Bab 28 || Kuat dilakoni, Rakuat tinggal Ngopi
Aku bertanya pada semesta tentang sebuah rasa. Ia berbisik, rasa yang manis hanya pada saat mengingat-Nya.
Alunan salawat disela pembacaan barzanji terdengar merdu, mengalun dari suara para santri yang sedang bersalawat pada malam Maulid Nabi Muhammad—di masjid pusat An-Nadwah. Suara hadrah seakan berkolaborasi dengan desau malam yang ikut serta menyampaikan kerinduan pada sang manusia sempurna di muka bumi, Rasulullah salllaallahu alaihi wassalam sang suri tauladan.
Para Ustaz, Kyai dan santri putra berada di dalam masjid sedang santri putri berada di teras dan sebagian lain di kursi-kursi yang terdapat di halaman masjid.
Nabil yang duduk di sebelah Kafa menunduk, saat anak itu mulai melantunkan salawat dengan vokal yang mendamaikan dan suara yang fasih serta makharijul huruf yang terbaca jelas.
"Ya Rasulullah ... ya ya nabi ya nabi ...
Laka syafa'ah ... wa hadza matlabi ya nabi ...
Ya Rasulullah ... ya ya nabi ya nabi ....
Laka syafa'ah ... wa hadza matlabi ya nabi ...
Antal murtaja yauma ziham. Isyafa'lana ya ya khoirul anam ....
Isyfa'lana lana lana ya habibana
Isyfa'lana lana lana ya habibana
Laka syafa'ah ya Rasulullah ya ya nabi ...."
Nabil mendekatkan microfon-nya di bibir, lalu mereka berdua mulai berkolaborasi menciptakan sebuah alunan yang berembus dengan syahdu malam di antara ketenangan romantisme asrama kota Jogja. Saat pelantunan Isyfa'lana, Kyai Usman selalu gagal menahan air di matanya. Dari kedua mata sayu, air menetes tak henti merindukan seseorang yang sangat ingin ditemui.
"Nudna bika ya ya habibun ....
Anta lilkholqi ya ya tobibun ....
Isyafa'lana lana lana ya habibana ... isyfa'lana lana lana ya habibana ... laka syafa'ah ya rasulullah ya ya nabi ya nabi ....
Suara mereka dan para santri lain menggema, tangan-tangan mereka terangkat memohon sebuah harap, berdoa pada Allah agar kelak sang Kekasih-Nya memberi syafaat.
🍬🍬
Setelah berbincang sebentar bersama para asatiz, Nabil berjalan ke arah kantor untuk menemui Hamdan yang sedang berkumpul dengan para ustaz di teras kantor. Usai pembacaan barzanji suasana asrama terlihat kian ramai karena liburnya mengaji malam ini. Lapangan-lapangan di asrama dipenuhi para santri yang sedang makan bersama di nampan yang sama. Saat ada acara-acara besar, bagi mereka adalah surga.
Sejenak, dari jarak jauh Nabil menatap gadis bersarung putih serta berkaus biru panjang yang dilengkapi jilbab senada yang baru saja keluar dari kantor asrama. Segera Nabil melangkahkan kakinya dengan cepat. Ada beberapa hal yang ingin dikatakan pada gadis itu.
"Silky Aulia," panggil Nabil.
Langkah gadis itu terhenti. Ia menoleh, "Gus Nabil," lirihnya.
"Sil, saya mau ngomong," ucap Nabil.
Silky mengangguk seraya tersenyum. Nabil berjalan ke depan, melewati gadis itu lalu disusul langkah Silky.
Saat sampai di depan Hamdan yang sedang berbincang dengan beberapa asatiz, laki-laki itu menghentikan langkahnya. Ia mengambil kopi milik Hamdan tiba-tiba. "Buat Nabil ya, Mas." Disesapnya sedikit.
"Mau ke mana?" tanya Hamdan.
"Belakang pos. Awasin ya. Aku mau ngomong sama Silky," jawabnya sembari berjalan menjauhi Hamdan.
Kaki yang terbalut sandal hitam itu terseret ke belakang pos, lalu duduk di sana sembari meletakkan cangkir kopi di sebelah. Disusul Silky yang kemudian duduk sekitar satu meter di sampingnya.
Diembuskannya napas pasrah. Laki-laki itu menyenderkan bahu di dinding pos sedangkan tatapan tajamnya mengarah pada deretan kendara beberapa asatiz yang terparkir di sana. Selain cahaya lampu yang nyaris redup, hanya purnama yang menjadi ketiga di antara mereka.
Nabil merogoh sebungkus rokok dan korek dari saku baju. Laki-laki itu mengeluarkan sebatang rokok dari bungkus, pada ujungnya dibakar. Lalu diselipkan di antara bibir merah miliknya. Sedetik kemudian, asap terkepul dari mulut ke udara sebelum akhirnya
berterbangan dan hilang ditelan angin malam.
"Ngerokok lagi, nggak kasihan sama jantung atau paru-paru, Gus?" Silky terlihat dongkol saat memperhatikan sahabat di sebelahnya. Nabil memang sulit dinasihati.
"Nggak usah ngasih tahu aku efek buruk rokok. Jantungku akan jadi jantungmu," balas Nabil. Ia memegang rokoknya dengan tangan kanan.
Laki-laki itu melepas peci sebentar, lalu dipakai kembali dengan asal. Rambut gondrongnya terlihat sangat berantakan. Sebenarnya ia tak paham dengan rasa kali ini. Semua terlalu rumit. Semua terasa pahit seperti kopi milik Hamdan.
"Benerin sih, Gus, pecinya," komentar Silky. Dia memang paling risih bila Nabil melakukan perbuatan tidak jelas di depannya.
"Nggak perlu. Ntar gantengnya nambah jelas," sahutnya asal.
Silky berdecih. Candaan Nabil selalu saja membuatnya enek. Sikapnya memang kerapkali terlalu percaya diri.
"Kamu pernah nyangka nggak kalau kita akan dijodohkan?" tanya Nabil mengalihkan topik.
Silky menggeleng. "Nggak pernah sekalipun. Apalagi aku bukan anak Kyai. Gus, aku kira aku nggak pantes untuk Gus Nabil."
"Terus yang pantes seperti apa? Aku lemah, Sil. Aku banyak kekurangan." Nabil kembali menyelipkan rokoknya. Lalu dikepulkan kembali asap dari mulut sembari menunggu jawaban Silky.
"Gus—"
"Sil ...." Nabil meletakkan rokok di piring bawah cangkir. Ia mulai fokus dengan perbincangan kali ini.
"Sil, aku cuma mau bilang. Kita udah bersahabat sejak kecil. Aku udah anggap kamu seperti adikku sendiri. Beberapa privasi tentangku kamu tahu dan tentu kamu paham bagaimana keadaanku sekarang. Kamu yang paling mengerti dan terkadang kamu lebih paham daripada aku sendiri. Sil, menurutmu apakah mudah belajar menata rasa dari awal?
"Sungguh, aku nggak mau menyakiti kamu. Aku nggak mau bila pada akhirnya kita sama-sama terluka karena ketidaknyamanan satu sama lain. Jadi, mulai sekarang kamu bisa, kan, mulai belajar menyukai? Manyukaiku. Mencintaiku. Menaruh namaku di ruang kosongmu?"
"Tak perlu menyuruhku, aku paham. Bukannya yang sulit itu bila berada di posisi Gus Nabil? Bukannya yang merasa paling dirugikan di sini adalah Gus Nabil?" Silky menjawab dengan sebuah pertanyaan.
"Rugi? Nggak. Yang rugi bila suatu saat nanti Allah berkehendak lain dengan hubungan kita dan akhirnya aku harus kehilanganmu itulah yang rugi. Kehilangan seorang istri sekaligus sahabat. Bukannya pernikahan ini memang jelas mempertaruhkan persahabatan kita?"
Silky tersenyum getir. "Nggak perlu berbohong. Raut wajah Gus Nabil nggak bisa berdusta. Kenapa kita nggak menolak kalau di antara kita ada yang keberatan? Kenapa Gus Nabil langsung mengiyakan meski tanpa persetujuanku juga? Mengapa Gus Nabil menyakiti diri sendiri?
"Apa Gus Nabil tahu berumah tangga dengan orang yang kita tidak cintai itu nggak nyaman?"
"Nggak tahu. Saya belum pernah berumah tangga," sahut Nabil, datar.
"Astagfirullah." Silky beristigfar. Ia tak tahu bagaimana membuat Nabil harus serius.
"Gini Gus, mumpung kita masih punya kesempatan untuk menolak, kenapa harus dilanjutkan?"
"Dan tentang undangan yang sudah tersebar—" Silky menghentikan ucapannya. Ia lupa bahwa sebenarnya mereka berdua tak lagi memiliki waktu untuk berbalik.
"Kita udah ambil keputusan. Selesai," celetuk Nabil.
"Tapi Gus—" Lagi-lagi Silky menciptakan jeda.
Pemuda itu lalu terdiam. Pandangannya masih setia menatap datar ke arah parkiran. Sesekali jeda terpecah karena suara dari deru kendaraan di jalan raya yang belum juga reda meski malam telah tiba. Jogja selalu romantis dengan kesan malam yang selalu berhasil menciptakan rasa di antara gradasi warna.
"Nggak usah dibikin ribet, Sil. Kuat dilakoni rakuat tinggal ngopi. Gitu aja kok repot," lirih Nabil. Dia menyesap kembali rokok, menciptakan kepulan asap yang mengangkasa.
"Aku nggak suka kopi, terus aku ngapain nanti?" tanya Silky.
"Kamu memang lebih suka yang manis, sedangkan aku udah terbiasa dengan kepahitan di dalamnya."
Terdengar helaan napas kesal dari Silky. Perempuan itu sepertinya sudah geregetan dengan sikap Nabil yang selalu membuat santai pada ihwal yang serius. "Gus, tolong serius sedikit. Ini menyangkut pernikahan nantinya. Gus Nabil harus jujur dengan diri Gus Nabil sendiri bahwa sebenarnya Gus Nabil keberatan, kan? Gus, aku mohon jangan melihatkan wajah santai itu dalam keadaan seperti ini dan—"
"Silky Aulia!" sergah Nabil memotong ucapan gadis di depannya.
Silky langsung terdiam saat tatap tajam milik Nabil mengarah tepat ke mata beloknya. "Denger aku. Kita cuma perlu belajar, kan? Aku akan belajar mencintaimu dan kamu akan belajar mencintaiku. Nggak perlu membahas perasaanku karena yang kutahu segala hal yang kupunya saat ini nggak akan pernah menyatu. Ini nasib. Tapi aku nggak mau mengubahnya.
"Seberapa sering aku berdoa pada-Nya untuk meminta sebuah ikatan bila Dia berkehendak lain, apakah aku harus marah pada-Nya? Apakah aku harus menolak jalan-Nya yang telah disusun untukku? Aku meminta seseorang lain tetapi Allah lebih tahu bahwa kamu lebih baik untukku, apakah aku berhak menolak? Apakah aku harus memaksa Allah untuk memberikan dia padaku? Apakah aku harus merengek-rengek meminta sesuatu hal yang bukan untukku? Nggak perlu.
"Aku mohon, jangan merasa tidak enakan. Di sini kita sama-sama belajar. Belajar melepaskan dan memulai segala yang belum terjadi dari awal." Ada sedikit rasa getir yang perlahan memasuki hati Nabil saat harus mengatakan hal semenyakitkan itu. Tentu ia paham bahwa kadar kesulitan melepaskan adalah sangat tinggi. Perkataan demi perkataan hanyalah obat untuk menghibur perasaannya yang perlahan retak karena harap yang kosong.
Semilir angin yang menerbangkan sedikit rambut gondorongnya seakan menjadi hakim atas patahnya saat ini. Bintang-bintang yang terhampar barangkali turut berduka cita karena kandasnya sebuah pengharapan.
"Dikira mudah? Satu pertanyaanku, apakah nanti kita akan bahagia dengan pernikahan ini?" tanya Silky. Entah mengapa tiba-tiba hadir embun di antara kedua mata bulatnya. Tetesan yang enggan turun itu seperti sedang menyaksikan keperihan di hatinya.
Nabil menggeleng pelan. "Itu juga yang ingin kutanyakan pada diri sendiri. Aku takut bila akhirnya nggak sesuai ekspektasi, Sil. Aku takut tak bisa membahagiakanmu, aku takut bila nanti menjadi laki-laki paling bejat yang tak bisa memenuhi kebutuhanmu. Aku hanya Nabil yang tak begitu kuat dengan banyaknya ujian." Laki-laki itu mengalihkan pandangannya ke arah lain berusaha mencari jawaban, tetapi nahas semesta tak memberikan kisi-kisi selain hanya semilir angin yang berembus di antara lekatnya malam.
"Aku takut bila nanti aku gagal menata rasa. Aku cemas bila akhirnya aku selalu gagal saat belajar mencintaimu, tak bisa menyayangimu dan tak mampu membuka samuderaku untukmu. Tapi demikian aku paham bahwa setiap dari kita memiliki prosesnya sendiri. Saat nanti aku sampai pada titik di mana aku benar-benar frustrasi karena kebodohanku yang tak mampu berpaling dari satu hati, tolong maafkan aku. Aku bukannya membencimu, aku hanya sedang berusaha melepas segala hal yang kuinginkan." Setitik air berhasil tertahan di kelopak tajam Nabil dan Silky jelas melihat itu.
Nabil tak paham kenapa ia begitu mudah mengeluarkan air mata saat sedang berbicara keperihan di depan Silky. Yang diketahui satu-satunya orang yang pernah menyaksikan Nabil menangis hanyalah Silky. Silky seorang. Bahkan ia tak pernah berani mengeluarkan air matanya di depan sang ibu. Silky adalah seseorang yang mengetahui segala cerita Nabil di masa lalu dan sekarang.
"Cukup. Aku sudah paham semuanya. Aku mengerti dan bersedia melakukan apa pun yang Gus Nabil pinta. Tak perlu memaksakan kehendak untuk mencintaiku hari ini, karena aku pun paham sebuah bunga butuh waktu yang lumayan panjang untuk mekar. Tugas kita hanya sama-sama bersabar, kan?" Silky berusaha meredam kekalutan di antara keduanya. Saat di mana titik kelemahan Nabil telah dilihatnya, yang dia lakukan hanyalah sedikit menenangkan.
"Lalu, bagaimana kabar perasaanmu padaku?" tanya Nabil.
"Entah. Aku nggak paham. Semuanya abu," jawabnya. Singkat dan cukup membuat Nabil sedikit tenang. Jujur, ia senang bila mengetahui bahwa Silky tak menyukainya.
"Kembali ke kamar. Tidur. Persiapkan diri untuk nanti akad. Kita akan bertemu lagi disaat akan sah menjadi suami istri," pinta Nabil tiba-tiba.
Silky tersenyum simpul. "Baik. Jangan lupa istirahat, Gus. Jaga kesehatan agar tubuh fit saat mengucapkan ijab qabul. Aku ke asrama dulu." Silky langsung bangkit, detik berikutnya ia langsung pergi meninggalkan laki-laki yang masih menyesap rokok di belakang pos ma'had itu.
Asap demi asap terkepul ke awang-awang berusaha menciptakan kedamaian di sekitar. Sungguh Nabil belum bisa memahami segalanya dan dia hanya mengikuti proses. Pada akhirnya ia berkeyakinan bahwa segala hal yang diminta tidak selalu baik menurut Allah, sehingga Dia menggantinya dengan yang lebih baik dan bukannya ia harus ikhlas menerima kehendak-Nya?
Ahad update 😊
Gimana part kali ini? Yah, ternyata Nabil perokok wkwkw ya maaf :') Aslinya emang gitu :)
Ada yang penasaran sama mukanya Silky nggak? Kalau iya, ntar part selanjutnya dikasih tau, ya ^^
Jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya, teman-teman ^^ Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik.
Salam Sayang | hallo_milkyway ❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro