Bab 23 || Di antara Jeda
Rabbi yassir wa laa tu'assir
Ya Allah permudahkan urusanku, janganlah Engkau persulit.
Ya Allah permudah kami dalam mengungkap rindu, jangan persulit kami dengan sukarnya bertemu.
Di bawah langit biru kota Jogja, gadis itu tersenyum menutupi perihnya. Sekitar satu meter di sebelahnya ada Nabil yang masih setia menemani gadis itu di rooftop kampus. Sesekali rambut gondrong milik Nabil bergerak tertiup syahdunya angin yang berembus di antaranya.
Perempuan itu memandang ke depan. Tatapannya terlihat sendu terlebih berpadu dengan partikel-partikel rindu yang sedang beroperasi menikmati sebuah tenangnya pertemuan.
"Tadi itu sahabatmu, ya?" tanya Nabil membuka percakapan.
Ayas mengangguk. "Sekarang nggak lagi, Kak."
Nabil tersenyum kecil. "Kadang kita emang perlu berhati-hati. Nggak semua sahabat itu baik. Nggak semua orang-orang yang pernah ditolong itu benar-benar tulus mengucapkan terima kasih." Nabil berkata bijak, meski sejujurnya ia tak paham dengan sebab drama barusan. Nabil hanya hadir di tengah pertengahan debat mereka dan ia sedikit menyesal karena tak menyaksikan dari awal. Seperti dalam sebuah film-film dalam bioskop, drama mereka cukup berhasil membuat dia sedikit kagum dengan beberapa adegannya.
Ayas tak paham lagi kenapa banyak sekali ujian yang harus diterima. Kerapkali ia berpikir, apakah sebenarnya semesta tak pernah mengizinkannya terlahir? Entah sampai kapan ujian berdatangan. Dia telah lupa kapan terakhir pernah merasa bahagia.
Namun, jujur, saat seperti ini ia merasa sebuah kedamaian. Ayas merasa bahagia. Dia merasa memiliki pelindung tetapi nahas rasa itu hanya hadir sementara.
"Ini terlalu perih, Kak. Zee itu sahabatku sejak PAUD."
"Sejujurnya saya nggak paham akar masalahmu. Kalau kamu nggak keberatan, kamu bisa ceritakan sama saya. Yas, yang bertanggung jawab atasmu di asrama itu saya," lirih Nabil.
Ayas menoleh sebentar. Diam-diam ia mencuri pandang. Wajah Nabil masih seteduh sejak pertama kali berjumpa. Rahang tegasnya, bibir merahnya, hidung mancungnya dan alis tebalnya masih tercetak jelas dalam raut tenang itu. Nabil bagai air tenang dengan kedalaman yang tak bisa diprediksikan, yang tak dapat dijangkau dan ditebak substansinya.
Ayas memeluk mushaf, erat. Nabil selalu saja berhasil membuatnya harus buka suara. Mau tak mau, akhirnya Ayas menceritakan kejadian demi kejadian dengan detail. Tak jarang ia menunduk dan menahan air di kelopak mata agar tak menetes. Ia tahu, mengulang kembali menceritakan masa lalu yang buruk membuatnya kembali benci pada keadaan, tetapi begitulah sebuah penerimaan. Perlahan dia tahu dan menyaksikan sendiri bagaimana cara Allah menolong melalui hal-hal yang kerapkali disebut dengan keajaiban.
Waktu seakan terhenti saat musik mengerikan memenuhi indera pendengaran laki-laki berusia 21 tahun itu. Ia tak menyangka bahwa akhirnya Ayas terjebak dalam lubang yang menghimpit tanpa cahaya. Dia yang telah membawa Ayas ke sini, dan tanpa sengaja dia juga yang telah membuat Ayas banyak mengalami penderitaan.
"Saya minta maaf kalau selama ini membuat kamu susah, Yas," ucap Nabil.
Ayas langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak, Kak. Kakak nggak salah sama sekali. Kalau aku nggak bertemu Kakak di makam Rumi, mungkin aku akan lebih susah dari ini. Dan tentang alasan Salsa kenapa membenciku, itu mutlak salahku. Aku sudah berteman dengan banyak ujian, Kakak tak perlu minta maaf," sahut Ayas.
Nabil tersenyum. "Makasih, sudah bertahan sampai sejauh ini," ungkap Nabil.
Ayas membalas senyum laki-laki itu. Senyum itu yang dulu pernah diberikan Nabil saat mengungkapkan sebuah jawaban dari Rumi.
Tiba-tiba Nabil memandang Ayas. Kedua matanya menatap gadis di depannya dengan tatapan yang mendamaikan. Buru-buru Ayas menunduk saat merasa tersipu dengan sikap Nabil saat ini.
"Kamu tahu, Yas, kata Rumi saat kau lewati masa sulit, saat kaupikir tak bisa lanjut semenit lagi pun, jangan menyerah. Itu justru waktunya keadaan kan berbalik," ucapnya seraya tersenyum, lalu kembali menatap ke depan.
"Bahkan kata Abu Yazid pun, dalam kitab Hallat ahli haqiqah ma' Allah beliau berkata, 'Berjalan di atas air, terbang di udara adalah karomah yang paling rendah. Karomah yang paling tinggi itu melewati lika-liku dunia hingga akhirat tanpa berpaling kepada selain Allah. Sabar, Yas. Semua akan berakhir seiring berjalannya waktu." Nabil berkata lagi. Sungguh, ia harus mampu menguatkan gadis di sebelahnya, bagaimana pun Nabil lah yang telah menunjukkan Ayas pada jalannya.
"Kadang begitulah tanda rindu Allah terhadap hamba-Nya, Dia memberi kamu banyak sekali ujian dan tak ada yang bisa membantumu sampai kamu putus asa, dan hanya Allah-lah satu-satunya tempat kamu meminta. Itu semua Dia lakukan, agar kamu kembali mengingat Dia. Kamu tahu 'kan Allah itu maha pencemburu."
Ayas mengangguk samar. Ucapan demi ucapan yang Nabil utarakan selalu berhasil membuat jiwanya terasa lebih damai. Dalam setiap perkataannya ada harapan yang terselip bersamaan dengan bait-bait keimanan yang kembali tertata.
"Selama yang aku libatkan adalah Allah, aku pasti akan mampu melewati semua ini, Kak. Jangan cemas, aku Ayas yang kuat." Gadis itu tersenyum lebar. Ia tak menyangka bahwa Nabil tak berubah sedikit pun. Dia masih seperti Nabil yang dulu, meski padanya harapan telah musnah, ia tak perlu khawatir. Namun, menganggap Nabil sebagai kakaknya sendiri agaknya belum sampai hati. Jelas-jelas ia menyukai Nabil sejak pertama kali ditemui.
Ayas terdiam untuk beberapa saat. Sejujurnya ia tak suka dengan kepergian Zee. Hatinya lebih patah dari apa pun. Lebih sakit dari kehilangan Salsa. Zee sudah menjadi sahabatnya sejak mereka berada di PAUD, dan sekarang persahabatan mereka patah begitu saja hanya karena Fahmi dan dendam keluarga masa lalu yang tak jelas.
"Ayas, bagaimana kabar ibumu?"
"Ayas katanya ibumu sakit ya? Apa sekarang udah baikan?"
"Ayas, kapan-kapan kamu ke sini sama ibumu ya. Minta diantar dia."
Ayas masih mengingat pertanyaan-pertanyaan papa Zee saat dia masih sekolah dulu. Tapi saat itu Ayas sama sekali tak curiga dengan pertanyaan tersebut, dan sekarang ia sudah tahu jawabannya.
"Ah ya, kakak ada perlu apa di kampus ini?" tanya Ayas akhirnya.
"Ketemu temen. Ketua BEM. Tadi mau sekalian jemput Silky, tapi dia udah balik."
Ayas langsung menelan salivanya begitu mendengar pernyataan memilukan itu. Silky lagi.
"Dan, Yas, ada yang sesuatu hal yang ingin saya sampaikan padamu. Bila nanti setelah ini kamu mendengar suatu keputusan yang membuat kamu patah, tolong kuatkan diri kamu sendiri. Saya percaya bahwa kamu mampu."
"Keputusan?"
Nabil menganggukkan kepalanya. "Keputusan yang mungkin membuat kita berdua akan saling berjauhan. Keputusan yang mungkin membuat kita tak akan pernah lagi bisa berkomunikasi seperti kemarin. Keputusan yang mungkin akan kembali mematahkanmu. Saat itu, mungkin saya nggak bisa berada di dekatmu lagi, Yas."
"Tapi keputusan apa, Kak? Kenapa harus ada keputusan seperti itu? Bukannya kita masih bisa berteman? Bukannya kita masih bisa bertukar kabar? Apa yang mau Kakak lakukan?" Ayas bertanya beruntun. Ia sedikit tak suka dengan apa yang Nabil katakan saat ini. Ia tak mau ditinggalkan oleh orang-orang baik lagi. Apakah Tuhan menginginkan ia hidup sendirian?
"Entah. Saya nggak paham. Yang jelas sebentar lagi keputusan itu akan tiba."
Ayas terdiam. Sesaat dering dari ponsel milik Nabil memecah keheningan dalam lirih. Pemuda itu merogoh saku celananya untuk mengambil benda pipih hitam miliknya.
"Assalamualaikum Abi," sapa Nabil setelah mendekatkan ponsel di telinga.
" .... "
"Jadi tendanya udah datang ya. Baik, Nabil langsung pulang. Warna biru atau maroon?"
" .... "
Nabil terlihat tertawa. "Na'am syukron, Bi. Nabil mau pulang. Assalamualaikum."
Pemuda itu mematikan gawainya, lalu memasukkannya kembali ke saku. "Mau pulang atau masih ada matkul?" tanyanya setelah memandang Ayas sekilas.
"Masih ada matkul, Kak."
"Baik, sana ke kelas. Nanti saya pulang."
"Kakak bisa pulang duluan."
"Ke kelas, sekarang!" Nabil menekankan kalimatnya.
Ayas menautkan alisnya, lalu langsung bangkit dan meninggalkan Nabil di rooftop. Sepanjang jalan menuju kelas, pikirannya mulai berpusat pada tenda yang dibicarakan Nabil dengan ayahnya. Bukankah khataman Alfiyah masih enam bulan lagi? Atau mungkin ada pertemuan antar pesantren? Ah, entahlah. Yang jelas di pesantren ini memang ada beberapa acara besar setiap tahunnya.
Sedangkan laki-laki yang masih berdiri di rooftop itu perlahan berjongkok, mengambil notebook bergambar menara pisa yang baru saja terjatuh dari ransel milik gadis yang sudah pergi meninggalkannya.
Ia sedikit tersentak saat melihat beberapa potret dirinya di depan Gereja Hagia Sophia bersama perempuan itu. Perlahan, bibirnya mengembang manis, mengambilnya lalu membawanya pulang kemudian. Ia akan membaca isinya saat ada waktu luang nanti.
Update lagi 😊
Jangan lupa tinggalkan jejaknya. Vote dan komentarnya manteman ^^ Semoga jangan bosen baca Filsafat Cinta ini ya 😅
Kira-kira itu keputusan apa ya yang Nabil katakan? :' huhu ...
Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik. Manusia tempatnya salah dan lupa!
Salam sayang hallo_milkyway❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro