Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 31 || Akad Nikah

Wahai Dzat maha kasih, aku memilih mazhab cinta tuk mempersiapkan kehalalan dengannya.


Arunika telah terpancar manis mencipta gradasi keemasan di antara sejuknya langit pagi kota Jogja. Di depan pos asrama Nadwatul Ummah, janur kuning telah melengkung terlihat semakin manis karena diterpa sinar pagi hari ini. Baik kendara roda empat ataupun dua telah membeludak terparkir memenuhi banyak lapangan di komplek-komplek asrama.

Suasana di dalam aula Nadwatul Ummah pun telah dipenuhi oleh para tamu undangan yang sudah berbaris rapi di atas kursi. Tembok hijau telah tertutup rapi kain biru tua berpadu putih dengan dekorasi sangat manis. Pada batas bagian tengah di antara tamu laki-laki dan perempuan terlihat karpet merah terhampar hingga pada pintu aula.

Pada bagian tempat yang lebih tinggi, beberapa keluarga Kyai telah berkumpul beserta menantu serta anak cucunya.

Ayas baru saja melongokkan kepala ke dalam aula, tapi nahasnya kursi-kursi sudah penuh. Beberapa ribu tamu undangan sudah bersiap menyambut kedua mempelai yang sebentar lagi akan tiba. Ah, bahkan gosip yang menurut para santri bahwa Nabil tak suka dengan acara mewah, nyatanya tak bisa dipungkiri bahwa acara pernikahan ini lebih dari itu. Lebih ramai dari khitan Ace.

"Yas," panggil seseorang.

Ayas yang tadi berdiri di tengah pintu aula, menoleh. Ia mendapati gadis bergamis ungu muda dengan setelan jilbab pastel yang manis. "Mau ikut?" tanyanya.

"Ke mana, Ra?" tanya Ayas pada Tiara.

"Lihat Silky. Mumpung masih ada waktu. Abis pernikahan, belum tentu dia ke asrama. Soalnya kata umi Rifa, dia bakal langsung dibawa sama Gus Nabil ke Jakarta."

Ayas tercenung beberapa saat. Secepat itukah keputusan mereka berdua? Setelah sedikit berpikir, Ayas mengangguk. Ia langsung berjalan bersama Tiara ke rumah Gus Adam, di mana Silky sedang dirias oleh MUA. Gadis itu tak sabar untuk menyaksikan bagaimana cantiknya Silky saat diberi make-up nanti. Pasalnya tanpa make-up pun, anak itu selalu terlihat cantik setiap hari.

Setelah beberapa menit sampai, dilihatnya banyak sepatu yang tertata rapi di teras rumah Gus Adam. Lalu, mereka melepas sandal sebelum akhirnya meminta izin Ibu Annisa untuk masuk ke dalam.

Seketika, pandangan Ayas berserobok dengan laki-laki yang duduk di atas kursi ruang tamu mengenakan setelan kemeja navy serta peci hitam yang terlihat sangat tampan. Pada saku kemejanya terdapat setangkai mawar merah cantik, sementara di pergelangan tangan kirinya terdapat gelang kaokah yang dari awal pertama mereka bertemu tak sekalipun Ayas melihat Nabil melepasnya. Setelah saling tatap sebentar, pandangan lelaki itu berpaling ke arah vas bunga di atas meja. Di depannya ada Hilya dengan memakai abaya cerulean sedang menemani kakaknya.

"Bil, asli nggak mau di-make-up?" tanya pria 24 tahun berkemeja biru serta bercelana hitam yang baru saja keluar dari salah satu kamar.

"Nggak. Aku udah ganteng," sahut Nabil penuh percaya diri.

"Muji sendiri aja," desis Hilya.

"Sering dipuji kamu dalam diam," celetuknya.

Hilya menarik salah satu sudut bibir atasnya.

"Oke, kamu cakep. Tapi denger, Mas yang gantengnya dua kali lipat dari kamu aja tetep didandani waktu nikah," kata Hamdan.

"Bagian mana yang dua kali lipat? Nggak ... nggak! Kayak gini aja banyak suka gimana kalau di make-up," sergah Nabil.

"Selalu aja rebutan ketampanan, nggak malu apa sama Nabi Yusuf," lirih Hilya.

Istri Hamdan yang berdiri di sebelah suaminya tertawa kecil.

Tetapi memang tak perlu didustakan. Tanpa diberi make-up pun wajah Nabil memang sangat tampan. Garis wajahnya yang tegas tak perlu diragukan. Hilya pun tak ragu bila di luar sana banyak yang menyukai kakaknya, pasalnya kerapkali ada banyak pesan masuk dari Mbak-Mbak mahasiswi teman Nabil yang tiba-tiba meminta didekatkan.

Istri Hamdan tersenyum. Perempuan itu tampaknya sudah terbiasa dengan tingkah Hamdan dan Nabil yang memang seperti itu bila berjumpa.

"Ustazah, Silky di kamar mana, ya?" tanya Ayas pada Bu Annisa. Dia harus cepat-cepat menjauh dari Nabil. Melihatnya hanya akan menambah luka. Mendengar suaranya hanya akan menambah lara.

"Di kamar belakang, Yas. Dia masih persiapan sama MUA. Silakan kalau kalian berdua mau masuk."

Ayas dan Tiara tersenyum. Setelah diperbolehkan masuk, kedua santri itu langsung melangkah menuju kamar belakang yang pintunya tertutup. Ayas meraih gagang pintu kayu itu, lantas membukanya pelan. Ia tak mau membuat Silky kaget karen derit yang nanti terdengar.

Sesaat, kedua mata Ayas menyipit saat menyaksikan kekosongan di sana. Jelas di dalam kamar berdominasi biru itu tak ada siapa pun selain gaun pengantin putih yang menggantung cantik di dekat meja rias. Sedangkan jendela di sana terbuka lebar begitu saja.

"Silky ke mana?" Tiara tampak terkejut.

"Ustazah, kamarnya di sini, kan? Silky ke mana, ya? Kok nggak ada siapa-siapa." Ayas bertanya lagi pada Bu Annisa.

Wanita 25 tahun itu tampak tak percaya. Ia langsung mendekat dan seketika terperanjat saat menyaksikan kekosongan di kamar itu. Baik Silky maupun salah satu MUA yang bertanggung jawab tak berada di dalamnya.

"Astagfirullah, Mbak, ini Silky ke mana?" tanya Bu Annisa pada ustazah lain.

"Di kamar lah, Nis!" Ibu Kiki langsung mendekat, kemudian beliau pun tersentak saat pandangannya tak temui siapa pun kecuali gaun pengantin dan perlengkapan rias di atas meja sana.

"Astagfirullah, Silky nggak ada! Dia pergi ke mana?"

Seketika, keadaan menjadi gaduh. Di tengah kepanikan, semua pengajar yang berada di sana langsung mencari keberadaan Silky disetiap sudut rumah berharap bahwa gadis itu ada dan dapat ditemukan. Beberapa menghubungi MUA yang menghilang, tetapi tak ada jawaban.

"Mbak, cepet bilang sama keluarga kalau Silky nggak ada di kamar," seru Bu Annisa pada Ibu Kiki.

Ibu Kiki yang mengerti, langsung pergi untuk melaporkan kejadian itu pada keluarga.

"Mbak Silky pergi. Bagaimana ini?" tanya Hilya entah pada siapa. Anak yang belum genap 16 tahun itu terlihat cemas. Jelas, karena ini pernikahan kakaknya.

"Silky pergi?" Hamdan tampak tak yakin.

Ayas menggeleng-geleng tak percaya. Bagaimana mungkin Silky kabur disaat akan menghadapi hari paling istimewa. Bahkan gaun pengantin dengan jilbab senadanya dibiarkan begitu saja.

Ayas langsung mengeluarkan gawai dari saku abaya. Ia mencari kontak Silky dan berusaha menelpon. Namun gagal. Nomor Silky sudah tak aktif. Beberapa asatiz lain mencari gadis itu ke setiap ruang dan memberi instruksi pada para santri untuk mencari disetiap sudut asrama, tapi sayangnya Silky sudah tak bisa ditemukan.

Sepuluh menit telah berlalu, tetapi tak ada sedikit pun tanda-tanda Silky hendak kembali.

Nabil yang menyaksikan kegaduhan itu masih tetap duduk tenang di tempat. Kaki kanannya masih terletak di atas kaki kiri. Diraihnya botol minum kecil di atas meja, lalu meneguknya setengah. Sungguh, sebenarnya dari tadi ... dia haus.

"Bu, saya minta tolong bilang pada para santri untuk cari Silky. Asrama ini luas. Kalaupun dia pergi pasti masih belum keluar." Hamdan yang berdiri di dekat Nabil berbicara pada para asatiz.

"Gus, kami sedang mencari. Tapi belum ada laporan," balas Bu Annisa.

"Di belakang asrama putri Darul Muqamah ada pintu keluar, kan? Tolong ada yang memastikan di sana!" pinta Hamdan. Ia terlihat sangat panik.

"Gus, tenang dulu." Sang istri mengusap bahu Hamdan, berusaha menangkan.

"Nggak, Sayang. Bagaimanapun Silky harus kembali." Entah bagaimana ceritanya, bahwa kali ini Hamdanlah yang terlihat sangat gusar. Yang menikah Nabil tetapi dia yang paling pusing.

"Bil, tolong, dong, panik sedikit. Calonmu hilang kok malah sempat-sempatnya tenang gitu. Pernah deg-degan nggak sih jadi manusia?" omel Hamdan.

Nabil tak menoleh ke arah kakaknya sedikit pun. Tatapannya masih tetap mengarah ke depan. "Pernah lah. Gila po aku ra pernah deg-degan," desisnya.

"Ya terus? Ini calonmu hilang, loh, Bil." Hamdan geram.

"Dengar aku, Mas, kalau aku panik, nanti saat umi dan abi datang ke sini, melihat raut wajahku, mereka akan merasa kasihan padaku. Mereka akan merasa bersalah padaku karena telah merencanakan percepatan pernikahan yang akhirnya gagal ini dan aku nggak mau mereka merasakan hal seperti itu."

"Bil—" Hamdan tak dapat melanjutkan perkataannya. Lagi-lagi Nabil selalu memedulikan orang lain daripada dirinya sendiri. Bahkan bila Hamdan yang berada di posisi adiknya saat ini, belum tentu ia akan mampu bersikap seperti Nabil. Barangkali ia akan mengurung diri di kamar selama tujuh hari tujuh malam memaksa Tuhan menciptakan pintu tembus ke mana saja, lalu dia pergi ke kutub utara. Ya, kira-kira itulah yang akan dilakukannya.

"Aku tahu Silky masih ada di sekitar sini, Mas. Masih di asrama. Tapi yang aku yakini, dia nggak akan kembali. Keputusan yang selalu dia buat itu mutlak," ujar Nabil. Ia menaruh botol minum di atas meja, lalu kembali memperhatikan lalu lalang asatiz yang mencoba mencari info-info keberadaan Silky.

Dari jarak sekitar lima meter, Ayas memperhatikan Nabil yang masih duduk tenang di sofa. Laki-laki itu tampak memperhatikan sekitar yang sangat ribut. Raut wajah itu ... kenapa sedikit pun Nabil tak terlihat cemas dengan segala hal kejadian. Di saat Silky pergi kenapa air wajah Nabil tak menggambarkan kekecewaan. Nabil masih terlihat baik-baik saja.

Namun, Ayas mengerti. Dalam diamnya ada banyak kecemasan yang Nabil pikirkan. Ayas melihat Nabil tengah berpikir dan mencari jalan keluar. Tetapi itulah Nabil, lelaki itu tak pernah sekalipun melihatkan kesedihan dan patah arang di depan orang lain.

Ibu Silky yang baru saja masuk ke rumah Adam langsung menangis. Dari depan pintu kamar, Ayas melihat ibu Nabil menenangkan calon besannya di ruang keluarga. Namun tak berhasil. Wanita paruh baya itu terus menangis. Ayas tak bisa melakukan apa-apa selain menelpon nomor Silky meski hasilnya tetap sama. Tak ada jawaban.

"Bagaimana bisa Silky memutuskan kehendak sendiri. Tamu sudah menunggu. Kita nggak mungkin membatalkan pernikahan!" Gus Ismail selaku ayah Nabil angkat bicara. Ia duduk di sebelah Nabil, sedangkan di depannya ada ibu Nabil dan ibu Silky.

Sesungguhnya ia tak mau menoreh noda pada pesantren Nadwatul Ummah. Bila pernikahan kali ini dibatalkan, maka Nadwatul Ummah akan menjadi bahan pembicaraan pada akhirnya.

"Mau gimana lagi, Bi. Silky nggak ada," sahut umi Hanin–istrinya.

Umi Hanin kemudian menatap lekat Nabil, "Gus, Umi dan Abi meminta ma–"

"Umi, jangan pernah minta maaf padaku. Apa umi tak memperhatikan wajahku bahwa aku baik-baik saja?" Nabil memotong ucapan ibunya.

"Gus  ...." Kedua mata umi Hanin tampak berkaca-kaca. Entah sudah berapa kali ibu tiga anak itu selalu dibuat terharu oleh perilaku Nabil. Sejak kecil, Nabil sedikit pun tak pernah membuatnya kecewa.

"Silky itu, Han, dia selalu menuruti kehendaknya sendiri. Saya minta maaf bila pernikahan ini harus dibatalkan. Demi Allah, saya yakin dia nggak akan kembali hari ini. Silky bukan anak yang mudah berubah pikiran. Silky akan berpegang teguh pada keputusannya. Sungguh saya tidak paham kenapa Silky memilih pergi hari ini." Ibu Silky menangis tersedu-sedu.

"Maaf, tapi pernikahan ini tak bisa dibatalkan," sela Gus Ismail.

"Bi–" sang istri menghentikan ucapannya. Ia paham apa yang dicemaskan Gus Ismail.

"Pasti ada jalan keluar lain. Sungguh, saya tidak mau mempermalukan Abah dan Adam. Ini Nadwatul Ummah, Ning," tegas Gus Ismail.

"Mbak Ayas, ikut aku!" Hilya menarik tangan Ayas ke dalam kamar. Gadis itu meraih amplop dari atas meja rias dan memberikannya pada Ayas.

"Itu surat dari Mbak Silky buat Mbak Ayas," tegas Hilya.

Perempuan itu langsung membuka amplop putih tersebut, lalu meraih kertas putih di dalamnya. Ayas berdoa semoga di sana terdapat petunjuk keberadaan Silky. Setelah membuka lipatan kertas tersebut, Ayas melihat tulisan Silky terpampang jelas di kertas.

Assalamualaikum, Ayas ...

Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku udah pergi.

Kamu tahu, pernikahan ini bukan untukku. Aku tak pantas mendapatkan Gus Nabil. Aku tak pantas bila harus menjadi istrinya.
Ayas, satu hal yang harus kamu tahu, Gus Nabil menyukaimu sejak pertama kalian bertemu. Bila kamu bertanya mengapa aku tahu, jawabannya karena aku sahabat dia. Menikahlah dengan dia, sekarang!

Ayas menggeleng-gelengkan kepalanya. Perlahan, kristal bening meluncur dari kedua netra hijaunya. Apa maksud Silky?

Kamu tahu, bahwa dia yang menyuruhku untuk menjagamu. Dia selalu menanyakan kabarmu setiap hari, perkembanganmu selama di asrama dan dia pula yang memintaku untuk selalu mengawasimu.

Kamu tahu, Yas, setelah kami mengiyakan pernikahan ini dia menangis di depanku. Dia meminta maaf padaku bila nanti dia tak akan pernah mampu mencintaiku, dia meminta maaf bila nanti dia akan menjadi laki-laki paling jahat karena tak sanggup menyukaiku, dia meminta maaf bila nanti samuderanya tak akan pernah terbuka untukku.

Sesak. Kalimat-kalimat itu menghujam hatinya. Ia tak mengerti dengan perasaan harunya. Bukannya Silky sedang mencurahkan keresahan, lalu kenapa sebagaian hati merasa senang? Mengapa Ayas senang saat sebenarnya Nabil membalas sebagian rasanya. Ia senang di waktu yang tidak tepat, ia egois.

Tidak seperti Qais yang mencintai Layla hingga menjadikannya Majnun, Gus Nabil hanya pecundang yang menyukaimu di balik doa-doa yang dimunjatkan. Dia tak berani mengungkapkan, dia lemah dalam hal mengatakan.

Dan melihat air matanya yang terjatuh dan hatinya yang berdarah, apakah aku masih sanggup duduk di sebelahnya sebagai mempelai wanita? Yas, aku hanya Silky. Aku tak akan sekuat itu bertahan dengan seseorang yang tak mencintaiku.

Dan bila kau ingin memastikan tentang perasaanku, sungguh semuanya masih abu. Aku tak paham dengan cara kerja perasaanku sendiri. Tapi tolong, untuk kali ini abaikan apa yang kurasa. Jangan pedulikan bagaimana rasaku. Aku akan baik-baik saja, yakinlah aku akan menemukan yang terbaik suatu saat nanti.

Dan untuk terakhir kalinya, aku mohon padamu jangan membuat orang tua Gus Nabil malu. Jangan membuat Nadwatul Ummah tertoreh noda. Menikahlah dengan dia. Gus Nabil pantas untuk perempuan sebaik kamu. Kalian berhak bahagia, aku tak boleh egois. Aku mohon, Yas. :)

Aku janji, aku akan memastikan bahwa setelah ini kita akan tetap bersahabat. Sungguh, kamu adalah sahabat yang tak pernah mengecewakan.

Dari seseorang yang selalu menyusahkanmu.

Silky Aulia.

Salam.

Ayas menggeleng-gelengkan kepalanya lagi. Tidak mungkin. Semoga ini hanya mimpi. Tuhan, cepat bangunkan. Gadis itu tiba-tiba merasa lunglai. Air matanya menetes kian deras seperti bah yang meluap membasahi pipi. Bagaimana mungkin Silky rela melakukan ini demi Ayas. Kedua kaki seakan tak mampu menopang berat tubuhnya. Tiba-tiba Ayas terududuk di dekat meja rias dengan perasaan yang sudah berantakan.

"Mbak Ayas, aku pinjam suratnya." Hilya langsung mengambil kertas itu lalu keluar meninggalkan Ayas di dalam kamar sendirian.

Pasti ada yang salah dengan Silky. Mengapa perempuan itu melakukan hal seperti ini. Bukannya Ayas sedang berjuang membuang rasa demi kebahagiaan Silky, lalu kenapa tiba-tiba ia berdiri paling depan menghancurkan pernikahan mereka.

Pernikahan ini hancur karenanya, acara ini lebur karena rasanya yang egois, sungguh ia telah melakukan dosa besar yang membuat mereka semua patah. Andai ia tahu bahwa akhirnya akan seperti ini, barangkali pulang adalah pilihan tepat kendati tak tahu rumah siapa yang akan membukakan pintu untuknya.

"Ayas, Sayang ... kamu siap-siap, ya." Seorang wanita mengusap kepala perempuan itu lembut. Ya, dia adalah Umi Hanin.

Di belakang Umi Hanin, Gus Ismail tampak tersenyum seolah mengaminkan perkataan istrinya.

Ayas menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia merasa tak pantas. Gadis itu kejam bila harus menggantikan posisi Silky sekarang, ia akan menjadi bahan pembicaraan dan ia takut bila nanti ada yang menuduhnya ssbagai perebut calon suami orang. Sungguh, sebenarnya bukan hal seperti ini yang dimau.

"Ayas, kami minta tolong, Nak. Kami nggak mungkin membatalkan pernikahan ini. Tolong gantikan Silky. Orang tua Silky pun sudah setuju." Umi Hanin mengucap tulus.

"Tapi pernikahan yang dilakukan dengan terpaksa nggak akan berujung bahagia, kan, Ibu?" tanya Ayas. Ia masih tak paham dengan perasaan Nabil sebenarnya.

"Bukannya Silky sudah memberitahukanmu bahwa saya mencintaimu, Ayas?" tiba-tiba suara bariton terdengar jelas di telinga. Perempuan itu menatap laki-laki berjas navy yang melangkah ke arahnya. Ia berjongkok di depan Ayas sembari memamerkan bulan sabitnya yang manis.

Umi Hanin berdiri, lantas menarik tangan Gus Ismail untuk segera keluar kamar. Sedangkan di dalam ruang seluas 7X7 itu hanya terdapat Nabil dan Ayas.

"Aku paham kenapa Silky pergi. Itu udah keputusannya. Kamu tahu, keputusan Silky itu nggak bisa diganggu gugat. Aku mohon jangan kecewakan Silky. Mulai sekarang aku yang akan menjaga kamu, aku yang akan bertanggung jawab sepenuhnya dengan kehidupan kamu.

"Kamu tahu, hukum halal-haram ditetapkan karena ada sebabnya. Al-hukmu yadhurru ma'a illati. Dan dalam kitab Al-Asybah wa al-Nadha'ir Imam Jalaluddin As-Suyuthi berfatwa, laa yunkaru mukhtalaf fiihi, wa innama yunkarul mujma'u 'alaihi. Masalah yang masih diperselisihkan keharamannya tidak boleh diingkari, tetapi harus mengingkari masalah yang jelas keharamannya telah disepakati.

"Maka dengarkan aku, masalah yang masih diperselisihkan keharamannya saja tak boleh diingkari sedangkan cintaku tak pernah sekalipun diperselisihkan oleh ketidakjelasan perasaan, maka dengan ini aku telah menetapkan syariatnya. Haram hukumnya saat kamu menolak rasaku sedangkan menerimanya adalah kehalalan dan kewajiban yang jelas telah tersepakati semesta. Sekarang berdirilah, menikahlah denganku!" Nabil bangkit seraya tersenyum.

Ayas semakin tak mampu membendung air mata. Sungguh, perkataan Nabil barusan seperti jawaban-jawaban romantisme dari Tuhan. Di dunia ini barangkali hanya Nabil yang melamar perempuannya dengan qaidah Fiqh yang terdengar sangat manis. Dalam khitbah yang mendadak, Nabil menyulapnya menjadi momen yang tak pernah terlupakan.

Namun demikian pikiran Ayas masih rancu, mengorbankan Silky dengan kebahagiaannya bukanlah yang diinginkan. Ia berada dalam jurang dilema, tetapi bukankah kesempatan tak datang dua kali?

Perlahan ia bangkit dan berdiri di depan Nabil.

"Persiapkan diri kamu. Aku tunggu di aula." Nabil berbalik hendak memanggil Mbak Wulan yang juga bertanggung jawab dalam MUA.

Saat di ambang pintu, langkah kaki yang terbalut kaos kaki hitam itu terhenti. Tubuhnya menghadap ke dalam. "Yas," panggil Nabil.

Ayas mendongak.

Nabil memandangnya lekat. "Terima kasih telah mencintaiku sejak awal." Dia tersenyum.

Setelah mengucapkan kalimat yang berhasil memporak-porandakkan hati Ayas, ia berlalu begitu saja tanpa memedulikan Ayas yang sudah terbang tinggi menuju Neptunus. Dasar laki-laki.

"Mas Nabil!" Hilya menarik tangan kakaknya saat laki-laki itu baru saja sampai teras rumah.

"Apa?" tanya Nabil.

"Mas nggak tahu, kalau Mbak Ayas deket sama Cak Fahmi? Mas nggak tahu gimana Mbak Ayas dihukum karena berduaan sama Cak Fahmi? Mas nggak tahu gimana patahnya dia kalau sampai Mas Nabil nikahin Mbak Ayas?"

"Tahu." Nabil menyahut santai.

"Terus?" Hilya mengangkat sebelah alisnya.

"Kapan aku peduli tentang hal semacam itu, Sayang? Mencintai bukan hanya sebatas menaruh rasa. Mencintai adalah kesepakatan berdua." Nabil tersenyum puas.

"Mas Nabil nggak punya hati," celetuk Hilya.

"Iya, karena hatiku udah diberikan sama Ayas sejak awal." Nabil mengusap kepala Hilya seraya tersenyum miring, setelahnya ia segera memakai sepatu dan berjalan menuju aula meninggalkan Hilya di teras.

🍬🍬

Di depan ribuan tamu undangan yang memadati aula, salah satu guru besar Nadwatul Ummah menyalami tangan Nabil yang berada di depannya. Beliau membaca basmalah, istigfar kemudian dilanjut syahadat.

"Ya Nabil Fuadi bin Muhammad Saif Ismail uzawwijuka 'ala ma amarallahu min imsakin bima'rufin au tasriihim bi ihsanin ya Nabil Fuadi bin Muhammad Saif Ismail?"

"Na'am," jawab Nabil, tegas.

"Ankahtuka wazawwajtuka mahtubataka Larissa Abelia binti Aditya Hardiansyah bi mahri situun jaraamun dzahaban wa miatu alfin milyun rubiyatun wa alatil ibadah, haalan!"

"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha 'ala maharil madzkur wa radithu bihi waallahu waliyyu taufiq!" Nabil berkata jelas dan tegas dalam sekali tarikan napas.

"Sah?"

"Sah!"

Setelah kata 'Sah' terucap serempak dari para hadirin, Nabil dan Ayas tersenyum begitupun dengan keluarga mereka. Pada akhirnya setiap dari personal paham, bahwa sesuatu yang dipaksakan tak akan berjalan dengan baik.

Ayas mencium pucuk tangan Nabil lembut, lalu laki-laki itu mengecup kening istrinya selama beberapa detik.

Ikatan halal telah menyatu menjadi kesatuan yang tak pernah terbayangkan. Pada masa yang mempertemukan dalam dimensi yang seirama, mereka bersyukur pada segala hal yang perlahan tiba. Skenario yang Allah tulis memang tak akan berakhir kecewa.

Perempuan bergaun pengantin putih itu terlihat manis dengan balutan jilbab senada yang dilengkapi ball gown dan tiara perak yang membuatnya tampak mewah. Pada kedua matanya diberi sedikit hiasan yang terlihat semakin cantik.

Nabil menatap wajah Ayas lekat. Perempuan itu benar-benar terlihat sempurna. Ia cantik karena dicintainya.

Setelah bersalaman dengan keluarga dan mendapat ucapan-ucapan selamat dari banyaknya hadirin yang tiba, acara selanjutnya adalah foto bersama keluarga besar Nabil dan teman-teman mereka. Sungguh, barangkali ada banyak tamu undangan atau pun santri yang terkejut dengan mempelai wanita yang bukan tertera pada nama di undangan. Jelas, setelah ini Hadi dan Lukman akan menjadi netizen paling antusias yang menanyakan dari A sampai Z tentang keputusan Nabil yang tiba-tiba.

Sungguh, hari ini masih sulit dipercaya bahwa mulai sekarang Ayas menjadi bagian dari keluarga Kyai Usman. Perempuan itu menjadi menantu dari sang Murabbi yang alim, seorang kyai kharismatik yang keilmuannya tak lagi diragukan.

Ayas telah menjadi seorang Ning di sana. Nadwatul Ummah telah menjadi bagian dari sisa usianya.

"Terima kasih untuk hadiah yang indah ini. I love you for the sake of Allah, Gus Nabil." Ayas berbisik di telinga suaminya saat mereka dalam keadaan jeda oleh kegiatan demi kegiatan istimewa yang tak kunjung usai. Panggilan Gus yang terucap adalah kali pertama. Ia sudah menjadi istri sah Nabil dan panggilan kakak sepertinya tak lagi efisien.

Nabil tersenyum hangat. "Terima kasih telah menghibahkan rasamu untukku. May Allah loves you because you love me for His sake, Babe."

.
.

Hallo ... wuahhh akhirnya 😁 Bagaimana part kali ini? Huhu ... mengecewakan tidak? Haha, udah ya ...

Sudah, kan, Tim Ayas - Nabil ❤

Ini kenapa sih Nabil santai banget? Wkwk emang aslinya begitu. Santai menghadapi apa pun.

Maaf ya ini panjang beut dah, nanti part selanjutnya insya Allah lebih panjang lagi. Nggak papa ya terakhiran, manteman ... 😊

Bila ada kesalahan sila sampaikan dengan baik, ya teman-teman. Jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya huhu ...

Salam Sayang banget |  hallo_milkyway ❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro