Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

:: Park Jimin ::

Sebuah definisi patah hati harusnya diberi satu lagi penjelasan, patah hati tidak melulu tentang emosi yang membuncah dan nyeri yang terasa begitu menyebalkan.

Aku merasakan itu juga, tapi ada satu perasaan yang anehnya timbul dari dalam hatiku.

Aku senang sekaligus sakit melihat senyum Cheonsa siang tadi.

Aku senang, Cheonsa bahagia.

Aku sakit, di antara senyumannya itu ada Taehyung yang ikut melengkungkan senyumnya.

"Jimin, bisa antarkan aku bertemu Ibu?"

Pukul empat sore ini aku tengah disibukkan dengan calon adik tiriku. Ibu akan segera melangsungkan pernikahannya dengan Paman Hwang, Ayah Jiyeon tentunya. Paman orang yang baik, dia juga berteman baik dengan Ayah.

Lucu sekali. Keluargaku mengkritik ini itu tentang yang lain padahal dirinya sendiri lebih berantakan. Keluargaku berantakan. Aku punya dua Ayah, satu Ibu, satu adik perempuan, dan calon istri yang notabenenya adalah kekasih sahabatku sendiri. Kalau aku anak sekolah dasar yang diminta untuk menceritakan tentang keluarganya, aku akan mundur dan menutup buku gambarku di atas pangkuan. Aku tidak bisa menggambarkan bagaimana keadaan keluargaku sendiri.

"Jimin? Kau melamun sejak tadi. Kita harus segera mengirimkan baju ini untuk keluarga Ibumu."

Keluarga Ibuku ya? Aku sudah lama tidak bertemu Nenek. Dia pasti sangat kesepian semenjak Ibu pergi.

"Naiklah ke mobil duluan, aku ganti baju dulu."

Aku memberikannya kunci mobilku dan Jiyeon hanya mendengus sebelum keluar dari apartemenku. Pintu tertutup rapat dan suara debam sedikit keras terdengar di telingaku. Gadis itu pasti sebal karena aku lama. Dia terlalu bersemangat mengurusi hal ini.

Aku sebenarnya hanya ingin mengambil jaketku dan beberapa pakaian Cheonsa yang tertinggal. Gadis itu sering menginap di sini ketika aku pulang ke rumah. Menghindari Yoongi katanya.

Aku mengambil kantung cokelat dari dalam laci dan mengemasi pakaian Cheonsa seperti kaus dan celana jeans miliknya. Ia sudah seperti orang pindahan karena hampir setengah dari lemari pakaianku berisi pakaiannya. Entah ia mengungsi atau membuang pakaiannya di lemariku.

Setelah mengambil sebuah kaus kebesaran, celana jeans, dan cardigan putih miliknya aku segera turun ke bawah dan mengantar Jiyeon sebelum memberikan titipan Cheonsa.

Cheonsa tadi sempat mengirimiku pesan untuk membawakan bajunya ke apartemen keluarga Kim. Ah entahlah gadis itu lebih sering bermalam di rumah orang lain daripada di rumahnya sendiri.

Belum sampai lift yang kunaiki berdenting menandakan aku sampai di bawah, teleponku bergetar dan menampilkan nama Cheonsa di sana. Gadis bawel.

"Aku sudah membawanya, oke?" Aku terkekeh seraya mengatakannya. Aku membayangnya wajah jengkelnya kalau saja aku lupa membawa bajunya.

"Kau tidak salah bawa kan? Terakhir kali kutitipkan kau beli kentang kau malah membeli brokoli."

Kudengar suara rengekan dari seberang sana. Ya Tuhan itu sudah lama sekali. Lagipula Cheonsa memberikanku list belanja dengan sangat cepat lewat telepon. Aku jelas tidak bisa mencernanya dengan benar.

"Baiklah tuan puteri, aku segera jalan." Kakiku berbelok ke arah timur, dimana mobilku terparkir dan sudah menyala karena ada Jiyeon di sana. Aku membuka pintu mobil masih dengan telepon di sisi telinga kananku.

"Lima belas menit? Tapi kemudikan mobilmu dengan benar! Aku tidak mau dengar kau menabrakkan mobilmu lagi, aku turut prihatin dengan pohon yang kau tabrak waktu itu."

"Ayay captain!" Aku tertawa lagi. Cheonsa selalu mengatur ini itu tentangku. Dia seperti Ibu bukan hanya teman kecilku.

"Tapi sepertinya aku harus bertemu Ibu dulu, nanti malam bagaimana?" Aku menyalakan mesin mobilku. Kulihat Jiyeon melirikku untuk segera mematikan ponselku atau aku ingin kami mati karena mengemudi sambil bertelepon.

Aku masih bisa hati-hati, benar. Tenang saja.

"Oke, titip salam untuk Ibumu ya."

"Baiklah, titip salam juga untuk Jungkook dan Hanna Noona, ya. Aku segera ke sana."

"Siap! Hati-hati babi besarku!"

Kumatikan ponselku setelah mobil yang kukendarai berhasil keluar dari parkiran. Jiyeon yang di sampingku kini sibuk memilih saluran radio. Sesekali ia bergumam kecil mengomentari kalau tidak ada siaran bagus sore ini. Sedangkan pikiranku kembali melayang pada kejadian siang tadi.

Sebenarnya aku berniat untuk mengajak Cheonsa makan siang, tapi niat itu kuurungkan ketika melihat Taehyung sedang bersama Cheonsa.

"Wajahmu terlihat murung. Apa karena si penelepon tadi? Dia calon tunanganmu itu, ya?"

Jiyeon memang pandai membaca suasana hatiku. Mungkin karena kami terbiasa bersama sejak SMA? Yah, hubungan keluargaku kandas sejak aku masih SMA dan aku merahasiakan semuanya dari Cheonsa.

Bahkan sampai sekarang Cheonsa hanya tahu kalau Ibuku sedang mengurus Nenek di Busan.

"Kau memang penyusun skenario terbaik. Jadi bagaimana hubunganmu dengan sahabatmu itu? Tidak bisakah kau mengenalkan mereka padaku? Aku kan juga bagian dari keluargamu!"

Tidak, bukan aku penyusun skenario sesungguhnya. Aku hanya memainkan peranku dengan sangat baik. Menjadi anak patuh yang disayangi keluarga, akan segera memiliki seorang istri yang pintar dan cantik seperti Cheonsa, dan bahkan sebuah perusahaan sudah berada di bawah kendaliku. Aku hidup dengan sangat sempurna, tapi tidak sampai kau melihat ke dalam dan menelisik seluruh seluk beluk susunan keluargaku.

Seorang anak yang lahir dari seorang Ibu yang tidak direstui hubungannya dengan keluarga dari suaminya. Ibu dan Ayah tidak benar-benar menikah sampai Ibu melahirkanku. Aku bahkan tidak lebih dari Taehyung yang Nenek bilang membawa pengaruh buruk bagiku karena keluarganya yang entah ada dimana.

Bukankah seharusnya aku lebih banyak bercermin? Atau aku harus memecahkan pintu di hadapanku dan mengatakan pada Nenek kalau aku tidak sanggup ikut bermain dalam skenarionya?

"Park Jimin? Kau baik-baik saja? Kita sudah nelewati toko bunga Ibu."

Aku tidak baik-baik saja, Jiyeon.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro