Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Closing || Pergi untuk Kembali

Mari, kemarilah, siapa pun engkau. Pengelana, penyembah, pecinta yang dikecewakan, tak mengapa.
Kami bukanlah kafilah yang putus asa.
Kemarilah, bahkan jika engkau telah melanggar janjimu ribuan kali.
Datang, datanglah lagi kemari.

-Jalaluddin Rumi

Pagi-pagi sekali usai salat subuh berjamaah di masjid, Ayas langsung berjalan ke arah dapur dan menghampiri Umi Hanin yang sedang memasak di sana. Wanita paruh baya itu tampak sibuk dengan adonan yang tampak sedanf dituang pada cetakan kecil-kecil.

"Umi membuat apa?" tanya perempuan bergamis biru serta berjilbab segiempat itu.

Wanita itu menoleh, "Ning ... masya Allah, ini umi membuat Pie susu buat kalian. Ning tahu, Gus Nabil itu suka sekali pie susu."

"Wah, saya belum terlalu paham, Mi. Boleh saya bantu Umi?"

"Nggak perlu, Ning. Nggak perlu repot-repot, lagian sebentar lagi selesai. Kalau nggak keberatan buat nasi goreng untuk kalian saja, ya. Soalnya sekarang hari senin, santri ndalem nggak ada yang masak di sini."

Ah, ya, Nabil pernah bercerita bahwa setiap senin dan kamis santri ndalem tak ada jadwal masak di sini karena umi Hanin dan abi Ismail selalu puasa sunnah. Kalaupun umi tak puasa, ia akan memasak sendiri karena senin dan kamis memang sengaja diliburkan bagi mereka ke ndalem. Tapi tetap saja mereka akan ke sini untuk sekadar piket.

"Baik, Mi." Ayas tersenyum. Perempuan itu mulai menyiapkan peralatan untuk memasak. Jujur, Umi Hanin sangat baik padanya. Begitupun Abi Ismail. Dari sosok mereka berdua, Ayas seperti kembali mendapat sosok orang tua. Orang tua yang perhatian padanya.

Nabil baru akan kembali ke rumah pukul enam nanti, karena laki-laki itu sedang menggantikan ustaz Saleh mengajar Imrithi di kelas wustha. Setiap hari Ayas pun selalu membuatkan kopi hitam untuknya dan hari ini barangkali terakhir sebelum Nabil kembali ke Mesir sore nanti.

🍬🍬

Setelah menaruh sepiring nasi goreng dan secangkir kopi serta susu segar di atas nakas, perempuan itu mulai melangkah ke lemari Nabil tuk mengambil beberapa pakaian milik suaminya yang akan dimasukkan ke ransel.

Sungguh, saat baru pertama ke sini Ayas terkejut melihat kamar Nabil yang rapi dan bersih. Bahkan tumpukkan baju di dalam lemari kayu cokelat berpintu tiga itu memiliki lipatan yang sama dan tak sedikit pun berantakan.

Rak buku berisi berjilid-jilid kitab dan buku-buku Filsafat berdiri kokoh di salah satu sudut kamar yang luas itu. Beberapa poster Chelsea tertempel di tembok. Dalam kamar yang didominasi warna biru itu ada satu gambar yang membuat Ayas terpesona. Di salah satu tembok dekat ranjang, terdapat lukisan Jalaluddin Rumi dengan tulisan di bawahnya 30 September 1207 M - Abadi.

Dia mengambil beberapa setel pakaian suaminya dengan hati-hati, lalu dimasukan ke ransel. Kini, wajahnya terlihat muram saat mengingat kenyataan bahwa ia harus kembali berpisah dengan Nabil. Rasanya baru beberapa hari menghabiskan waktu berdua, tetapi dia harus kembali pergi ke negeri para Nabi untuk menuntaskan perjalanannya.

Pintu kamar berderit, menampilkan laki-laki berkoko biru serta bersarung putih dengan sajadah yang masih tersampir di bahu kiri.

Ayas menoleh, lalu mendekat. "Gus udah pulang? Aku sudah siapkan kopi." Dia mencium pucuk tangan Nabil. Diraihnya sajadah laki-laki itu lalu dilipat dan ditaruh di sofa.

"Kamu lagi ngapain?" tanya Nabil sembari melepas peci dan ditaruhnya di sofa.

"Beresin baju Gus," sahut Ayas. Dia menutup resleting ransel setelah menyelesaikan tugasnya. Barang-barang itu akan dibawa Nabil pergi nanti sore.

"Mukamu kenapa, Sayang?" Nabil bertanya saat memperhatikan wajah istrinya dari samping. Lelaki itu menyesap kopi sembari duduk tenang di sofa.

Ayas duduk di tepi ranjang, dia menatap wajah Nabil yang berada di depannya. "Berapa lama lagi di sana, Gus?" tanyanya.

Nabil meletakkan kopi di nakas. Ia berjalan ke arah istrinya dan berdiri di depan perempuan itu. Laki-laki berambut gondrong tersebut berjongkok, mendekatkan wajahnya di depan wajah sendu Ayas. Kekasih halalnya. "Sebentar. Aku akan pulang lagi ke sini untukmu. Bila waktunya sudah tepat, aku akan mencoba membawamu ke sana." Dia memegang pipi istrinya lalu mengecup dahi Ayas sedikit lama.

Laki-laki itu menarik kursi, lalu duduk di depan Ayas. Kedua mata elang itu menatap dalam netra hijau milik istrinya, "Kamu yakin masih mau di Jogja? Kemarin umi bilang padamu, kan, agar kamu tetap di sini. Bersama umi dan abi."

Ayas menggeleng pelan. "Masih banyak kitab-kitab yang belum dikaji, Gus. Masih banyak rumus-rumus ilmu alat yang belum aku pahami. Tafsirku belum selesai, fiqih, balaghoh, mantiq, lalu yang paling utama membangun akhlak dan belajar kemanusiaan lebih dalam. Aku rasa aku masih harus di sana. Aku suka dengan cara Kyai Usman beserta Gus Adam menuturkan kitab-kitab yang dikaji, dan lagi hafalanku belum tuntas. Nadwatul Ummah mengajarkanku memandang Allah sebagai Dzat maha cinta. Aku suka Jogja dan aku belum siap meninggalkannya," jawabnya panjang lebar.

Nabil tersenyum. "Tak apa. Jaga diri kamu baik-baik. Aku nggak suka kalau kamu terluka lagi. Belajar yang rajin."

Nabil mendekatkan bibirnya di telinga Ayas. Laki-laki itu lantas berbisik, "Nanti jangan mau dideketin Fahmi. Aku nggak suka."

"Nanti kalau aku chat balesnya jangan singkat-singkat, aku nggak suka," bales Ayas.

Nabil tertawa. "Tapi percayalah, Sayang, aku berdoa untukmu panjangnya lebih dari permohonanku saat aku menginginkan sesuatu."

Ayas tersenyum. Ia menahan tersipu. Sungguh, Nabil tak pernah gagal membiarkan kupu-kupu berterbangan di perut Ayas.

Perempuan itu segera meraih piring nasi goreng di nakas. Ia harus membawa dirinya keluar dari obrolan kelewat manis ini. "Sarapan dulu, Gus." Ditariknya meja kecil lalu menaruh piring itu di depannya. Membuat Nabil dan dia saling berhadapan.

"Kamu dulu," pinta Nabil.

"Eh— tapi ini buat Gus Nabil."

"Barengan. Aku tahu kamu belum sarapan."

Ayas tersenyum samar. Perempuan itu meraih sendok, lalu menyaupkan nasi ke dalam mulutnya. Nabil mengambil alih sendok yang tadi dipegang Ayas, lalu laki-laki itu menyendok nasi dan memasukannya ke dalam mulut.

Seperti biasa, masakan istrinya tak pernah mengecewakan. Sesederhana apa pun bahan makanan, Ayas selalu berhasil mengolahnya menjadi rasa yang sangat enak.

"Enak?" tanya Ayas setelah menelan makanannya.

"Selalu," ungkap Nabil.

🍬🍬

Seperti biasa, terminal 3 bandara Soekarno Hatta selalu ramai dipadati oleh para pengunjung yang datang berniat pergi atau pulang. Bandara adalah tempat di mana seseorang terkadang menemukan bahagianya di sini, lalu sebagian lagi sedih karena pahitnya perpisahan. Ayas berdiri di depan Nabil yang baru saja selesai check-in. Umi dan Abi menunggunya di kursi yang tak jauh dari mereka.

Tangannya tak pernah sekalipun terlepas dari genggaman tangan Nabil, seolah-olah sedetik pun Ayas tak ingin melepaskan. Sungguh, ia sudah nyaman dengan kehadiran Nabil di sisinya lalu sikap egois itu seakan mendobrak untuk membuat Nabil tetap berada di sini.

Laki-laki bercelana hitam serta ber-hoodie putih itu menatap mata istrinya lekat. Sekitar sepuluh menit lagi Nabil harus sudah masuk ke ruang tunggu.

"Aku pergi dulu, jaga diri baik-baik." Nabil mengusap kepala Ayas.

Terlihat air yang kemudian hadir tertahan di kelopak istrinya. Genggaman Ayas semakin erat. "Hati-hati." Perempuan itu tak bisa mengucapkan banyak kata meski dalam dada tersimpan sejuta kalimat yang hendak diucapkan pada imamnya.

"Jangan nangis, aku nggak suka." Nabil lebih mendekatkan tubuhnya. Sama. Ia pun tak ingin berpisah lebih lama lagi tetapi kewajiban lain telah menantinya. Ia harus pergi.

"Jangan berubah," kata itu keluar secara tiba-tiba dari bibir Ayas. Entah. Ia hanya takut bila semua orang akan pergi meninggalkannya.

"Aku suamimu. Aku tak mungkin berubah pada istriku sendiri. Jangan nangis. Aku akan mengabarimu setiap ada jeda." Nabil masih mengusap kepala sang istri. Melihat Ayas seperti ini sungguh ia pun tak sampai hati meninggalkannya pergi, tetapi ia harus menuntaskan studi. Bagaimanapun ia akan menjadi pembimbing bagi keluarganya nanti.

"Janji padaku, apa pun yang terjadi nanti jangan pernah ada kata pisah. Jangan pernah berniat meninggalkanku, aku nggak mau sendiri lagi. Sendiri itu menyakitkan dan—" Gadis itu sesenggukan. Ia sudah tak mampu lagi mengeluarkan kata lebih banyak. Ia hanya tak mau lebih lama berpisah dengan seseorang di depannya.

"Percayalah, aku nggak akan melepaskan seseorang yang sulit kudapatkan. Kamu tahu apa yang Abi ajarkan padaku? Kata beliau, perempuan adalah kita, Sayang. Beliau tak pernah menyamakan umi dengan mahkota, emas, bahkan permata sekaligus. Karena itu hanyalah sebuah benda sedangkan kau adalah aku.

"Aku telah melebur pada jiwamu dan kamu telah melebur pada jiwaku. Menyakitimu sama dengan menyakiti diriku sendiri. Suatu kebodohan bila aku melepasmu tanpa maksud yang jelas. Jangan terlalu memikirkan apa yang udah menjadi tugasku. Fokus dengan belajarmu, kitabmu, tuntaskan hafalannya. Kalau bisa tak perlu merindukanku, biar aku yang merindukanmu.

"Aku hanya musafir yang akan kembali pada negeri asalku. Dan negeriku adalah kamu. Hatimu. Mulai sekarang kamu harus bahagia. Aku akan kembali untukmu." Nabil berkata penuh keyakinan. Ia berusaha menghapus semua pikiran buruk istrinya.

Air mata Ayas semakin deras. Sejujurnya ia percaya bahwa Nabil tak akan meninggalkannya. Nabil tidak seperti banyak orang-orang yang mengenal Ayas, lalu berubah berkhianat. Dia jelas berbeda. Namun, ia hanya takut. Ia hanya sedikit trauma dengan ribuan drama di hidupnya.

"Udah ya, aku masuk dulu." Nabil mengecup dahi Ayas. Ia melepas genggaman istrinya.

Ayas mengusap air mata dengan kasar. Dibukanya ransel peach yang dibawa. Gadis itu meraih sebuah kotak biru tua dan mengulurkannya pada Nabil. "Happy Birthday. Lusa, Gus Nabil ulang tahun yang ke 22 dan aku nggak ada di sana."

Nabil meraih kotak itu dan membukanya kemudian. Laki-laki itu tersenyum saat mendapati syal rajut berwarna maroon. Warna kesukaannya. Di ujung kain itu tertulis "Nay" dengan benang putih yang terjahit rapi. Di samping tulisan itu terdapat sebuah balok nada yang cantik.

"Nay? Musik khas Persia yang mengiringi Whirling Dervish?" tanya Nabil meyakinkan.

Ayas mengangguk. "Selain itu, dalam Nay ada gabungan dua nama yang aku suka. NAY. Nabil Ayas," sahutnya.

"Kamu yang membuatnya sendiri, Sayang?" tanya Nabil.

Ayas mengangguk. "Maaf, cuma itu yang bisa kuberikan, Gus."

Nabil langsung menarik gadis itu ke dalam peluknya. Ia mendekapnya erat. "Untuk apa meminta maaf? Saat kamu rela memberikan hatimu untukku, itu sudah menjadi kado paling istimewa. Yas, andai kamu tak mengingatkan hari lahirku, mungkin aku lupa bahwa lusa adalah hariku ke dua puluh dua. Terima kasih, Sayang. Aku pergi dulu. Jaga diri baik-baik." Nabil melepas pelukannya. Ia langsung berbalik dan berjalan menuju ruang tunggu yang berada di dalam.

Sungguh, sebenarnya laki-laki itu tak ingin kembali menoleh. Menatap wajah sendu sang istri hanya akan membuat dirinya ingin menetap di sini. Berdua. Menghabiskan waktu bersama.

"Gus Nabil!" teriak Ayas.

Nabil memejamkan mata sebentar, lalu berbalik. Ia menatap Ayas yang kemudian berlari ke arahnya. Tiba-tiba perempuan itu memeluknya erat. Kakinya berjinjit, lalu mengecup bibir Nabil singkat. "Aku mencintaimu, Sayang. Pergilah, lalu pulang untuk kembali. Kembali padaku," ucap Ayas.

Perlahan, ia melepas pelukannya. Mendongak, menatap wajah Nabil yang lebih tinggi darinya.

Nabil tersenyum manis. "Na'am ya habibty," katanya. Lalu kembali berbalik, sebelum akhirnya langkah kaki itu hilang di perbelokan. Ayas menghapus air matanya.

Bibirnya mengembang manis. Ia harus menunggu enam bulan lagi tuk menghadiri sebuah perjumpaan. Tugasnya sekarang adalah kembali fokus pada hafalan dan kitab-kitab yang belum kelar dikaji. Sungguh, Ayas harus lebih giat belajar. Kelak, bukankah dia yang harus membantu Nabil dalam mengurus pesantren Umar Bin Khattab?

"Ayo, Sayang, kita pulang," ajak Umi Hanin sembari memegang kedua pundak Ayas.

Ayas tersenyum, lalu mengangguk dan berjalan bersama orang tua Nabil menuju parkiran.

"Ayas lapar? Nanti kalau lapar bilang, ya. Biar bisa mampir di rest area," ucap Ismail, lembut.

"Nggak, Bi. Kita bisa langsung pulang."

"Nggak perlu sungkan, Yas. Sekarang kami berdua orang tuamu juga. Kami senang bila Nabil mendapatkan seseorang yang dimau. Kamu perempuan yang baik, semoga kalian berdua bisa bersama sampai surga," ujar Ismail.
"Andai Nabil jadi menikah dengan Silky, mungkin ceritanya akan sama dengan adik saya. Namun, Nabil tak setegar Adam. Nabil tak akan pernah bisa menjadi seperti Adam. Hanya karena tak mau sedikit pun menggores hati orang tuanya, ia relakan rasanya pergi demi seseorang yang awalnya tidak dicinta.

"Dan ini jawabannya kenapa Abah sangat menyayangi dia. Karena dia adalah putra Abah yang rela membuang keinginan-keinginan demi mengabdi pada orang tuanya. Begitulah Adam dari kecil hingga sekarang. Dan sesungguhnya Adam dan Nabil tak sama. Adam mampu tegar, sedang Nabil hanya mampu berpura-pura tegar. Ia mampu menyembunyikan banyak kecewa, menyembunyikan banyak keslitan, masalah, dia bungkus semuanya dengan wajah yang selalu terlihat tenang. Ia paling tak suka saat kami mengetahui masalahnya.

"Kepergian Silky di pernikahan mereka adalah pelajaran bagi kami bahwa sebuah kehendak seseorang memang tak bisa dipaksakan. Andai Nabil lebih terbuka pada kami, mungkin kami pun tak akan pernah memiliki niat untuk menikahkannya dengan seseorang yang tidak dicintai. Tapi, Yas, Nabil itu cukup tertutup. Tidak seperti Hamdan yang selalu bercerita saat menyukai seorang perempuan. Saat mendapat nilai mumtaz atau Jayyid jiddan. Nabil berbeda.

"Meski begitu saya bangga pada anak itu. Dia lah yang memiliki rasa kemanusiaan paling tinggi. Rasa tanggung jawabnya sudah tak bisa dipungkiri lagi. Dan dia pula yang tak pernah mau merepotkan kami. Dia sangat mandiri dengan caranya sendiri. Melihat kepribadiannya, maka barangkali saya telah memutuskan bahwa pesantren ini biar dia yang mengasuh setelah saya tak lagi mampu," tandas Gus Ismail.

Ayas tersenyum. Mendengar pernyataan tentang Nabil yang langsung dituturkan oleh orang tuanya, maka sungguh perempuan itu semakin kagum dengan sosok laki-laki berwajah syahdu itu.

Gus, sungguh aku merasa menjadi seseorang yang beruntung karena telah mendapatkanmu. Terima kasih untuk segala yang telah diberi. Jaga kesehatan, Gus. Aku di sini berdoa untukmu. Untuk kebaikan kita.

Bagaimana mungkin kau melarangku untuk merindukanmu sedangkan aku seorang perindu yang selalu menginginkan sebuah pertemuan. Hati-hati. Sampai jumpa lagi, Sayang.

Yah, selesai ❤ Salam hallo_milkyway 💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro