Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 30 || Sebelum Akad

Kendati mencintaimu adalah luka, tetapi aku tetap berada di sana seraya memunajatkan banyak doa.

(Hallo, part kali ini agak panjang. Jadi, yang mau makan, sila makan dulu :) yang mau ngaji, ngaji dulu :) Kalau kata Nabil, santai aja ehehe)

Di tempat lain dalam waktu sepertiga malam, kedua gadis duduk berhadapan di atas rooftop. Ayas yang masih memakai mukena, tiba-tiba dipanggil oleh Silky dan diajaknya ke lantai tiga asrama tanpa memberinya waktu untuk berganti jilbab. Asrama mahasiswi sudah lumayan sepi karena pulangnya libur UAS.

Sudah berapa menit, perempuan berjilbab biru itu tertunduk. Detik yang biasanya selalu bergerak, kali ini seolah berhenti pada titik kepiluan, pada titik di mana semua opsi yang tersedia hanya berakhir di titik lara.

"Aku minta maaf, Yas. Aku nggak tahu kalau keluarga kami mempercepat pernikahan ini." Suara Silky sedikit bergetar. Sepertinya ia tak tega melihat raut wajah Ayas.

Dalam sesak yang seakan mengikat tubuhnya, Ayas berusaha untuk tersenyum. Ia paham bagaimana bila berada di posisi Silky. Beberapa memang tak bisa berencana untuk menikah dengan siapa. "Kenapa harus meminta maaf? Ini bukan salah kamu, Sil."

Silky menggeleng. "Ayas, aku tahu. Kamu menyukai Gus Nabil, kan? Tapi sayangnya aku harus menikah dengan dia. Menikah dengan seseorang yang sangat disukai sahabatku. Yas, bukankah apa yang aku lakukan lebih jahat dari orang-orang yang sebelumnya pernah menyakitimu?" Kristal bening perlahan jatuh dari mata beloknya. Isak tangis memecah keheningan di antara syahdu waktu mustajab tuk berdoa.

Ayas terdiam. Benar, dia menyukai laki-laki itu, tetapi ia bukan Tuhan yang dapat mengubah takdir manusia. Pilihan Ayas saat ini hanya satu, yaitu menerima. Toh pada dasarnya Nabil bukanlah miliknya dan tak berhak sama sekali untuk merasa kehilangan. Dari awal Ayas memang salah, ia terlalu berharap. Ia mendoakan sesuatu yang jelas-jelas tak akan dimiliki.

Sejatinya, mencintai seseorang dalam diam tidaklah mudah. Ia harus mampu mengontrol hati dan pikiran kala sesuatu yang tak diinginkan terjadi begitu saja. Ayas memang tak pernah membuat pengakuan sebelumnya, namun Tuhan tahu bahwa Nabil selalu dibawa dalam doa-doa yang melangit ke angkasa. Andai malaikat dapat berbicara langsung padanya, mungkin makhluk Tuhan yang suci itu akan berkata, bahwa ia bosan mendengar rintihan rindu atas nama Nabil yang selalu dilantunkan oleh lidahnya.

"Aku jahat, Yas. Aku nggak bisa menolak pernikahan ini." Silky menghapus air matanya. Tapi lagi-lagi air itu berjatuhan seperti bah yang meluap tak kunjung henti.

"Lebih jahat lagi saat kamu menolak, Sil. Kamu udah memilih hal yang tepat. Kak Nabil udah digariskan Tuhan untuk menjadi pelengkap di hidup kamu dan kamu pikir Allah akan membiarkan aku sendirian?" Ayas menggeleng.

"Nggak. Aku punya Allah. Aku yakin Dia akan memberi seseorang yang memang pantas untuk aku. Ada kalanya, kita harus melepaskan apa yang kita inginkan agar Allah mengganti kekosongan menjadi hal yang kita butuhkan." Ayas berkata bijak. Ia hanya tak mau Silky merasa bersalah. Ia tak ingin Silky mengetahui bagaimana patahnya hati Ayas saat ini, bagaimana darah mengucur deras di hati pada waktu sekarang juga.

Gadis itu dapat menahan air mata, tapi sungguh hantaman-hantaman tajam seakan merobohkan dinding keteguhan berusaha merobek perasaan dengan tanpa hati-hati. Sesak. Sejujurnya ia sudah tak mampu bertahan. Ia ingin berlari dan menangis sendirian, belajar mengikhlaskan, tetapi rasanya ia akan menjadi seseorang yang jahat untuk Silky saat tak memberi respons terhadap emosinya.

"Aku gagal menjadi sahabat terbaikmu, Yas. Aku minta maaf."

"Sil, setiap dari kita memiliki ending-nya masing-masing. Kita tinggal memilih akan menciptakan ending seperti apa. Sekarang, kamu harus siap-siap, ya. Aku akan duduk di dekat kamu saat nanti pembacaan ijab qabul dimulai." Ayas tersenyum.

"Silky, sesuatu hal yang bikin kamu bahagia, adalah kebahagiaan untuk aku juga. Kamu yang baik pantas mendapatkan Kak Nabil. Aku nggak bisa bayangin bagaimana bahagianya hati Gus Ismail saat putranya mendapatkan perempuan luar biasa seperti kamu." Ayas memegang kedua bahu Silky yang bergetar. Ia memberikan patahan-patahan hatinya untuk menambal kekecewaan milik Silky.

"Jangan cemaskan aku. Aku akan berusaha sampai titik di mana saat mengingatnya tak akan pernah kecewa," tandas Ayas.

"Sekarang, kembali ke kamar inap, gih. Kamu harus siap-siap untuk hari ini." Ayas tersenyum.

Silky menghapus air matanya. Setelah keadaan sedikit tenang, perempuan itu kembali pergi dari rooftop asrama menyisakan Ayas yang masih duduk di sana. Menenangkan pikiran di tempat itu.

Setetes air mata jatuh begitu saja membasahi pipi. Perempuan itu menenggelamkan wajahnya di lutut. Ia malu bila langit melihat rona mukanya saat ini. Ia sangat malu berharap pada Allah tentang hal yang tak mungkin ia dapatkan.

Entah sudah berapa kali harus kecewa, entah sudah berapa kali juga harus bertahan sendirian, pun entah sudah berapa kali harus merasakan patah yang tak berkesudahan. Entah harus berapa kali lagi perempuan itu harus menerima ujian yang kerapkali tak memiliki jawaban tuk diselesaikan.

Ia sendirian dalam menahan banyak luka, ia tak memiliki teman tuk berbagi keluh dan kesah dalam mencurahkan sedikit cerita tentang kekcewaan, ia menyimpan segala derita dalam dada yang telah penuh dengan pecahan-pecahan asa yang enggan diijabah semesta.

Sesaat Ayas mengingat tentang perkataan Hasan Al-Bashri dalam kitab Fayadh Al-Qadir, beliau berkata "Cintailah sesuatu hal dengan tidak berlebihan dan bencilah sesuatu hal dengan tidak berlebihan pula. Sungguh telah terjadi pada beberapa kaum, saat mereka mencintai dan membenci dengan berlebihan, mereka hancur."

Sesungguhnya, Ayas selalu mengingat kalimat itu, tetapi ia sering melupakan maknanya. Andai Ayas dapat mengontrol rasa untuk bersikap biasa saja pada Nabil, untuk tak pernah sedikit pun mencintai Nabil, ia akan baik-baik saja. Ia tak akan kecewa.

Perkataan Hasan Al-Bashri memang memiliki cakupan lebih luas, misalnya pada suatu kelompok yang terlalu mencintai atasannya secara berlebihan dan membenci lawan secara berlebihan pula, bila terus seperti itu, maka perlahan akan hancur. Namun, kalimat itu pun berhasil menampar Ayas yang terlalu berharap menginginkan sebuah hasil lebih dari usahanya untuk terus mencintai kekosongan.

Perempuan itu mendongakkan kepala menatap langit malam di atas sana. Dalam hati yang hancur, ia meminta Allah untuk menyembuhkan retaknya, meminta Dzat maha cinta untuk memperbaiki rasa, meminta pada Tuhan untuk menghapus segala hal yang dipunya.

Barangkali Tuhan memiliki jawaban sendiri, maka Ayas akan menunggu. Bukankah saat ini sabar memang sangat dibutuhkan? Perihal hati, ia akan mencoba menata kembali. Dia akan berusaha bangkit demi menciptakan kehidupan yang lebih baik lagi.

Sejauh ini Nabil sudah banyak membantu, maka sepertinya cukup. Setiap manusia memiliki batasan dan satu-satunya tempat bergantung terbaik adalah bergantung pada Ilahi Rabbi yang tak pernah mengecewakan, yang selalu hadir setiap saat dan tak pernah meninggalkan.

Perempuan itu mengembangkan bibirnya. Ia harus lebih kuat dari sebelumnya, ia harus mampu saat menemani Silky di akad pernikahan nanti.

"Alhamdulillah harapanku tak diijabah. Skenario-Nya pasti lebih baik," lirih Ayas.

🍬🍬

Setelah melaksankan dua rakaat subuh di masjid, Ayas langsung mengganti mukena dengan jilbab biru. Ia memadukannya dengan sarung putih dan blouse biru tua polos yang manis.

"Yas, beli sarapan di warung depan, yuk. Katanya pondok nggak masak. Makannya sekalian nanti agak siangan sama tamu," ajak Tiara sembari melipat mukena.

"Tapi biasanya di warung depan banyak santri putra, kan?" tanya Ayas.

"Anak MA. Nggak papa, kita dari belakang belinya."

Setelah sedikit berpikir, akhirnya Ayas mengiyakan ajakan Tiara. Setelah Tiara memakai jilbab, mereka berdua langsung keluar kamar. Angin subuh yang melambai lembut terasa sedikit syahdu untuk hati yang sejak kemarin sangat gerah.

Asrama sudah terlihat sangat ramai oleh kedatangan tamu undangan yang menginap. Santri-santri tampak berlalu-lalang ada yang membantu memasak, ada yang membantu membungkus snack, ada pula yang sedang mencari tempat pas guna peletakkan karpet merah.

Nadwatul Ummah hari ini benar-benar terlihat sangat padat.

Sekitar enam menit berjalan ke depan, mereka sampai di warung gubuk depan asrama. Namanya warung Kakung. Biasanya setiap malam setiap libur ngaji banyak santri putra yang nongkrong di sini untuk sekadar ngopi dan menonton pertandingan sepak bola di televisi. Camilannya apalagi kalau bukan aneka gorengan. Ada pula yang main UNO, catur, diam-diam merokok, sampai nunggu santri putri lewat.

Adam sengaja membolehkan mereka main di sana bila kegiatan di pondok memang kosong. Kehadiran para santri yang membeli jualan mereka akan sedikit membantu kelancaran mata pencaharian sang pedagang.

Dari jarak lumayan dekat, Ayas tak sengaja menjatuhkan pandangannya pada laki-laki berambut gondrong berpeci putih yang sedang meneguk kopi dari cangkir bening. Ia duduk di kursi panjang dengan meletakkan kaki kanannya di atas kaki kiri, sedangkan di depannya terlihat para santri yang lebih banyak terdiam berusaha menjaga sikap di depan dua Gus sekaligus.

"Gus Nabil sama Gus Hamdan ngapain subuh-subuh nongkrong di warung?" Tiara bergumam saat mereka menghentikan langkah sebentar.

"Santai banget ya hidup Gus Nabil, padahal beberapa jam lagi mau nikah. Hidupnya kayak nggak ada beban," komentar Tiara.

"Mau lanjut beli, Yas?" tanya Tiara.

Tak ada jawaban dari Ayas. Tiara menoleh. "Yas!" sergah Tiara. Ia mendapati perempuan itu sedang bengong menatap laki-laki yang sedang merokok itu.

"Ah, jadi. Aku laper," sahut Ayas.

Tiara menarik tangan temannya, mereka berdua berjalan ke belakang warung. Sekilas pandangan laki-laki berkaus hitam bergambar sileut Cak Nun serta bersarung hijau itu mengarah ke arah Ayas.

"Kakung, nasi kuning dua sama bakwannya tiga ribu," ucap Tiara pada laki-laki berusia 72 tahunan yang sedang menggoreng pisang.

"Nggih, duduk di depan aja, Nduk. Nasinya baru mau mateng. Gorengannya udah di depan, ambil aja," sahutnya.

"Nggeh kakung," sahut Ayas, lembut.

Ayas dan Tiara berjalan pelan ke depan. Sesekali tarik-tarikkan dan dorong-dorongan karena kelewat malu pada Hamdan dan Nabil yang duduk di sana. Terlebih santri putra pun cukup memadati area depan gubuk jualan itu.

"Kamu dulu, Yas."

"Kamu dulu, Ra. Aku di belakang."

Sungguh, ia belum bisa melihat kenyataan hari ini tetapi demikian ia harus belajar untuk terlihat baik-baik saja. Ia harus belajar ikhlas. Untunglah tempat bakwan yang dimau cukup jauh dari jarak kedua Gus idola santri putri yang sedang berbincang dengan anak-anak itu.

Sayup-sayup suara salawat terdengar dari ponsel entah milik siapa yang menemani subuh mereka.

Yaa habib yaa habib yaa habibi kaifa asyqoo waudhoom ... wafuaa wa fuaadi. Qod baada baadi baadidh-dholaaam

Fatahannan wamhu 'anni maabadaa -Kullu nuurin min tsanaa khoiril .... khoiril anaam aa aam khoiril anam ...

Salawat itu ... Ayas sangat menyukainya. Selain suara sang Habib yang mendamaikan, di sana disebut nama 'Fuadi' di dalamnya.

"Kalian belajar seng bener. Ngaji seng sregep, santri putra kui harapan bangsa," ucap Hamdan pada para santri setelah menyeruput sedikit kopi hitamnya. Sesekali ia menyesap rokok dan mengembuskan asapnya ke udara.

"Nek santri putri harapane sinten, Gus?" tanya salah satu santri putra yang sedang makan pisang goreng di depannya.

"Sopo meneh nek udu harapane santri putra." Hamdan tertawa. Disusul para santri lain yang ikut serta di sana.

"Terus yang paling penting jangan pacaran dulu, Lek. Kamu punya mimpi yang harus difokusin. Ada yang pengen kuliah di Madinah, Cairo, Yaman, Turki, mulai sekarang kudu fokus dan bener-bener.

"Tinggalkan debat yang nggak penting. Misalkan suatu nanti ada yang menyalahkan kalian padahal kalian telah benar, ya nggak perlu dipusingin. Ngopi ae seng santai. Kalau kata salah satu Kyai, lebih mudah mengajari orang yang belum benar-benar paham terhadap ilmu daripada mengajari orang yang udah merasa paling paham segalanya.

"Toh perbedaan itu wajar. Di kitab Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, dituturkan hadist mauquf, 'Aku tidak suka bila para sahabat tidak memiliki perbedaan. Keseragaman hanya akan membuat manusia kesulitan, dalam arti lain tidak ada pilihan."

"Allah menciptakan perbedaan itu untuk apalagi kalau bukan untuk Li ta'araafu? Agar kalian saling mengenal. Di sosial media tawadhu aja, Rek. Rausah pamer ilmu, rausah pamer pengetahuan. Rausah pengen diakui eksistensie. Nek pengin share ilmu diniatke go ngibadah iku lewih apik timbang ngetik panjang lebar go adu debat."

"Perbaiki akhlak terus menerus. Kalau kata Ummu Maryam gini, 'Satu-satunya jurusan yang tidak ada di perguruan tinggi seluruh dunia adalah jurusan akhlak. Terkadang seorang petugas kebersihan memiliknya sedangkan seorang Doktor justru gagal lulus darinya." Hamdan menghentikan sebentar ucapannya. Disesapnya kembali rokok di bibir merah lalu kembali membiarkan asap keluar dari mulutnya.

"Instansi mana pun nggak jamin akhlak kalian, yang menyetir akhlak kalian ya diri kalian sendiri," lanjut Hamdan pada para santri.

"Pokoke, Rek, kunci hidup zaman saiki niku lakukan apa yang menurut kalian baik. Beragama dengan lembut. Karena sejatinya Islam itu rahmatan lil 'alamin. Islam itu cinta. Buat sekitar kalian nyaman. Siapa pun mereka, baikin semuanya. Lembutin semuanya. Nggak usah mikir tanggapan-tanggapan orang lain sama kalian.

"Kalian tahu, Gus Nabil di depan kalian ini nggak pernah sekalipun masukkin tanggapan buruk orang lain di pikirannya. Pernah dicaci maki amaliyah-nya tetep santai kayak nggak punya masalah. Dia tahu dia benar dan punya dasar kenapa melakukan itu. Dia berpegang teguh sama kata-kata Rumi, katanya 'Seni memahami adalah mengerti apa-apa yang harus diabaikan' jadi, abaikan apa pun yang nggak penting. Sesekali sikap bodo amat sangat perlu diterapkan, Rek."

"Nggeh, Gus. Saya kalau lihat Gus Nabil kayak nggak punya masalah," ucap salah satu santri.

"Padahal masalahnya se-abrek," lirih Hamdan.

Nabil tersenyum. Dia meneguk sedikit kopinya, menyesap rokok. Kultum Hamdan pagi ini rasa-rasanya mengganti kekosongan para santri yang libur mengaji karena adanya acara hari ini. "Khataman alfiyah kapan?" tanya Nabil.

"Enam bulan lagi, Gus."

"Fiqihnya udah sampai fathul Jawad, ya?"

"Sampun, Gus."

"Kalau Tafsir Ibnu Katsir?"

"Insya Allah sebentar lagi, Gus."

Nabil mengangguk-angguk. Santri-santri Ulya di Nadwatul Ummah memang luar biasa. Entah sudah berapa puluh kitab yang dikaji dalam setahun. Pemahaman pun diuji kala menghadiri Bahtsul Masail. Kemanusiaan mereka terlihat dari bagaimana menyikapi orang lain yang berbeda amaliyah dan keyakinan, akhlak-nya jelas tertanam dari cara ketika berhadapan dengan para Murabbi, bagaimana tetap bersikap tenang saat ada yang menyalahkan serta mencaci-maki. Tentang bagaimana berebut membenarkan letak sandal Kyai usai mengaji, bagaimana cara mereka berhenti sejenak, menunduk, saat berpapasan dengan para Mursyid.

Bagi yang tak biasa dengan adat seperti itu, tingkah mereka mungkin terlihat berlebihan. Tetapi baginya, berkah guru adalah yang utama. Mereka merasa berbeda dengan para Murabbi terutama pada tingkat keilmuan. Bagi mereka, berbakti pada kyai adalah suatu kebahagiaan yang amat luar biasa.

Nabil menoleh saat merasakan kehadiran seseorang yang sedang mengambil kertas di dekat wadah-wadah gorengan.

Dia bangkit sembari membawa kresek dan buku kecil, lantas berjalan dan berdiri di dekat perempuan itu.

"Larissa," panggilnya.

Ayas yang baru saja hendak mengambil bakwan menoleh. Debaran miliknya langsung terdengar cepat saat kedua netra mendapati dada bidang seseorang yang sangat dikenal. Ia mendongak pada seseorang yang lebih tinggi darinya.

"Ehm, ke—kenapa Kak?" Ayas gugup.

"Mau makan? Ini ambil." Nabil mengulurkan kresek putih berisi dua kotak nasi dengan tangan kanan. Pagi-pagi seperti ini dia sudah mendapat sarapan entah dari mana. Tetapi biasanya tetangga-tetangga di sekitar pondok sering memberi makanan pada para santri yang main di warung. Kebaikan warga Jogja memang tidak ada duanya.

"Ta—tapi aku udah beli." Ayas nggak enakan. Entah sampai kapan harus merepotkan laki-laki itu.

"Kasih ke temenmu." Nabil menyesap rokok, lalu mengepulkan asapnya ke udara.

"Dan saya mau mengembalikan ini." Nabil mengulurkan notebook kecil bergambar menara pisa.

Ayas tampak terkejut. Kedua netra hijau terbelalak sempurna saat buku hariannya berada pada tangan laki-laki itu. Sungguh, buku itu tak memiliki kunci. Buku itu dapat dibuka dengan mudah dan tulisan Ayas yang lumayan rapi dapat dibaca oleh siapa pun. Memang sudah beberapa hari ia mencari buku itu tetapi nahasnya tak juga ditemukan dan dengan tiba-tibanya Nabil mengembalikan buku itu? Tetapi satu hal, cover buku itu telah sedikit rusak. Ada bagian yang sobek di pojokannya.

"Kakak dapet dari mana?" tanya Ayas setelah mengambil alih buku miliknya dengan cepat. Sungguh, bila Nabil sudah membaca isinya maka ia sangat malu. Selain tentang Nabil, apalagi yang diceritakan pada buku itu? Tidak ada.

Nabil duduk di kursi. "Jatuh, jadi saya simpen. Tapi karena saya pengen baca, jadi saya baca," sahutnya dengan suara tanpa dosa.

Wajah Ayas langsung memerah saat mendengar jawaban Nabil. Sungguh, laki-laki yang lebih suka memakai arloji hitam di tangan kanan itu dapat menjawab dengan suara yang kelewat tenang saat detak jantung Ayas saat ini sudah tak terkontrol lagi.

"Bil, balik ke rumah. Beberapa jam lagi mau nikah kayak beberapa jam lagi mau ngaji. Santai banget," komentar Hamdan.

"Lima menit," tawar Nabil tanpa menoleh ke arah kakaknya.

Barangkali di dunia ini hanya Nabil. Mempelai laki-laki yang pernikahannya tinggal menghitung jam tetapi masih asik ngopi, ngerokok, nonton tv di warung tetangga dengan santainya memakai kaus, sarung, serta peci hitam yang dipakai asal. Boro-boro seperti lelaki lain yang meluangkan waktunya untuk latihan melafalkan qabul agar tidak salah, Nabil lebih memilih dengerin kultum Hamdan pada para santri.

"Aku sudah hafal. Hadi sering latihan baca qabul kalau libur kuliah." Kata Nabil waktu disuruh Hamdan untuk mencoba melafalkan qabul itu. Ia bersikap seolah tak akan ada kegiatan apa pun setelah ini. Entah sifat santai itu diturunkan dari siapa, Hamdan tak paham.

Ayas melihat sesuatu yang menyembul dari antara tumpukkan-tumpukkan kertas di sana. Yang diyakini, kertas yang menyembul itu bukan miliknya. Ditarik kertas itu dan ia mendapati dua tiket liburan keliling Malang selama tiga hari dengan jadwal keberangkatan hari ini pukul 07.00. Dua jam sebelum ijab diperdengarkan.

"Ini apa, Kak?" Ayas tak paham.

"Daripada nggak pulang, mending liburan. Ajak temenmu," sahutnya.

"Tapi aku udah janji sama Silky kalau aku akan hadir di acara pernikahannya."

"Dengan menyakiti diri kamu sendiri?" Sebelah alis tebal Nabil terangkat.

Ayas terdiam. Perempuan itu menunduk. Benar, sepertinya Nabil sudah mengerti perasaan terdalamnya. Yang terisisa hanyalah rasa malu yang kian membuncah.

"Yas, dengar saya! Dalam kitab Jawahir Al-Adab, kata Imam Syafi'i, jika dia memedulikanmu hanya karena terpaksa, maka tinggalkan saja. Di sana masih banyak pengganti dan kau akan tenang jika lebih memilih pergi. Ada kesabaran dalam hati kekasih meski hanya sikap dingin yang ia dapatkan.

"Tidak semua yang kau cintai, mencintaimu. Tidak semua yang kau beri ketulusan, memberi ketulusannya. Jika padanya belum ada kemurnian kasih sayang, maka tidak pula ada kebaikan di dalam sebuah hubungan." Nabil menuturkan syair yang terdapat dalam bab 21 itu. Pada bait kedua, ada penekanan yang terdapat di sana.

"Saya tidak sebaik yang kamu kira. Tidak setulus yang kamu tahu," lirih Nabil.

"Patah hati nggak bisa disembuhkan oleh Dokter mana pun, Larissa Abelia. Rehatkan lukamu, kemudian bangkit." Nabil tersenyum. Dia mematikan rokoknya lalu berdiri dan pergi meninggalkan Ayas yang masih mematung di sana.

Hamdan melirik Ayas sekilas saat adiknya telah keluar dari warung, lalu bangkit dan menyusul langkah Nabil kemudian.

Syair yang dituturkan tadi ... apakah Nabil memberitahukan Ayas bahwa dia harus mulai melupakan? Sungguh, Ayas tak suka dengan kalimat demi kalimat yang Nabil ucapkan barusan. Dan syair dari Imam Syafi'i tadi berhasil menampar kenyataan saat ini. Apakah Nabil menyuruhnya tuk pergi?

Tapi demikian, Nabil tak pernah secara langsung meminta Ayas untuk melupakan. Tak pernah sekalipun meminta Ayas untuk menjauh. Seolah-olah Nabil selalu membuka ruang untuk Ayas masuki.

Dia menatap tiket liburan yang berada di tangan. Kepalanya menggeleng. Ayas sudah berjanji bahwa ia akan hadir dan duduk dekat Silky. Bukankah janji adalah hutang dan hutang haruslah dibayar? Beberapa jam lagi akad dikumandangkan dan batas itu sudah benar-benar ditegakkan.

Sedangkan pemuda berusia hampir 22 tahun itu berjalan menuju rumah Adam. Di balik raut tenangnya, ada banyak zikir yang terlafal, harapan yang termunajatkan, salawat yang tak pernah lekang. Bibir merahnya tak pernah sedikit pun kering dari menyebut nama Allah.

"Tetapi, Yas, tetaplah berdoa. Pada titik di mana kita telah sampai pada sudut kemustahilan, Allah kerapkali menghadiahkan sebuah keajaiban," batinnya, menguatkan.

Update 😊

Aduh, panjang banget ya ... tapi nggak papa sekali-kali ... Siap-siap hari kamis depan menghadiri akad, ya ^^

Gimana part kali ini? Biasa aja? Ya nggak apa 😅 jangan lupa bila ada kesalahan disampaikan dengan baik.

Dan ... dan ... jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya ya huhu 😁

Ah ya, Silky itu kayak gini loh ... Cantik. Bapaknya orang Jeddah ^^

Kalau Nabil, Kak? Karena Nabil itu ada asli, jadi, ga mungkin ya di-share di sini :) Eheheheh ..

Sekian

Salam Sayang | hallo_milkyway 🍬❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro