Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

:: Park Jimin ::

Langit senja selalu menjadi favoritku. Dan ketika ia berganti malam, aku akan sangat membencinya.

Sore ini masih sama seperti kemarin, kemarinnya lagi, dan kemarinnya lagi. Saat terik matahari mulai meredup dan langit menampakkan jingga, biru, dan ungu miliknya. Suatu keadaan paling menyenangkan ketika aku harus terkurung duduk di hadapan dia. Ketika ia terus berbicara, bertanya, dan mengeluarkan kata-kata yang seolah terdengar seperti menagih janji.

Mungkin pegawai kafe sudah terlalu mengenalku dan kedua sahabatku. Sahabat ya? Rasanya begitu ganjil mendengarnya. Mana bisa kalian sebut aku sahabat padahal aku yang menghancurkan semuanya?

"Jiminnie, kau tidak lapar?"

Aku mengedarkan pandanganku. Suara yang kutangkap barusan sudah tentu milik dia, Kim Taehyung.

"Ah tidak, aku baru saja makan tadi." Aku menangkap sesosok wanita dengan balutan blouse merah muda melambai ke arah kami. Yoo Cheonsa, gadis itu sedikit berjalan cepat. Ketukan high heels yang ia kenakan terdengar seirama dengan detak jantungku. Tapi tidak dengan desiran hebat pada pikiranku. Hatiku telah merusak seluruh sistem kerja otakku untuk berpikir jalan mana yang paling benar untuk membayar semua kesalahanku.

"Ah, gadis itu datang lagi."

"Dia Cheonsa. Taehyungie, kau masih mengingatnya kan?"

"Tentu saja. Untuk apa aku datang ke sini setiap Kamis sore?"

Aku menghela napas lega. Bersamaan dengan itu Cheonsa menarik kursi di sebelahku. Taehyung bilang, jangan duduk di sampingnya karena ia ingin melihat Cheonsa lebih lama. Dan untuk sampai saat ini Cheonsa selalu menempatkan dirinya di sisiku.

"Kalian berdua terlihat sangat sempurna! Ohiya, kapan kalian akan membeli rumah?" Taehyung menyeruput sodanya. Sudah kubilang padanya jangan meminum terlalu banyak soda. Ia hanya menjawab kalau ini lebih baik daripada sebotol soju untuk menjernihkan otaknya.

"Tae, kami saja baru selesai kuliah. Bagaimana denganmu? Aku dengar kau mendapat peningkatan dari semester sebelumnya." Cheonsa memutar bola matanya. Gadis itu sebisa mungkin terlihat tidak canggung.

"Ah ya, kalian kapan akan menikah? Aku tidak sabar mendatangi acara spesial itu." Taehyung kembali tersenyum. Aku tidak pernah mengerti kenapa ia masih tersenyum seperti itu di hadapanku seolah kami tidak pernah menyakitinya.

"Jangan bicarakan itu. Aku tidak selera." Kini Cheonsa angkat bicara. Lidahku terasa terlalu kelu untuk mengucapkan satu kata.

"Ah hari ini terlalu berat bagiku. Sepertinya aku harus segera mencari udara segar."

"Pergilah."

"Tidak mau."

"Waeyo?"

"Kau oksigenku, Cheonsa. Jangan mengusirku."

Taehyung tertawa lagi. Cheonsa hanya tersenyum kaku menanggapinya. Percakapan kecil mereka di sore ini terdengar begitu ringan. Sebelumnya Taehyung akan mengatakan hal yang lebih luar biasa lagi.

"Taehyungie."

"Akhirnya kau bicara, Jimin."

Helaan napasku membuat Cheonsa menoleh sedikit. Aku tidak apa-apa, sungguh. Seharusnya Cheonsa lebih mengkhawatirkan laki-laki di hadapannya saat ini.

"Bagaimana dengan kuliahmu? Kau harus mengambil praktik kerja kan nantinya?"

Taehyung mengangguk. "Ya, ternyata kuliah kedokteran sangat membosankan! Aku ingin segera menjadi dokter."

"Mungkin kau harus mencoba bekerja bersamaku, Tuan Kim." Cheonsa menatap Taehyung jenaka. Mereka selalu begini. Taehyung yang mengeluh tentang kuliahnya, lalu Cheonsa, seorang dokter muda yang tengah mengambil program spesialisnya.

"Tidak. Aku tidak mau bekerja denganmu. Itu melelahkan."

"Yang benar saja? Kau pastinya akan menerima banyak bantuan dariku."

"Kau berubah, Cheonsa-ya."

"Aku tidak naif lagi!"

"Tapi kau masih bodoh."

"Kalau aku bodoh lalu apa dirimu? Kentang berjalan?"

"Aku? Mantan kekasihmu, sepertinya?"

Cheonsa diam. Ini sudah lebih dari yang aku bayangkan. Taehyung terkekeh mencairkan suasana, seolah matanya mengatakan kalau ia hanya bercanda.

Kapan aku berhenti menjadi pengamat mereka setiap Kamis sore?! Aku lelah. Sungguh. Aku seharusnya mencari sesuatu yang bisa membuatku berhenti menjadi orang gila seperti ini.

"Ya, aku meninggalkanmu."

Yang benar saja?

"Ya, kau jahat."

Lagi? Tidak bisakah pertengkaran ini berhenti untuk sekali saja? Hanya untuk Kamis di minggu ketiga bulan ini saja, bisakah?

"Bukankah kau ingin aku pergi? Bukankah itu yang kau inginkan?"

Dapat kudengar suara Cheonsa meninggi. Gadis itu menggigit bibir bawahnya menahan air mata yang nyaris keluar. Aku menggenggam tangan Cheonsa yang bergetar di sisi kursinya.

Taehyung diam. Ini sudah lebih dari hari sebelumnya. Ini rutinitas kami selama empat bulan terkahir tapi ini yang lebih parah. Taehyung tidak pernah mengatakan status mereka sebelumnya. Cheonsa pikir laki-laki itu sudah bisa melupakannya. Meskipun aku yakin Cheonsa masih belum bisa melupakannya.

"Tae, sepertinya kau melupakan pertemuanmu sore ini?" Aku angkat bicara. Kubiarkan Cheonsa meremas tanganku kuat, menyalurkan emosi dan perasaan yang ia pendam selama empat tahun ini.

Baiklah, aku memang brengsek. Sebut aku laki-laki paling tak tahu diri di dunia. Tapi apa yang bisa aku lakukan selain berusaha menjadi penopang bagi mereka?

"Aku tidak memiliki janji. Kau lupa? Aku hanya akan bertemu dengannya di hari Sabtu." Suara Taehyung terdengar masih datar. Emosinya sudah menyulut kesabaran Taehyung, aku pikir?

"Ah? Benar."

"Aku pergi!"

Cheonsa berdiri. Tas selempang kecil yang disangganya sedikit menyentak meja kafe dan membuat suara lumayan keras. Aku segera berdiri, tapi Cheonsa balik menatapku dengan tajam.

"Jangan mendekat, Jimin!"

Itu kata terakhirnya sebelum ia benar-benar pergi dan Taehyung menggebrak meja kafe dengan sangat kasar. Ia marah.

Dan untuk yang kesekian kalinya aku merasa menjadi manusia paling jahat dari seorang pembunuh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro