Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

:: Park Jimin ::

Jimin meletakkan garpu dan sendoknya dengan perlahan. Memastikan tidak ada bunyi dentingan yang nyaring. Sopan satun selalu menjadi nomor satu dalam keluarga besarnya. Jimin sempat berpikir untuk kabur karena hampir gila dengan berbagai aturan mencekam dari neneknya.

Sama halnya bagi Ayah dan Ibunya yang terlalu menyayangi Jimin. Maklum saja kakaknya yang paling tua sudah terlalu lama di luar negeri dan tidak pernah lagi kembali semenjak Ayahnya merencanakan perjodohan antar perusahaan. Mungkin ini mirip seperti yang Jimin alami saat ini. Perjodohan? Memuakkan.

"Terima kasih atas hidangan dan waktunya Halmoeni." Jimin membungkukkan kepalanya pelan. Setelah memastikan Neneknya bangkit dari kursi makan dan pergi dari ruangan, ia segera bangkit dari kursi makan dan melangkah dengan perlahan. Meninggalkan ruang makan keluarga yang sangat menyebalkan.

"Jimin-ah."

Didapatinya suara Tuan Park menyebut namanya. Jimin menghentikan langkahnya dan berbalik. "Ne, Appa?" balasnya perlahan.

Oh sungguh memuakkan bertingkah seperti ini. Tuan Park sempat terkekeh pelan melihat perubahan keadaan rumahnya ketika Nenek Jimin datang dari Busan.

"Setelah bersalin pakaian datangi ruang kerjaku, ya," pinta Tuan Park dengan nada bicara yang sama lembutnya seperti yang Jimin lakukan.

Jimin hanya mengangguk pelan dan melenggang menuju kamarnya. Tidak ada tanggapan lain, menurutnya membosankan.

***

"Apa kau sudah menyiapkan semuanya? Pertunangan kalian akan dilaksanakan Minggu depan."

Jimin mendesah pelan mendapat kalimat pertamanya saat masuk ruang kerja Ayahnya. Padahal keadaannya semakin memburuk, tapi bisa-bisanya keluarganya ini merencanakan pertunangan.

"Appa, haruskah aku melakukannya?" Jimin berjalan mendekat. Pintu kayu tertutup rapat di belakangnya.

"Kau tidak mungkin mengecewakanku, kan?"

Jimin terdiam. Di saat seperti ini apa yang harus ia lakukan? Ia mencintai Cheonsa, sangat, sangat mencintainya sampai ia rela melakukan apapun demi mendapat cinta Cheonsa.

Akhirnya Jimin hanya mengangguk. Sedetik kemudian ia mengangkat wajahnya, menatap Ayahnya dengan ragu. Haruskah ia ceritakan semuanya? Semua yang terjadi di antara dirinya dan kedua sahabatnya? Orang tercintanya selain Ayah dan Ibunya? Apakah itu akan mengecewakan sosok pahlawan di hadapannya? Jimin sangat ragu untuk mengeluarkan satu saja suara.

"Ada yang ingin kau sampaikan? Ah pasti ini berat sekali untukmu."

Benar. Semuanya terasa terlalu berat.

"Aku sudah melakukan semuanya untukmu."

Jimin masih terdiam. Tidak ada jawaban ataupun elakan yang tepat. Dia yang memulainya, dia yang membuatnya menjadi seperti ini.

"Ah kalau soal Nenekmu, mungkin kau harus berjaga sikap selama beberapa minggu ini. Dia sangat menantikan pertunangan kalian. Dia pasti sangat bahagia melihat Cheonsa akan menjadi bagian dari keluarga kita."

"Ya, sangat. Aku tidak akan mengecewakanmu, Appa."

"Baguslah. Bagaimana dengan Taehyung?"

Taehyung. Kim Taehyung. Mendengar nama itu sukses membuat Jimin menghela napas yang kesekian kali.

"Aku sudah menuruti perintahmu," balas Jimin pada akhirnya. Ia menunduk sekali sebelum berbalik badan dan meninggalkan ruangan itu.

Semuanya tidak bisa ia hentikan. Sudah terlambat untuk memperbaikinya. Taehyung dan Cheonsa tidak mungkin bersama. Meskipun mereka mencoba untuk mengembalikan keadaan seperti sebelumnya.

Cheonsa, gadis yang sangat ia cintai akhirnya akan segera menjadi miliknya, tapi kenapa hatinya terasa begitu sakit?

"Siapa kau berani datang ke sini? Kau tidak diperbolehkan menginjak rumah ini lagi! Kau gadis sialan yang sudah merusak Jiminku!"

Belum lima langkah dari ruang kerja Ayahnya, Jimin sudah mendapatkan keributan besar di ruang tengah. Ah pasti neneknya.

Dengan cepat Jimin berlari ke arah keributan itu dan membawa seorang gadis dengan jaket hitam bersamanya. Gadis itu yang sebelumnya mendapat bentakan dari neneknya.

"Ya! Kenapa kau datang ke rumahku?" Jimin berbisik kala ia membawa gadis itu keluar dadi rumahnya.

Teriakan neneknya di belakang tak Jimin hiraukan. Biarkan saja jadi urusannya nanti, pasti dia akan kena amukan lagi. Lagipula bisa-bisanya gadis ini berani datang ke rumahnya? Tanpa salam. Kenapa juga ia tidak memberi tahu dulu? Setidaknya Jimin bisa memberitahu tempat selain rumahnya untuk bertemu kan?

"Ibumu yang membukakan pintu untukku, kenapa tidak boleh? Nenekmu gila ya?"

Jimin menghela napas jengah. Hari ini terlalu menyebalkan baginya. Oke, tambah lagi masalah baru baginya. Ibunya datang ke rumah, neneknya pasti bisa marah besar. Ah biarkan saja itu jadi urusan orang dewasa di rumah. Rumah yang lebih terdengar seperti penjara bagi Jimin.

"Ikut aku," titah Jimin ketika mereka sudah berhasil keluar dari bangunan kelewat besar yang merupakan rumah keluarga Park.

Kini mereka tengah berdiri tepat di depan mobil Jimin. Ia membuka pintunya dan segera menyuruh gadis itu masuk.

"Tidak mau! Aku baru datang dan kau mengusirku?"

Helaan napas jengah sekali lagi. Jimin sedikit mendorong tubuh gadis itu sampai duduk di dalam mobil. Ia memaksa gadis itu untuk masuk. Harus begini dulu agar ia mau masuk, eh?

"Kau tuli apa? Aku tidak mau!" Gadis itu berteriak dan memukul kaca mobil. Jimin tak menggubris dan langsung berjalan cepat memasuki mobil, melesatkannya dengan kecepatan tak kalah cepat. Gadis di sampingnya saat ini tidak boleh kabur, ia harus menjelaskan banyak hal tentang kedatangan dan juga, Ibunya.

"Ya! Kau ingin kita mati?! Kemudikan mobilmu dengan benar!"

"Jimin! Park Jimin! Kau ingin mati?!"

Tidak ada jawaban. Sampai mobil mereka berhenti di depan apartemen gadis itu. Jimin melepas sabuk pengamannya.

"Turun," katanya dingin.

Sebelum ia turun, gadis itu sempat menggerutu. Pasti Jimin akan pergi lagi. Untuk apa dia menghabiskan ongkosnya untuk ke rumah Jimin kalau pada akhirnya dia akan langsung pulang ke apartemennya kembali?

"Jiyeon-ah, aku lapar. Buatkan aku makan siang, ya?"

Tidak. Gadis itu salah. Jimin malah tengah berdiri di sebelahnya, mengunci mobilnya, lalu menarik lengan kecilnya masuk ke dalam apartemen. Dan oh jangan lupakan senyum malaikatnya yang tiba-tiba muncul. Padahal beberapa waktu lalu laki-laki itu baru saja membentaknya.

"Kau baru selesai acara makan siang keluarga."

"Masakan Nenek tidak seperti masakan Ibu. Aku tidak suka."

"Aish, aku bisa gila lama-lama."

"Jangan, kau harus selesaikan kuliahmu dulu agar jadi dokter sungguhan."

"Ya ya ya, terserah kau."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro