gue siapa? Lo, Ser! Lo! Daripada Lusi dan Anas kenapa gue cuma kepikiran lo? Kenapa lo nggak angkat telfon gue? Apa lo bener-bener memprioritaskan gue?" Air mata sudah berlinang di wajah Natusa. Melihat Natusa yang galak, namun ternyata juga menyimpan banyak ketakutan seperti ini membuat Laser merasa bersalah. Rasa tidak tega membuatnya berkali-kali menutup mata. Ingin memeluknya, tapi Natusa sudah merentangkan jarak. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menatap Natusa penuh maaf.
"Sa, udah Sa. Udah! Lo tenang dulu!" Lusi ikut berkaca-kaca. Bukannya dia baperan atau apa, ucapan Natusa berhasil menyentil keras hatinya.
"Nggak bisa, Lus!" Natusa menyingkirkan tangan Lusi yang terus berusaha membuat kepala Natusa bersandar di bahunya.
"Mulai sekarang, mending lo pergi jauh-jauh dari gue." Walaupun matanya masih berkaca-kaca, Laser bisa melihat pancaran kebencian di sana.
"Sa! Ini bukan lo banget! Sorry, bukannya gue sama Lusi mau ikut campur. Tapi ini sekolah. Gue tau ini sepi banget, nggak ada yang ngeliatin, tapi tetep aja ini sekolah." Anas mengingatkan dengan perasaan sedikit bingung. Ini tumbenan ada yang berantem, tapi nggak ada satupun yang ngeliatin. Biasanya langsung aja rame-rame bentuk lingkaran.
"Pergi? Seenaknya gini lo nyuruh gue pergi?" Laser menggelengkan kepala tak percaya.
Mata Laser mulai memerah. "Gue juga pengen dimengerti, Sa! Bukan lo doang! Lo cuma mikirin masalah lo sendiri tanpa mau tanya kenapa gue reject telfon lo! Gue juga punya masalah sendiri, Sa! Lo jangan jadi awan yang bisanya cuma menurunkan hujan. Jadilah awan yang bisa berdiri berdampingan sama matahari."
Air mata Natusa semakin deras. Ia langsung memeluk Lusi yang hanya bisa diam menyimak. Dia tidak tahu masalahnya apa, dia juga bingung harus membela siapa.
Hati Natusa begitu sakit ketika mendengar ucapan tajam Laser. Melihat bulir air mata yang hendak turun dari mata Laser, Natusa segera mengalihkan pandangan. Sudah cukup! Ia tidak bisa melihat pemandangan itu! Hatinya bertambah rumit sekarang. Ada rasa egois untuk membela dirinya sendiri, ada juga rasa bersalah yang muncul ketika melihat Laser begitu terluka karena perkataannya.
Jadi ... apa ini akhir dari semuanya? Apa ini pertanda mereka tidak diijinkan bersama? Daripada saling menyakiti, mengapa tidak saling menjaga hati dengan saling menjauh, kembali pada masa-masa dimana mereka tidak saling kenal?
Cukup.
Ini semua sudah cukup.
Rasa gembira yang dia rasakan ketika bersama Laser, sudah cukup sampai di sini.
Rasa bergantungnya pada Laser juga sudah cukup untuk menyakiti Laser.
Mulai sekarang, Natusa akan belajar mandiri agar tidak bergantung pada siapapun, agar tidak menyakiti siapapun. Kini, dia benar-benar sendiri.
Natusa melepas kalung milik almarhumah mama kandung Laser dengan berat hati. Hatinya teriris ketika membayangkan bagaimana reaksi Laser ketika mendengar keputusannya ini. Lusi yang melihat itu hendak menghalangi, namun mendapat pelototan tajam Anas. Ia langsung membiarkannya.
"Gue bukan awan, Ser. Gue rumput." Natusa tertawa secara menyedihkan. Masih tidak berani menatap mata Laser, dia memantapkan hatinya sejenak untuk melihat Laser yang menghapus air matanya dengan tatapan tak kalah terluka dari Natusa.
Laser memerhatikan gerak-gerik Natusa yang membuat hati seakan terkorosi setiap detiknya.
Berusaha terlihat tegas dan meyakinkan, Natusa kembali memperlihatkan raut wajahnya biasanya. Natusa melepas kalung, meletakkannya di tangan kanan, lalu mengulurkan tangan kanannya pada Laser.
Natusa berkata dengan suara serak, "Sekarang lo udah bebas dari 4 Perintah Ratu yang gue kasih buat lo. Silakan menjalankan kehidupan lo seperti biasa, seperti saat-saat dimana lo belum ketemu sama gue."
Tanpa siapapun menyadari, Arjun melihat semuanya.
^^^
A/n :
Gimana chapter ini? Kalian puas?
Aku baik atau jahat sih?
Part selanjutnya pengen mereka baikan atau saling jauhan aja?
Atau Arjun aja dateng buat masuk lagi ke dalam hati Natusa?
Apa Sergio aja didatengin buat ngobrol sama Natusa?
Ih kalian pengen apa sih? Ayo bilang
Ohhh pengen Sad Ending?
^^^
Kalung almarhumah mamah kandung Laser{}
~
Karena hari ini lolos eliminasi, aku tadi sempet suruh Laser ngevlog, buat QnA.
Tapi berhubung suasana hati Laser lagi buruk, next chapter yaa kalo hatinya udah baikan^^
Siapin dulu pertanyaannya, taruh di memo, ketika saatnya tiba, copas aja di kolom komentar next chapter^
Makasih atas dukungannya{}
^^^
Kangen mamas cincau? Kangen Arjun? Kangen Bonong dan puisinya? Next chapter ada semua~~~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro