Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 24 || Nggih, Abi

Tak perlu berharap berlebihan, barangkali kita hanya contoh dari pertemuan yang tak akan pernah teraminkan.

Usai meletakkan kitab Tafsir Jalalain di atas lemari, gadis itu meraih mukena putih dan memakainya kemudian. Setengah jam lagi azan magrib akan berkumandang. Para santri yang sudah masuk asrama, memilih makan terlebih dahulu sembari menunggu waktu salat tiba.

Di antara getirnya waktu, Ayas masih mengingat tentang perkataan Nabil siang tadi. Saat ia baru saja pulang ke asrama, terlihat tenda-tenda di sepanjang jalan setapak menuju masjid pusat An-Nadwah sedang ditata tetapi dari beberapa gosip yang beredar di kalangan mahasantri, tenda itu dipakai untuk khitan Muhammad Isa El-Rumi yang tak lain adalah sepupu Nabil yang masih berusia empat tahun.

Gadis itu menatap sekilas ransel-ransel besar yang berjajar di atas lemari para santri. Besok sampai tiga hari ke depan para mahasiswa akan sibuk menyiapkan perpulangan libur UAS, tapi tidak dengan Ayas. Ia lebih memilih menetap di sini, menetap di kota Jogja. Kota ini lebih banyak memberi pengalaman tentang bagaimana cara beradapatasi, tentang bagaimana belajar kemanusiaan, tentang persahabatan dan suka duka di dalamnya banyak tertulis pada tubuh kota.

Kadang, ia lupa tentang kota kelahirannya sendiri. Jogja seakan menghipnotisnya untuk jatuh cinta dan menetap di sana.

"Yas, dicari Fahmi di depan." Tiba-tiba Tiara masuk ke dalam kamar.

Ayas yang baru saja selesai memakai mukena, langsung mengangguk mengiyakan. Gadis itu langsung keluar sembari membawa mushaf dan sajadah.

Ah ya tentang Tiara, mereka berdua sudah berbaikan. Saat Ayas sudah mengetahui sebuah fakta, kini tak ada lagi sekat di antara keduanya. Benar kata Silky, Tiara adalah teman yang sangat perhatian.

Langkah perempuan itu terseret ke koperasi. Lalu dilihatnya, laki-laki berpeci hitam berdiri sembari bersandar di tembok teras. Saat menjelang magrib seperti ini, koperasi kosong dari para santri, bahkan di jalan setapak pun tak ada satupun yang lewat karena hendak salat magrib.

"Ada apa, Mi?" tanya Ayas.

"Aku mau pulang. Kamu ikut pulang juga, kan?"

Ayas terdiam sejenak. "Aku nggak akan pulang, Mi. Aku mau tinggal di mana? Kalau aku pulang pasti hanya repotin tante dan aku nggak mau."

"Keluarga kamu pasti rindu, Yas. Kamu udah berapa bulan nggak balik," cetus Fahmi.

"Kalau mereka kangen pasti telfon, kan? Zaman sekarang ada sosial media, Mi, dan mereka sama sekali nggak menghubungi aku atau sekadar tanya kabar. Jangan samakan hidup aku sama kamu." Suara Ayas naik beberapa oktaf.

"Mungkin mereka sibuk, Yas. Keluarga tetep keluarga." Fahmi masih terus berusaha meyakinkan.

"Terserah kamu tapi aku nggak mau pulang."

"Terus kamu mau ngapain di sini?"

"Ikut ngaji sama santri komplek juga bisa. Mereka semua belum waktunya libur dan pastinya lebih banyak kegiatan yang aku lakukan di sini daripada kalau aku balik."

"Kamu masih keras kepala, Yas."

"Aku emang belum berubah."

"Yas, dengerin aku. Aku seneng kita bisa ketemu lagi, kita bisa bersahabat lagi dan aku udah berjanji sama diri aku sendiri bahwa aku akan jaga kamu. Yas, omonganku beberapa tahun yang lalu nggak akan pernah aku tarik. Aku akan melindungi kamu sampai kamu bener-bener punya sosok pelindung." Fahmi menjeda ucapannya sebentar seolah memberi waktu bagi Ayas untuk menyelami tiap katanya.
"Bahkan aku udah janji, bahwa aku nggak akan menikah sebelum lihat kamu menikah terlebih dahulu," tandasnya.

Ayas terdiam. Ia tak mampu menyahuti ucapan pemuda di depannya. Kata-kata yang dilontarkan laki-laki itu seperti mengandung keyakinan yang dalam. Kalbu milknya mulai goyah, bahkan sepertinya Fahmi benar-benar tulus mengucapkan pernyataan barusan.

"Aku ke masjid dulu, Mi." Ayas buru-buru berbalik. Ia meninggalkan Fahmi tanpa mengucap sepatah kata pun. Jujur, ia tak sanggup menatap wajah itu. Fahmi berhak mendapat yang lebih baik darinya. Lebih baik dari hanya seorang Ayas.

Langkahnya terasa berat. Pada titik di mana ia dibingungkan dengan pilihan untuk kembali atau tetap melaju pergi, Ayas tak paham. Dari banyaknya perjalanan yang ia lalui, kenapa justru Tuhan menulis beberapa hal yang sebenarnya tak ingin Ayas inginkan.

Menyimpan rasa pada seseorang yang jiwanya jelas haram untuk dimiliki, berhasil menohok realitasnya saat ini. Dia memang tak tahu apa dan seperti apa cara Tuhan membuka sebuah jalan menuju penyelesaian dan sungguh berhenti di titik seperti ini hanya mampu berharap sebuah hadir dalam eksistensi diri.

Gadis itu seakan menyelam pada sebuah kedalaman laut untuk mencari mutiara dengan membiarkan mutiara-mutiara lain dilewati begitu saja. Ia berusaha meraih kekosongan, mendapatkan kehampaan dan menginginkan ketiadaan. Ia membiarkan pilihan-pilihan terbamg tersapu awan dan membiarkan dirinya terjatuh pada lereng pilihannya sendiri.
Nahasnya ia tak bisa berbalik. Gadis itu tetap berjalan memasuki dimensi tanpa batas, menembus sebuah ketidakpastian dan mendobrak gerbang kekosongan. Ia telah berjanji, bahwa ia tak akan pernah kembali pada kegelapan yang pernah menyelimuti.

🍬🍬

Di tempat lain, dalam ruang tamu yang cukup luas, Nabil duduk di sebelah ayahnya, Gus Ismail. Sedang di sebelahnya ada wanita paruh baya bergamis hijau muda dan berjilbab senada yang sudah rapi. Ya, Umi Hanin. Ibu Nabil.

Di depan mereka, Silky dan kedua orang tuanya duduk dengan beberapa rekan keluarga pun ikut serta berkumpul di sana sembari menikmati jamuan dan berbicara tentang banyak hal yang belum sempat disampaikan.

Pemuda bersarung serta berkemeja putih bergaris hitam itu mengulurkan tangannya meraih cangkir kopi di depan, lalu menyesapnya sebentar. Pertemuan yang tak dihadiri oleh Kyai Usman dan keluarga Adam ini sedikit dipahami bahwa Nabil mulai mengerti tujuan mereka mengapa ia harus hadir di antaranya.

"Nabil, kuliahnya masih lama?" tanya pria berusia 45 tahunan berwajah khas timur tengah yang memakai sarung hitam serta koko cokelat, duduk di depannya. Namanya Zidan, ayah Silky.

Nabil tersenyum. "Insya Allah, Bi. Soalnya saya mau lanjut S2 dulu," sahutnya, lembut. Karena sudah akrab dengan mereka, Nabil memanggilnya Abi dan Umi seperti ia memanggil orang tuanya sendiri. Begitupun saat Silky memanggil kedua orang tua Nabil.

Pria itu mengangguk-anggukkan kepalanya seraya tetap tersenyum, sedang Silky yang berada di sebelah ayahnya hanya membisu. Sesekali ia berbincang dengan ibunya tentang sesuatu yang tak Nabil mengerti.

"Sebenarnya tujuan kami berkumpul di sini, bukan hanya untuk sekadar bertukar obrolan biasa. Kita memiliki satu tujuan yang telah disepakati jauh-jauh hari oleh masing-masing dari kita. Tentu Nabil dan Silky sudah paham tentang keinginan kami sebelumnya. Kalian sudah hafal tentang rencana yang telah disusun." Ayah Silky mulai membuka percakapan.

"Tentang sebuah penggenapan separuh agama. Tentang kehidupan baru yang hendak dijalankan," lanjutnya.

Nabil menunduk, mengembuskan napas lembut. Ia sudah tahu bagaimana kelanjutannya. Dari awal, ia memang sudah menyangka bahwa semua ini akan terjadi tidak lama lagi dan barangkali sekaranglah waktunya. Beberapa tahun lalu sang ayah—Ismail—pernah menginginkan Silky sebagai seseorang yang kelak akan membantu Nabil dalam mengasuh pesantren dan barangkali keinginan itu masih berlanjut hingga sekarang.

"Untuk kalian berdua, Nabil Fuadi dan Silky Aulia bagaimana bila pernikahan kalian digelar setelah khitan Isa? Bukankah kalian sudah mengenal sejak kecil, sudah mengetahui satu sama lain? Dan yang paling penting, sudah siap?" tanya ayah Silky.

Nabil tersenyum. Ditatapnya sekilas wajah Silky, perempuan itu terlihat terkejut dengan keputusan mereka. Silky terlihat menyimpan banyak kata yang siap untuk diprotes tetapi tatapan Nabil yang mengenai matanya berhasil membuat perempuan itu langsung menunduk.

"Bagaimana Nabil?" tanya Gus Ismail.

"Nggih, Abi. Bukannya itu sudah menjadi keputusan, lalu kenapa aku harus menolak? Benar, aku dan Silky sudah saling memahami. Tugas kita sekarang mempersiapkan untuk pernikahan, kan?" jawab Nabil tanpa sedikit pun dibumbui kalimat penolakan.

Sang ayah tersenyum.

"Lalu, Silky?" Kali ini Gus Ismail mengalihkan pandangannya sekilas ke arah perempuan yang duduk di depan Nabil.

Gadis itu mengangkat kepalanya. Ia tak langsung menjawab. Silky sedikit tak paham dengan yang Nabil putusakan, mengapa lelaki itu menerimanya tanpa perlu berpikir terlebih dahulu. Nabil seolah telah menyiapkan jawaban ini jauh-jauh hari. Seolah-olah ia tak keberatan dengan perjodohan ini.

"Silky?" Ismail mengulang pertanyaannya.

Perempuan itu menoleh ke arah Nabil sekilas. Pemuda itu tersenyum ke arahnya.

"Nggih, Bi. Aku menerima ini," sahut Silky akhirnya.

"Alhamdulillah. Baik, pernikahan ini akan dilangsungkan setelah khitan Isa," putus Ismail.
Nabil kembali meraih cangkir kopi lalu menyesapnya lagi. Sungguh, ia tak memedulikan bagaimana perasaan Silky saat ini, pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba memenuhi benak Silky, itu semua tak mempengaruhi kehendaknya. Nabil bersikap seperti biasa. Ia bersikap bagaimana setiap hari bersikap. Bagi Nabil, memasang wajah masam di depan orang lain atau seseorang yang jelas harus dihormati bukanlah hal yang sopan.

Nabil tak perlu memikirkan apa pun lagi. Keputusan itu telah tiba dan tugasnya kali ini hanya menerima yang telah ada. Selanjutnya hanya perpasrah pada Dzat yang tak pernah alfa memberi rasa. Bahkan disaat seperti ini laki-laki itu masih terlihat tenang seperti biasa.

Sesungguhnya yang dipahami, rida Allah terdapat pada rida orang tua. Bukankah keinginan terbesarnya adalah mengabdi pada seseorang yang dipanggilnya umi. Sedikit pun ia tak mau membuat orang tuanya kecewa. Keputusan itu telah tiba secepat ini dan ia telah menerimanya.

Update!

Gimana part kali ini? Untuk tim Nabil-Ayas, maaf kalau part kali ini bikin patah, tapi inilah yang terbaik 😌

Terima kasih untuk yang masih membaca sampai sekarang 😊❤

Jangan lupa untuk tinggalkan jejak, vote dan komentarnya teman-teman 😊 Bila ada kesalahan sila sampaikan dengan baik ....

Salam sayang | hallo_milkyway ❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro