:: Park Jimin ::
Sebenarnya aku yang menjadi orang ketiga dalam hubungan nyata Taehyung dan Cheonsa, atau Taehyung yang menjadi orang ketiga dalam hubungan resmiku dan Cheonsa?
"Kau seperti perusak hubungan seseorang. Kau gila?"
Ya, Jiyeon benar. Aku gila. Aku perusak hubungan? Bukankah hubunganku dan Cheonsa sudah jelas? Bagaimanapun kami mencoba lari, tetap saja tidak bisa dihentikan.
"Aish, memangnya masih zaman ya melakukam pernikahan karena perjodohan? Kekanakan sekali." Jiyeon kembali mengoceh. Tak hentinya ia mengetuk-ngetukkan pisau dapur dengan kencang. Aku sempat bergedik ngeri ketika Jiyeon berbalik badan dan berjalan menuju meja makan. Jelas saja, pisaunya masih berada di tangan kanannya!
"Ya! Jauhkan pisaumu!" Aku berteriak refleks. Jiyeon hanya tertawa pelan lalu menaruh piring berisi pasta yang baru saja ditaburi keju.
"Makanlah," tutur Jiyeon. Aku mendecak sebal melihat tingkah gadis ini. Dia kadang bisa lebih menakutkan dari tokoh pembunuh dalam film.
"Panggil aku Oppa, Jiyeon-ah."
"Oppa? Menggelikan. Tidak akan pernah."
Ck, gadis menyebalkan.
"Aku lebih tua darimu."
"Ne, Ahjussi."
"Ah terserah. Omong-omong kenapa Ibu bisa datang ke rumah?" Aku memasukkan satu suapan ke mulutku. Masakan Jiyeon sangat mirip dengan masakan Ibuku, makanya aku sangat suka.
"Mengambil baju sepertinya?" Jiyeon mengarahlan bola matanya ke atas. Gadis itu tidak pandai berbohong. Aku menatapnya terus menuntut jawaban.
"Ah oke, Ibumu datang ke rumah untuk menyerahkan surat perceraian pada Ayahmu. Lalu ia mengajakku ke sana dan kau malah membawaku pulang."
Memuakkan. Inilah alasan Nenekku sangat ingin aku dijodohkan dengan Cheonsa, selain karena harta dan kekayaan orang tua Cheonsa. Meskipun aku memang mencintai Cheonsa, tapi aku tahu ini salah!
Nenek bilang, sebuah perjodohan lebih menjamin kehidupan rumah tangga kalian. Dia pasti akan mengatakan kalau pernikahan Ayah dan Ibu adalah sebuah kegagalan karena Ayah menentang untuk dijodohkan. Cih padahal semua kerusakan dalam hubungan ini berdalang darinya. Wanita tua itu terlalu jauh mencampuri hidup Ayah.
"Kau tidak keberatan dengan keadaan ini? Bukankah kau sangat menyayangi Ibumu?"
Anak mana yang tidak menyayangi Ibunya? Karena aku begitu menyayangi Ibuku makanya aku tidak mau melihat ia tersakiti. Bersama dengan Ayahku memang sebuah kebahagiaan baginya, tapi tidak dengan kehadiran Nenek sebagai tembok penghalangnya.
"Ayah sudah merelakan Ibu, apa aku harus seperti dia juga? Bukankah mereka saling mencintai? Kenapa mereka harus berpisah?" Tak sadar aku melontarkan sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang dulunya hanya sempat terlintas di otakku.
Selang beberapa waktu aku merasakan tangan Jiyeon menggenggam milikku. Rasanya hangat, seolah Jiyeon tengah menyalurkan kehangatannya padaku.
Tunggu dulu, satu hal yang harus kalian ingat bahwa aku dan Jiyeon tidak memiliki hubungan apapun.
"Haruskah kita menggagalkannya? Aku tahu kau tidak mau menjadi kakak tiriku."
Ya, kami hanya dua orang yang saling kenal karena Ibu dan Ayah kami akan menikah. Oh ini sungguh gila, Ibuku bahkan tidak mencintai Ayahnya Jiyeon! Kenapa mereka harus menjalin ikatan sakral itu?
"Aish gila! Mereka pikir pernikahan itu hanya sebuah permainan harta?" Aku mengempaskan tangan Jiyeon. Aku tidak bermaksud, aku hanya terbawa emosi.
Gadis di hadapanku kini menghela napas jengah. Aku pikir dia juga sama emosinya denganku. Hanya saja ia mungkin sebal melihat tingkahku.
"Oke, aku tidak bilang kalau Ibuku menginginkan harta Ayahmu. Tidak pernah sungguh, Ibu bukan orang yang seperti itu."
"Aku tahu. Ibumu seperti malaikat pelindung bagi keluargaku. Semenjak Ibumu datang, semuanya berbeda."
Ini yang lebih gila. Ibu mencintai Ayah tapi hubungan mereka tidak direstui. Lalu Ayahnya Jiyeon sangat membutuhkan Ibuku dan Ibu tidak bisa menolak untuk berada di sisi Jiyeon. Seorang gadis kecil yang merubah seluruh hidupnya, Ibuku sama menyayangi Jiyeon seperti halnya ia menyayangi aku dan kakakku yang telah lama menjauh dari kehidupan kami.
Dan oh ya, aku sebenarnya memang harus menganggap bahwa pernikahan mereka adalah pernikahan balas budi. Atau pernikahan saling membantu?
"Tidak, jangan berikan kebahagiaanmu untukku lagi. Berhutang kebaikan selalu membebani hidupku."
Aku menolak. Aku tidak mungkin memutuskan satu-satunya kebahagiaan Jiyeon. Mungkin dengan berpisah, Ibu bisa menemukan kebahgiaannya yang lain.
Jiyeon tak lagi menjawab. Gadis itu terdiam memandangi kepalaku yang bergerak tengah menikmati makan siangku. Aku bisa merasakan tatapan Jiyeon meskipun aku tidak memerhatikannya. Sedangkan aku terus melahap pasta yang ada di piringku, membiarkan lamunan di kepalaku berputar.
Kalau aku membiarkan Cheonsa pergi, apa aku akan menjadi seperti Ayah yang kalah dalam pertarungan hatinya? Melepaskan orang yang dicintainya.
Atau justru Taehyung dan Cheonsa yang merelakan hubungan mereka berakhir seperti hubungan kedua orang tuaku? Lalu, seberapa dalam aku sudah melukai perasaan sahabatku?
Aku sudah kalah. Sejak awal memang Taehyung pemenangnya, tapi kenapa aku yang mendapatkan Cheonsa?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro