Bab 32 || Bukit Bintang
Hari raya umat Muslim terjadi dua kali dalam setahun. Sedangkan hari rayaku terjadi setiap hari. Setiap memandang kedua matamu.
Nabil berdiri di depan laki-laki berkemeja hitam yang menggendong ransel di depan asrama mahasiswa. Kedua mata hitamnya menatap intens laki-laki itu penuh makna.
"Maaf, bila saya melakukan ini. Tapi sekarang kamu tak perlu menjaga Ayas lagi. Kamu tak perlu repot-repot mencemaskannya lagi, saya berjanji padamu saya akan membuat dia bahagia." Nabil mengakhiri ucapannya dengan senyum tulus. Ia tahu bagaimana perasaan Fahmi saat ini, tetapi tak sopan rasanya bila tak mengucap maaf pada laki-laki yang lebih dulu menginginkan Ayas itu.
Fahmi mendongak, ia tersenyum ragu. "Saya bahagia bila Ayas sudah berada pada orang yang tepat, Gus." Hanya kalimat itu yang keluar dari bibir Fahmi.
"Terima kasih sudah menjaga Ayas sejauh ini. Maafkan saya." Setelah mengucap kalimat itu, Nabil langsung pergi meninggalkan Fahmi yang mulai melangkah tinggalkan asrama. Waktunya perpulangan.
Setelah pamit dengan keluarga besar Nadwatul Ummah, Nabil dan Ayas berjalan ke asrama pusat untuk mengambil mobil milik Adam yang akan dibawanya keliling Jogja sebelum lusa kembali ke Jakarta. Umar bin Khattab tak bisa ditinggalkan lebih lama.
Setelah memasukkan koper kecil milik Ayas di kursi belakang, kemudian keduanya mulai menaiki mobil hitam itu. Langit usai magrib masih terlihat sedikit terang. Gurat jingga masih menemani keduanya berjalan di atas jalanan Jogja yang kian ramai.
Sengaja, Nabil berangkat petang seperti ini karena Ayas ingin menginap di dekat bukit Bintang. Maka Nabil akan membawanya ke rumah lama Gus Ismail yang sekarang ditempati oleh sepupu umi Hanin yang berada di kecamatan Patuk. Kebetulan dia sedang pulang, Nabil akan memakainya malam ini.
Jarak dari Jogja ke Bukit Bintang sekitar 20 KM dan dapat ditempuh sekitar 40 menit perjalanan. Kemungkinan mereka baru akan sampai kecamatan Patuk sekitar pukul tujuh. Laki-laki itu mengambil jalan Jogja Wono Sari hingga nanti sampai di pasar Piyungan.
Rute dari sana menuju tikungan Bokong Semar mulai menaik. Trayek tak lagi bersahabat. Bahkan setelah melewati Piyungan, jalanan mulai berkelok-kelok dan tikungan pun cenderung tajam dan curam. Nabil jelas paham bagaimana dia selalu menghindar dari berkendara di belakang Truk bermuatan. Dalam kondisi seperti ini mereka kerapkali bisa mogok di tengah jalan dan kadang tiba-tiba mundur begitu saja.
Sebenarnya ia bisa saja ke Patuk esok hari, tetapi saat melihat binar Ayas saat diceritakan bagaimana indahnya memandang Jogja dari ketinggian, lelaki itu jadi tak tega bila harus berangkat besok. Untuk kebahagiaan Ayas, Nabil akan berusaha menuruti semampunya. Ia sudah berjanji bahwa tak akan pernah membiarkan luka dan kecewa kembali menyapa perempuannya.
Dalam perjalanan menuju bukit, Ayas tak pernah tahu bahwa pada akhirnya harapan-harapan miliknya menjadi jawaban luar biasa. Ia bersyukur ketika ribuan asa yang ditata menjelma jadi realita. Bahkan ia tak pernah menyangka bahwa Nabil akan menjadi imam di hidupnya. Maka sungguh, ia merasa sangat beruntung. Ia beruntung mendapat laki-laki nyaris sempurna seperti Nabil.
🍬🍬
Sekitar sejam kemudian, mobil terhenti di halaman sebuah bangunan tak terlalu besar bernuansa hijau dan terlihat sangat damai. Beberapa bunga mawar terlihat tumbuh baik dan terurus dibeberapa sudut halaman. Di sebelah rumah itu terdapat gazebo, sedangkan bila melihat sekitar hanya ada beberapa bangunan yang berdiri di sana. Daerah di sini masih benar-benar tenang, sepi dari hiruk-pikuk keramaian kota.
"Ayo, Yas, turun," ajak Nabil usai mematikan mesin mobilnya.
Ayas mengangguk, dia membuka pintu mobil dan masih memperhatikan sekitar.
Nabil mengambil gitar dan koper milik sang istri dari kursi belakang, sebelum akhirnya ia kembali menutup pintu setelah mendapatkan dua barang itu.
Dia berjalan ke depan menuju pintu rumah. Dimasukannya kunci ke lubang, sebelum akhirnya pintu terbuka dan menampilkan ruang tamu yang cukup luas. Sofa berwarna jingga terlihat saling berhadapan. Tembok hijaunya bersih dari segala bingkai foto.
Langkah Nabil terseret ke ruangan yang berada di samping ruang tamu. Sedang Ayas masih mengikuti derap suaminya sembari membawa ransel berisi beberapa kemeja milik Nabil.
Detik berikutnya, pintu terbuka dan menampilkan ruangan bernuansa biru yang sangat manis. Di dalam kamar itu terdapat tempat tidur berukuran king size ber-sprei Chelsea. Tak jauh darinya terdapat kamar mandi, TV led 50 inci yang terletak di atas meja depan ranjang dan banyak sertifikat penghargaan menggunakan bahasa arab terbingkai di tembok, yang diyakini itu adalah prestasi Nabil sewaktu masih mondok di Jawa Timur. Dan rasanya tidak salah lagi bahwa ini kamar Nabil di rumah ini.
Saat pintu kembali tertutup, Ayas malah merasa gugup. Ia terdiam di balik pintu sebentar, menatap Nabil yang berjalan di depan.
"Yas, ngapain masih di situ?" tanya Nabil saat menyadari istrinya yang masih berdiri di depan pintu.
Ayas menalan saliva susah payah kemudian tersenyum dan segera melangkah ke dalam kamar yang luas itu. Ia masih tak menyangka bahwa ia akan masuk ke ruang yang sama dengan laki-laki itu.
Nabil meletakkan koper milik Ayas di dekat ranjang dan menaruh gitar di atas meja dekat sofa. Ia melepas kemeja dan hanya menyisakan kaus pendek putih yang menutupi tubuhnya.
Ayas yang baru saja duduk di sofa terkejut menyaksikan Nabil yang bertindak tanpa basa-basi. Ia merasa bahwa atmosfer di sana tiba-tiba berubah. Perempuan itu membutuhkan lebih banyak oksigen untuk kesehatan detak jantung yang selalu gagal diajak kerjasama.
"Udah mandi?" tanya Nabil sembari menyampirkan celana piyama di bahu.
"Eh—?" Ayas gugup. Lalu mengangguk samar.
"Baik, aku mandi sendiri." Nabil melangkah melawatinya, sedangkan Ayas masih mematung di sofa tanpa mengerti apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia terdiam di sana. Sesekali memejamkan mata saat suara gemercik air dari kamar mandi terdengar begitu jelas. Sungguh, mulai saat ini ia harus bisa belajar terbiasa.
Perlahan, gadis itu meraih ransel milik Nabil untuk mencari setelan piyama suaminya. Mulai sekarang, bukankah ia harus mengabdi pada seseorang yang surga-Nya terletak di sana.
Setelah sekitar lima belas menit, pintu kamar mandi terbuka. Ayas menoleh, dilihatnya Nabil yang keluar dengan hanya memakai celana piyama tanpa menutup tubuhnya dengan kain selebar benang pun sehingga Ayas dapat melihat jelas bagaimana six pack-nya tubuh laki-laki setinggi 178 sentimeter itu. Rambut gondrongnya yang basah dikeringkan menggunakan handuk putih dan detik berikutnya tatapan mereka saling berserobok.
Buru-buru Ayas mengalihkan pandangan ke bawah, ia merutuki kebodohannya sembari terus berusaha menetralisir detak jantung yang serasa akan meloncat begitu saja.
"Biasa aja, Yas. Aku suamimu." Nabil duduk di sebelah Ayas. Laki-laki itu mengambil baju piyama yang tadi dipangku perempuannya, ia memandangi wajah istrinya dari samping, lalu tersenyum saat mendapati pipi Ayas yang memerah. Saat itu Ayas merasakan semerbak wangi yang menguar dari tubuh Nabil.
"Ehm, Gus—" Ayas berdehem. Ia memberanikan diri mengangkat kepala.
"Hmm?" Nabil bergumam.
"Silky udah ada kabar?" tanyanya.
Nabil terdiam. Lalu menggeleng. "Keluarga Silky lagi nyari. Pasti ketemu, Silky nggak akan pergi jauh. Aku sahabatnya, aku tahu bagaimana Silky." Nabil menyampirkan handuk di atas sofa.
"Gus, ada satu hal yang ingin aku tanyakan. Sekali lagi, tolong katakan dengan jujur, apa Gus menikahiku karena malu bila pernikahan Gus Nabil dan Silky gagal, sehingga Gus Nabil terpaksa menikah denganku? Aku nggak mau kalau pernikahan ini sampai berhenti di tengah jal—"
Nabil langsung mengecup singkat bibir Ayas menghentikan ucapan gadis itu. "Siapa bilang? Kamu nggak percaya dengan perkataan Silky dalam surat itu? Yas, andai aku jadi menikah dengan Silky, maka kiranya aku akan menjadi laki-laki yang paling jahat. Silky akan tersiksa karena ia menikah dengan laki-laki yang tak mencintainya."
"Lalu, kenapa Gus Nabil menyetujui pernikahan itu? Seakan-akan Gus Nabil menyukai Silky."
"Aku hanya nggak mau membuat orang tuaku dan orang tua Silky kecewa."
"Itu aja?"
"Iya."
"Gus sadar bahwa Gus Nabil menikahi perempuan yang sudah tak memiliki orang tua dan keluarga?" Sungguh, Ayas tak ingin Nabil menyesal.
Nabil memberanikan memegang pipi sang istri yeng kemudian merona. Ditatapnya netra hijau, lekat. Laki-laki itu mendekatkan wajahnya ke depan wajah Ayas. Demi Tuhan, saat itu Ayas mampu merasakan segar napas Nabil yang teremebus ke wajahnya dengan lembut. "Dengarkan aku, aku nggak peduli siapa pun kamu, berasal dari mana, memiliki keluarga yang seperti apa. Itu nggak penting. Karena mulai sekarang, aku adalah tempat pulang untukmu, Yas. Aku keluargamu," lirih Nabil.
"Pandanganku akan selalu berpusat pada matamu, ceritaku akan kembali pada pendengaranmu dan mulai sekarang tak ada lagi tentang aku dan kamu, yang ada hanya tentang kita berdua, mulai bersama-sama merayu Tuhan tuk menginginkan kesempatan agar dapat berjumpa dengan-Nya.
"Aku mencintaimu sejak pertama kita bertemu di Mevalanin Sehir. Aku mencintaimu sejak kamu masih mencari Tuhanmu. Benar, aku yang menyuruh Silky untuk menjagamu karena sesungguhnya aku nggak suka ada orang lain yang menjagamu selain aku. Aku cemburu saat mendengarmu dihukum bersama Fahmi, aku cemburu pada buku-buku Filsafat yang kamu baca, aku cemburu pada angin malam yang kau sukai, aku cemburu pada gelas yang menyentuh bibirmu, dan aku cemburu pada banyak hal yang membuatku gila karenamu.
"Namun satu hal, aku tak bisa mengungkapkan rasaku karena aku tak mau merusak perjalananmu. Kamu tak akan tahu tentang bagaimana sulitnya menahan rindu padamu karena terbatas jarak. Barangkali kamu pun tak akan tahu tentang malam-malamku yang dihabiskan untuk munajat pada Rabb-ku mengadukan namamu. Dan kamu tahu, doa-doaku kemarin diijabah oleh Allah hari ini." Nabil menghentikan sebentar ucapannya. Napasnya terembus lembut.
"Aku suka caramu berpikir, aku suka semua hal yang ada padamu. Aku mencintaimu," tandasnya.
Sungguh, Ayas tak bisa berkata apa pun. Ungkapan-ungkapan romantisme yang keluar dari bibir suaminya terlalu manis dan berhasil membuat debaran nyamannya semakin tak beraturan.
"Sekarang, katakan kalau kau juga mencintaiku," pinta Nabil. Tatapan matanya semakin dalam mengenai netra hijau milik istrinya, ia melihat ada rangkuman surga di sana. Ia melihat ada luasnya semesta pada air yang tertahan di pelupuknya. Jelas Nabil melihat bagaimana susah payahnya perempuan itu menahan genangan di kelopak cantiknya.
Detak jantung Ayas semakin berdebar tak karuan. Ia tak bisa mengalihkan tatapan dari wajah tampan sang suami sedikitpun dan seharusnya Nabil tak perlu meminta Ayas untuk mengatakan hal itu, karena jawabannya sudah pasti. Bukankah Ayas selalu menginginkan Nabil setiap hari dan mendoakan laki-laki itu setiap malam? Bukankah Nabil telah membaca seluruh isi hatinya melalui buku harian yang tertulis di setiap lembar dan halaman? Bahkan laki-laki itu dengan percaya dirinya merobek beberapa bagian dari cerita dalam buku itu.
"Aku mencintaimu sebelum kau mengungkapkan semuanya, Gus. Tapi kau tahu, aku tak secantik Silky," ungkap Ayas.
"Kamu tahu, ada banyak orang yang berkata pada Majnun, 'Banyak perempuan yang lebih cantik daripada Layla, kami akan membawakan beberapa padamu.' Jawab Majnun, 'Silakan saja, tapi aku tidak mencintai Layla dari bentuk luarnya. Dan Layla bukanlah bentuk luar. Ia laksana cangkir yang ada dalam genggaman tanganku, yang mana dari itulah aku meneguk anggur. Sedangkan mata mereka hanya melihat cangkir dan tak melihat anggur di dalamnya."
"Hanya kedua mata Majnun yang dapat memahami keindahan Layla, barangkali sama, hanya kedua mataku yang dapat melihat keindahanmu. Yas, dengarkan aku, saat aku melihatmu aku sedang memperhatikan sifat Jamil-Nya Tuhan. Saat sedang menyaksikan senyummu aku menyaksikan Rahman-Nya Tuhan, saat sedang memandangmu aku tahu bahwa Tuhan adalah pencipta yang sempurna, maka wajar bila aku mencintai karya indah-Nya."
Nabil mengecup bibir Ayas sedikit lama, lalu tersenyum. Laki-laki itu kemudian bangkit dan berjalan ke tepi ranjang. "Sekarang ganti baju, terus istirahat. Besok keliling Jogja. Jangan tanya aneh-aneh lagi, kamu udah tahu jawabannya," pinta Nabil sembari memakai setelan piyama miliknya.
"Ah ya, Ayas." Nabil berbalik menghadap Ayas setelah piyamanya terkancing rapi.
Perempuan itu mendongak.
Nabil membawa kotak kecil berwarna silver, lalu dibawa pada gadis itu. "Ini untukmu."
Ayas mengambil kotak itu bersamaan dengan Nabil yang kembali duduk kembali di sebelah. "Ini apa, Gus?" tanya Ayas.
"Kamu akan tahu kalau udah dibuka."
Perempuan itu memperhatikan kotak cantik itu sebentar, lalu dibuka kemudian. Ayas terkejut saat sepasang matanya melihat kalung emas putih dengan liontin tarian sufi yang sangat cantik. Ayas meraih kalung itu. "Gus, bukannya ini sangat mahal? Aku nggak pantas dapatkan ini. Gus, dengarkan aku. Untuk menikah dengan Gus Nabil aja itu hadiah yang paling istimewa, aku nggak butuh ini. Aku cuma butuh Gus Nabil.
"Hanya Gus Nabil." Ayas menekan ucapannya.
"Bukannya kamu lebih mahal dari ini, Sayang?" Nabil meraih liontin itu.
Apa tadi? Sayang? Apakah Ayas tak salah dengar. Allah tolong, pipinya semakin menghangat dan memerah. Andai ada kemera di kamar ini mungkin ia akan angkat tangan karena tak kuat dengan perlakuan dan perkataan kelewat manis dari suaminya. Nabil memang seromantis ini.
"Sekarang buka jilbabmu, biar aku yang memakaikan," pinta Nabil.
Ayas merasa detak jantungnya semakin bersuara keras. Ia takut bila Nabil sampai berhasil mendengar alunan merdunya. Permintaan Nabil sangat tiba-tiba dan sesungguhnya Ayas belum siap. Ia malu. Namun ia tak bisa berdusta, Nabil sudah tahu bukan?
Dengan perlahan, gadis itu melepas jarum di bawah dagu, lalu melepas jilbab segiempat hitamnya. Seketika, rambutnya yang panjang tergerai ke bawah. Nabil tersenyum lagi. Ia membuka kaitan liontin, lalu melingkarkan kalung itu pada leher Ayas.
"Liontin Whirling Dervish itu akan selalu mengingatkan kita pada awal pertemuan di makam Rumi." Nabil menatap wajah ayu itu. Detik berikutnya, ia mengusap kepala sang istri singkat. "Sila ganti baju, nanti tidur." Nabil berjalan ke tepi ranjang, laki-laki itu mulai menselenjorkan kaki sembari menyandarkan punggungnya di sandaran tempat tidur. Tangan kanannya meraih remot, lalu menyalakan tv kemudian.
Ayas bangkit, ia membuka koper kecil miliknya. Lalu mengambil piyama jingga dan perlahan, langkahnya menjauh menuju kamar mandi.
Nabil memperhatikan perempuan itu. Lantas bertanya, "Mau ke mana?"
"Kamar mandi."
"Ngapain?"
"Ganti baju."
"Di sini, kan, bisa!"
Ayas menggigit bibirnya. Apa? Gimana? Nabil selalu berhasil membuat Ayas salah tingkah.
"Oke, sila ke kamar mandi. Abis itu langsung istirahat di sini." Nabil seakan mengerti.
Setelah Ayas kembali melanjutkan langkah menuju kamar mandi, Nabil kembali memalingkan wajah ke arah tv. Andai bukan St. Patrick's Athlethic VS Chelsea mungkin ia lebih memilih istirahat daripada memusatkan perhatian di depan layar. Namun sungguh, ia tak bisa mengabaikan club bola favoritnya. Ya, Chelsea. Biasanya ia akan menonton bersama Hamdan sembari ngopi dan ngerokok yang tak pernah tertinggal.
Beberapa menit kemudian, Ayas keluar dari kamar mandi menggunakan piyama jingga yang membuatnya semakin manis. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai begitu saja. Sungguh, Ayas tak mengerti nafsu laki-laki.
Nabil sempat tercenung beberapa detik memerhatikan perempuannya, lalu tersenyum. "Ayo tidur, kamu capek, kan?" Dia menarik napas, lalu mengembuskannya berusaha bersabar.
Ayas mengangguk, tersenyum kikuk. Ia tak paham dengan alunan syahdu detak jantungnya yang benar-benar berdegup tak karuan sejak tadi. Perempuan itu melangkah pelan, lalu perlahan naik ke ranjang dan merebahkan tubuhnya menghadap ke arah Nabil.
Pria itu menarik selimut untuk menutupi tubuh istrinya. "Tidur, Yas. Aku nonton bola dulu."
"Gus nggak capek?"
"Nggak. Kenapa, Sayang? Kamu mau minta sekarang? Ayo," tanyanya percaya diri. Nabil melepas kancing bagian atas piyamanya.
"Eh—" Ayas terkejut. Pipinya menghangat. Ia langsung bangkit, menahan tangan suaminya refleks.
Ayas memejamkan mata sebentar saat baru sadar bahwa ia duduk seenaknya di pangkuan Nabil. Bodoh sekali. Demi apa pun, saat ini dia ingin kabur melalui pintu ajaib yang membawanya ke Bikini Bottom. Kini wajahnya sangat dekat dengan wajah Nabil. Ia dapat melihat dekat bagaimana jelasnya garis wajah tampan Nabil, bibir semerah lecinya, hidung mancungnya dan kedua mata tajam itu ... Maka sungguh, nikmat Tuhan manakah yang didustakan?
"Mak—maksudku bukan itu. Aku masih ada tamu," Ayas berbisik. Pipinya masih memerah menahan tersipu. Ah, apakah semu itu akan terus mewarnai?
"Sampai kapan?"
"Mungkin empat hari ke depan." Ayas menjawab malu-malu. Suara seraknya yang khas memang sedikit menggoda iman.
Nabil tersenyum, memegang pipi perempuannya. Ia bertanya lembut, "Terus sekarang mau apa? Pengen makan di luar? Atau ke Bukit Bintang sekarang?"
Ayas mengangguk samar.
Nabil melihat arloji hitam di tangan kanannya. Tepat pukul 20.10. Ia tersenyum. "Ayo!" Dia langsung mematikan tv, lalu mengganti piyama dengan hoodie dan celana hitam. Sedangkan Ayas memutuskan untuk memakai sweater rajut maroon dan rok hitam serta dilengkapi scraft senada dengan atasannya. Sungguh, perempuan itu terlihat sangat cantik.
Sebelum pergi, laki-laki itu mengambil gitar yang tadi digantung di tembok lalu ikut serta dibawanya keluar. Bila di syaqoh, biasanya Lukman sering memainkan gitar sembari nyanyi bersama Nabil dan teman-teman mereka.
Usai kembali menaiki mobil, Nabil mengarahkannya ke arah bukit Bintang yang dapat ditempuh hanya sekitar 10 menit. Mengingat malam ini malam senin barangkali Bukit Bintang tak sepadat malam kemarin.
Jalanan malam menuju bukit cukup ramai oleh kendara. Tetapi tetap saja tak seramai di kota. Suasana di sana seperti jalanan di Konya yang tak sesibuk Ankara. Jogja bukan hanya ditinggali oleh warga pribumi saja, tetapi ada banyak sekali pendatang yang kemudian nyaman dan tinggal kemudian.
Pada pintu kaca mobil yang terbuka, gadis itu kerapkali mengarahkan matanya memperhatikan jalanan di luar. Bukannya ia nyaman memandang ke sana, hanya saja memandang wajah Nabil selalu membuat pipinya merona.
Sekitar lima belas menit, Nabil menghentikan mobilnya di parkiran yang tak terlalu ramai. Aroma romantisme telah tercium. Mereka berdua keluar, tangan kiri Nabil membawa gitar sedangkan tangan kanannya menggandeng tangan Ayas berjalan menuju tempat di atas.
Melewati beberapa anak tangga, lalu keduanya sampai di bagian paling puncak. Di sana terlihat sepi, hanya ada beberapa pelajar yang sedang berkumpul. Beberapa pengunjung lain ada yang memilih duduk di bagian bawah atau tengah. Banyak warung yang menjajakkan berbagai macam makanan dan minuman berderet menemani mereka dalam merajut cinta dan canda.
Nabil menarik tangan Ayas dan mendudukkan perempuan itu di kursi paling sudut dekat pemandangan, juga lumayan jauh dari pelajar itu. Andai keinginan Ayas tak mendadak seperti ini, barangkali Nabil dapat mem-booking tempat ini agar hanya ada mereka berdua yang berada di sana. Dari ketinggian 150 meter dari permukaan laut, kedua netra hijau itu berbinar cerah seakan tengah menyaksikan luasnya langit bertabur bintang di bawah sana, bahkan sesungguhnya itu adalah landscape kota Jogja dengan gemerlap lampu-lampunya.
Bukit yang berada di kecamatan Patuk KM 15 ini memang sangat strategis. Berada di tepi jalan yang menghubungkan antara Jogja dan Wono sari. Tempat ini tepat menghadap barat kota sehingga romantisme setiap sudut daerah istimewa terangkum dalam sensasi yang tak ada tandingannya. Mengamati wajah malam Jogja dari ketinggian memang memiliki candu tersendiri bagi seseorang yang terlanjur jatuh cinta pada kota yang tercipta dari serpihan-serpihan surga.
Suasana malam hari Bukit Bintang memang tak pernah mengecewakan. Sungguh, Ayas baru pertama melihat pemandangan seindah ini. Ia baru pertama kali ke sini.
Sungguh Bukit Bintang sangat cocok digunakan dinner bagi pasangan pemuda-pemudi. Tak aneh rasanya bila di sini dijadikan tempat bagi mereka yang ingin menghabiskan waktu berdua, berkumpulnya mahasiswa yang sering penat dari banyaknya tugas tertumpuk di meja.
"Masya Allah ... Gus, ini indah banget," ungkap Ayas.
Nabil tersenyum memperhatikan binar istrinya. "Karena ini Jogja."
Tak lama dari itu salah satu pemilik warung datang membawa nampan berisi dua piring cumi-cumi, dua piring nasi merah empal serta dilengkapi dengan kopi jahe dan teh hangat yang sebelumnya Nabil pesan, kemudian menaruhnya di atas meja. Setelah pemilik warung kembali pergi, lalu keduanya mulai merayakan hari raya. Hari penuh cinta.
Malam-malam dengan terpaan angin ini memang sangat cocok ditemani minuman hangat. Ayas meraih kopi jahe dari atas meja, lalu menyesapnya sedikit. Perempuan itu menatap wajah Nabil, "Gus, tapi Jogja indah karena di sini ada Gus Nabil, kan?" Perempuan itu tersenyum.
"Belajar gombal dari siapa, Sayang?" Nabil mengangkat sebelah alisnya.
Ayas tersenyum. "Suamiku." Kemudian tertawa, lalu disusul tawa Nabil kemudian.
Laki-laki itu menyesap kopi jahe, sedang Ayas masih memperhatikannya. Bisa-bisanya candu Bukit Bintang masih dikalahkan oleh candu wajah Nabil.
"Lihat pemandangannya, jangan lihat aku terus. Aku udah jadi milikmu, kamu bisa menatapku kapan pun kamu mau. Setelah pulang nanti kamu masih bisa melihatku tapi nggak bisa lihat bukit Bintang lagi," ucap Nabil.
"Siapa yang lihat Gus Nabil. Aku lihat lampu-lampu, ya," dustanya.
"Siapa lagi kalau bukan kamu."
"Nggak pernah."
"Nggak pernah sekali, selalu ketagihan."
Ayas tertawa lagi. "Tapi kenapa Gus tahu?"
"Karena matamu, mataku juga." Lagi. Nabil selalu berhasil memunculkan rona di pipi istrinya.
"Gus aku mau nanya, Silky pernah bilang padaku bahwa dari awal Gus nggak pernah mengizinkanku menyukai Gus Nabil dan aku mau tahu alasan sebenarnya. Aku kira aku nggak bisa memasuki ruang lingkup Gus Nabil. Itu terlalu mustahil."
"Benar. Aku nggak suka kamu mencintaiku karena aku tahu menyimpan rasa nggak mudah, Sayang. Itu biar tugasku. Kamu tahu, mencintaimu itu siksaan yang tak ingin kuakhiri. Aku tak bisa mengungkapkan tak bisa pula melupakan. Biar aku yang mencintaimu. Tetapi nyatanya doa-doa yang kita panjatkan sama. Sama-sama mengangkasa, bertemu, lalu terijabah semesta."
"Satu lagi, kenapa Gus Nabil santai banget waktu tahu Silky pergi?"
"Aku udah tahu kalau akhirnya bakal kayak gitu. Aku tahu, aku akan menikah denganmu."
Ayas tersenyum. Nabil memang selalu bisa membuat perasaanya berantakan.
"Kamu tahu lagu Albi Nadak yang diciptakan Muhammad Ali Moesa, Yas?" tanya Nabil sembari mengambil gitar yang tadi berada di sebelah, lalu mulai memangkunya kemudian.
Ayas menggeleng. "Nggak tahu, Gus. Tapi aku mau denger," jawab Ayas. Betapa ia tahu bagaimana suara merdu Nabil.
"Artinya dalem." Perlahan, jari jemari miliknya mulai memetik senar gitar dengan sangat trampil menciptakan nada-nada merdu dan membiarkannya berkolaborasi dengan romantisnya embusan angin yang sedang merayakan manisnya malam di kota Jogja. Gemerlap bintang di atas sana serta cahaya purnama seakan enggan ketinggalan menyaksikan kebersamaan mereka berdua.
"Liik, ana milki liik
Ta’ala arrob dummini, makhtaga liik
Liik, u rukhi fiik
Ya hobba ‘umrana ‘umri kullu haytsu liik
Hawak huwal hayah
Wintall ana ba’ashyak hawa ....
Kaan albi muna agmal malak
Yikuun ma’ah
Yah albi nadak witmannak tib anta wayaya
Yah ba’d esniin shuk wa haniin alaiik hina ma’aya
Yah dummini liik, danta habibi hayati liik
Wa ha’iish ‘umri ‘ashana ‘ineek wa ‘umri fadak
Yah albi nadak witmannak tib anta wayaya
Yah ba’d esniin shuk wa haniin alaiik hina ma’aya
Yah dummini liik, danta habibi hayati liik
Wa ha’iish ‘umri ‘ashana ‘ineek wa ‘umri fadak
Sembari terus memetik senar, menciptakan nada merdu dari gitar, sesekali laki-laki itu tersenyum saat memperhatikan kekasihnya yang mendengar dengan khidmat. Terlihat netra hijau itu menahan air yang hendak jatuh. Sorotan cahaya dari lampu yang tak jauh dari tempat duduknya jelas berhasil melihatkan keharuan Ayas malam ini.
Eiih, akhtag liih
Lau kunti ganbii ma’aya daiman ulli iih
Yaa dana min zamaan
Makhtag li albi yihiss biyya wa hissibiih
Hawaak huwal hayaah
Wintall ana ba’ashya hawa
Kaan albi muna agmal malak
Yikuun ma’ah
Yah albi nadak witmannak tib anta wayaya
Yah ba’d esniin shuk wa haniin alaiik hina ma’aya
Yah dummini liik, danta habibi hayati liik
Wa ha’iish ‘umri ‘ashana ‘ineek wa ‘umri fadak
Yah albi nadak witmannak tib anta wayaya
Yah ba’d esniin shuk wa haniin alaiik hina ma’aya
Yah dummini liik, danta habibi hayati liik
Wa ha’iish ‘umri ‘ashana ‘ineek wa ‘umri fadak."
Nabil mengakhiri nyanyinya dengan memberikan bulan sabit manis pada sang kekasih seraya meletakkan gitar di sebelah. Detik berikutnya, suara tepuk tangan terdengar dari arah kumpulan beberapa perempuan yang duduk tak jauh dari mereka. Ayas dan Nabil menoleh.
"Gila, suaranya lembut banget. Udah mah ganteng lagi. Menang banyak. Gue kapan dapet kayak gitu."
"Plis lagi dong, Kak."
"Gue nggak paham artinya, tapi nyentuh banget asli."
"Kak, muka Kakak mirip Gus selebgram itu. Siapa deh namanya?"
"Ali siapa gitu ... gue lupa. Tapi bener asli mirip banget."
Nabil tersenyum singkat pada mereka, lalu kembali menatap Ayas. Sungguh, bukannya ia sombong. Laki-laki itu hanya berusaha menjaga pandangan dari yang bukan mahram. Pelajar di sana itu barangkali seusia Ayas. Terlihat dari wajah-wajahnya yang seumuran dan tingkahnya yang masih blak-blakan.
"Aku nyanyi sekali lagi bisa jadi artis," lirih Nabil.
Ayas tersenyum. Laki-laki di depannya ... hingga sekarang Ayas masih terus mencari kekurangan di sana. Apa yang Nabil tak punya? Kekurangan apa yang Nabil miliki?
Suara merdu Nabil barusan akhirnya berhasil membuat air mata perempuan itu terjatuh. Sungguh, ini seperti mimpi. Perempuan itu sangat terharu dengan perlakuan demi perlakuan manis padanya. Dibisikkan kata-kata romantisme yang penuh makna, dipakaikan liontin, dibawanya ke bukit Bintang dan dinyanyikan sebuah lagu yang memiliki arti mendalam, bukanlah mimpi. Perempuan itu sudah sampai pada dimensi yang terijabah oleh semesta.
Beberapa jam yang lalu ... Nabil seakan memintanya pergi tetapi malam ini bahkan mereka berdua berada dalam tempat yang sama.
Ayas menghapus dengan cepat air matanya. Lalu tersenyum. "Gus ... sungguh aku belum percaya kalau ini nyata. Aku belum pernah sebahagia ini. Aku belum pernah tersenyum dan tertawa tanpa beban seperti ini. Ternyata begini rasanya bahagia?"
Tangan kanan Nabil terulur ke depan, lalu ia meletakkan jari telunjuknya di bibir Ayas. "Mulai sekarang tugasmu bahagia, Sayang. Janji padaku jangan pernah terluka lagi." Dia berucap. Lalu mengacungkan jari kelingkingnya.
Ayas mengangguk. Ia mengaitkan kelingking miliknya dengan kelingking milik Nabil. "Janji." Dia tersenyum. Keduanya tak pernah sekalipun ingin terpisahkan.
Bersama Nabil, perempuan itu merasa tenang dan baik-baik saja.
Skenario yang telah Allah tulis begitu sangat indah, ia kecewa dengan sikapnya yang terlalu buru-buru memvonis jalan cerita yang sedang Allah susun. Ia buru-buru menuduh Tuhan tak mengijabah harapannya.
Perempuan itu malu dengan sikapnya sendiri. Sekarang ia bersyukur pada Ilahi Rabbi yang telah mempersatukan ikatan yang tak pernah ada menjadi sebuah janji tak akan diingkari. Di sudut Jogja, ikrar terucap bersamaan dengan harapan yang memuncak.
Di bawah langit malam kota Jogja dengan disaksikan landscape kota cinta, mereka berjanji tentang sebuah ikatan yang tak akan pernah mampu dipisahkan. Di bawah langit kota Jogja, lembaran baru kan terbuka bersama harapan yang dimunajatkan.
Allah, terima kasih pula telah menciptakan Jogja lengkap dengan keistimewaannya. Terima kasih telah menuliskan skenario terbaik sejagat raya.
Benar kata Rumi, 'Jangan bersedih. Semua yang hilang darimu akan kembali dalam wujud yang lain.'
Ayas menjadi teringat tentang pertanyaan pada Rumi beberapa waktu lalu. Pertanyaan itu yang membawa mereka pada pertemuan tanpa penyesalan. "Allah terima kasih telah menciptakan kekasih yang mencari-Mu melalui jalan cinta. Pada Rumi, aku melihat Rahman-Mu yang tak pernah alfa." Batin Ayas.
*Note
Arti lagu Albi Nadak
(Hanya padamu, diri ini hanya untukmu
Datanglah mendekat, air mataku mengalir, mengharapkanmu ....
Hanya padamu dan jiwaku padamu
Wahai kasihku usiaku, seluruh hidupku untukmu
Cintamu adalah hidupku
Dirimu membuat kita merasakan sebenar-benarnya cinta
Hatimu disini, keindahanmu milikku. Jadi bersatu.
Hatiku memanggil, harapkan engkau senantiasa setia ....
Selepas bertahun tahun lihatlah sayang kita berjumpa di sini dan bersama.
Air mataku mengalir karenamu, engkaulah kasih, hidupku hanya untukmu ....
Seluruh hidupku, usiaku, karena matamu, aku serahkan segalanya
Apa yang aku harapkan
Seandainya kau disisi bersamaku selamanya, katakanlah kepadaku
Diri ini sekian lama mengharapkan
Hati ini, perasaan ini bersama hati dan perasaanmu
Cintamu adalah hidupku
Dirimu membuat kita merasakan sebenar-benarnya cinta
Hatimu di sini, keindahanmu milikku
Jadi bersatu ....
Hatiku memanggil, harapkan engkau senantiasa setia
Selepas bertahun tahun lihatlah sayang kita berjumpa disini dan bersama
Air mataku mengalir karenamu, engkaulah kasih, hidupku hanya untukmu
Seluruh hidupku, usiaku, karena matamu, aku serahkan segalanya
Hatiku memanggil, harapkan engkau senantiasa setia
Selepas bertahun tahun lihatlah sayang kita berjumpa disini dan bersama
Air mataku mengalir karenamu, engkaulah kasih, hidupku hanya untukmu
Seluruh hidupku, usiaku, karena matamu, aku serahkan segalanya)
Yay, akhirnya part terakhir selesai di-publish 😊
Gimana part kali ini? Gus Nabil emang semanis itu loh ... santai tapi idola santri putri banget. Ada yang penasaran wajah asli Gus Nabil? Atau mau tahu wajah asli seorang Gus yang sifatnya kayak Nabil banget hoho ...
Insya Allah pankapan dikasih tahu. Pankapan dan insya Allah 😌😅
Dan untuk Gus yang sifatnya kayak Nabil banget, Gus yang telah menginspirasi, tepat hari ini, 22 Desember 2019 beliau ulang tahun 😊 Happy Birthday, Gus :)
Ah, ya yang belum tau lagu itu nggak papa loh diputer enak banget. Jeruuu ....
Untuk teman-teman yang sudah membaca sampai sekarang, terima kasih banyak. Tanpa kalian FC bukan apa-apa, FC hanya karya tanpa pembaca ^^ Sekali lagi, terima kasih. Kalian luar biasa :)
Ah, ya, bila ada kesalahan sampaikan saja, ya huhu ... Pasti ada kan ya haha
Salam sayang untuk kalian| hallo_milkyway
22 Desember 19 ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro