Bab 22 || Menuju Akhir
Allah tak akan mengambil sesuatu yang kita miliki, kecuali akan menggantinya dengan yang lebih baik.
Sembari menunggu matkul 30 menit lagi, gadis berkemeja over size putih yang dipadukan dengan rok hitam dan scraft ungu muda itu berjalan menuju rooftop universitas. Tugasnya sudah selesai dikerjakan. Hari ini ia hendak muraja'ah sebentar menikmati pemandangan alam kota Jogja.
"Jadi lo bener-bener udah keluar dari asrama?" tanya sebuah suara.
Lamat-lamat Ayas mendengar sebuah percakapan. Langkahnya terhenti di perbelokan rooftop. Ia melongokkan kepalanya dan melihat dua orang perempuan yang sedang duduk sembari berbincang. Zee dan Salsa. Buru-buru dia menarik kepalanya dan bersandar di balik tembok untuk mendengar cerita mereka selanjutnya. Bahkan ia baru tahu bahwa mereka berdua sudah saling mengenal.
"Iya. Udahlah aku males bikin drama-drama lagi. Fitnah itu kejam sebenarnya," kata Salsa.
"No problem. Gue bisa jalanin rencana gue sendiri. Itu konsekuensi karena dia udah kembali dan mengambil semua hal yang gue inginkan. Larisa itu cantik, sih, tapi bodoh." Tawa Zee berderai.
"Aku pulang." Itu suara Salsa.
Tiba-tiba dada milik Ayas merasa sesak menahan kecewa yang berlebihan. Yang berbicara tadi bukanlah seseorang yang baru dikenal. Tapi dia Zee, seseorang yang telah bersahabat lebih dari 13 tahun dengannya. Detak jantung seakan terhenti saat itu juga. Atmoser di sana tiba-tiba berubah menyesakkan.
Tenaganya seakan tak lagi mampu untuk menahan beban beratnya. Ia mengencangkan pegangan terhadap mushafnya barangkali nanti terjatuh. Sungguh, ucapan Zee berhasil memporak-porandakkan perasaannya saat ini.
"Ayas, kamu di sini dari tadi?" Tiba-tiba seseorang mendekat.
Perempuan bernetra hijau itu mengangkat wajahnya. Ia menatap gadis bernama Zee itu, tajam. "Jadi kamu yang mengendalikan Salsa? Ziarla Rahdiansyah. Ra." Ayas menekankan perkataan demi perkataannya.
"Maksud kamu apa sih? Aku nggak ngerti."
"Aku udah denger semuanya."
Zee tercengang untuk beberapa saat. "Kamu pasti salah denger, kan, Yas?" Perempuan itu tertawa berusaha mencairkan suasana yang benar-benar sedang beku.
"Salah denger? Kamu tahu, kamu adalah satu-satunya sahabat aku sejak kecil di mana aku mempercayakan sebagian privasiku sama kamu, Zee. Aku percaya sama kamu melebihi aku percaya sama kakakku sendiri. Kamu adalah orang kedua yang banyak memegang rahasiaku setelah almarhum mama, kamu adalah orang yang sangat aku percaya, tapi kenapa kamu bisa berbuat sejauh ini?" Ayas tak dapat menahan emosinya. Ia tak bisa lagi bersabar dan tenang. Semuanya telah kacau.
Hatinya sakit saat satu per satu sahabatnya melepas topeng yang selama ini dipakai. Satu hal yang tiba-tiba menjadi pertanyaan, kenapa Tuhan begitu tega meletakkan Ayas di antara banyaknya manusia-manusia yang menggores luka. Bahkan sejak dulu.
"Silakan keluarkan semua emosi kamu. Aku dengerin." Zee berucap datar.
"Aku nggak paham dengan jalan pikiranmu sekarang, kenapa kamu tega melakukan ini?"
"Karena kamu sudah mengambil Fahmi. Tapi yang lebih membuatku muak, jelas karena ibumu telah mengahancurkan keluargaku. Papa yang kumiliki selalu bersikap keji pada mama karena dia hanya menyukai ibumu, Larissa! Menyukai wanita murahan itu. Kamu tahu, sebenarnya aku bahagia saat denger bahwa ibumu meninggal. Dengan begitu papa nggak akan bisa berharap lagi sama dia."
"Kamu nggak akan tahu bahwa pernikahan papa dan mama itu karena terpaksa. Papa kalap saat menyaksikan ibumu menikah dengan ayahmu lalu karena ingin balas dendam, akhirnya papa menikahi mama. Dia menyukai ibumu lebih dari apa pun, Yas.
"Kamu nggak akan tahu bagaimana dulu ibumu dan papa menjalin sebuah hubungan, kan? Hingga pada akhirnya, semesta memisahkan mereka karena jodoh yang tak sesuai."
Ayas terdiam mendengar penjelasan Zee. Diperhatikannya gadis itu yang mulai berkaca-kaca. Tetapi nahasnya tidak dengan Ayas. Air matanya tak bisa keluar. Ayas tak tahu pasti masa lalu keluarga mereka dan ia benar-benar baru mendengarnya hari ini.
"Aku kira apa yang aku lakukan ke kamu ini nggak seberapa. Jadi nggak perlu drama. Kita sama-sama jahat, Yas, nggak perlu berakting menjadi tokoh yang merasa paling tersakiti," tandas perempuan berambut ikal itu.
"Kamu mendapatkan segalanya dengan mudah, sedangkan sampai sekarang aku masih berada pada titik di mana keluargaku berantakan. Jangan hanya karena kehilangan kedua orang tuamu lantas menjadi lemah, Larissa. Yang lebih menyakitkan daripada kehilangan orang tua yang menyayangi kita adalah memiliki orang tua yang tak peduli terhadap kita.
"Andai waktu SMA gue nggak cupu, mungkin sekarang lo nggak akan pernah lihat langit lagi." Tiba-tiba Zee menodongkan pisau kecil ke depan Ayas.
Ayas tak terkejut sama sekali. Ia hanya berusaha untuk mundur meski sudah tergencat ke tembok. Yang diyakini saat ini, Zee tak akan melukainya. Gadis itu hanya mencoba mengancam.
"Beginilah dulu papa mau bunuh gue. Dia nyesel nikah sama mama yang berarti dia nyesel punya anak gue." Zee mendekatkan pisaunya ke dagu Ayas.
"Kenapa muka lo nggak sedikit pun ketakutan, Yas?" Zee bertanya, berbisik.
"Untuk apa? Aku nggak takut lagi dengan banyaknya penderitaan." Ayas menepis tangan Zee, dan pisau itu terjatuh ke lantai.
"Bukannya itu urusan keluarga? Salah kalau aku terlahir dari rahim mama? Seseorang nggak bisa request sama Allah untuk terlahir dari keluarga yang seperti apa," sergah Ayas.
"Iya, tapi seorang anak bisa mengubah jalan hidupnya, Yas. Dan kamu nggak pernah punya pikiran semacam itu, kan?"
"Zee, ada satu hal yang tidak kamu tahu tentang keadaan keluargaku yang sebenarnya. Semenjak papa meninggal, mama depresi. Mama selalu mencoba bunuh diri, mama selalu berteriak ingin mati. Kamu masih memiliki waktu bahagia bersama keluarga meski sehari saat libur sekolah, kamu dan Fahmi pernah bercerita bagaimana asyiknya piknik ditemani keluarga, kan? Kamu inget nggak saat itu aku lari ke kamar mandi karena aku nggak nyaman saat kalian mulai berbicara tentang hal yang nggak kupunya.
"Sejak papa pergi aku tak pernah memiliki kesempatan itu lagi. Kamu masih bisa memandang wajah ayahmu saat tersenyum, sedangkan aku nyaris lupa bagaimana wajah papa.
"Kita sama-sama diberi ujian. Kita sama-sama terlahir dari kesulitan. Bila kamu melihat aku yang menurutmu mendapat kebahagiaan dengan mudah, itu bukan karena hidupku benar-benar mudah, Zee. Aku hanya mencoba mengikhlaskan apa yang sudah pergi, karena seberapa pun usahaku untuk mengembalikan yang hilang, hasilnya nol. Kamu tak pernah tahu bagaimana rasanya rindu papa.
"Apa kamu bisa bayangkan, kamu berada pada puncak kerinduan paling tinggi tapi kamu tak bisa melihat? Aku tak pernah lagi merasa pelukan hangat dari papa, aku tak pernah lagi merasakan ciuman manis dari papa dan aku tak pernah lagi memandangnya. Saat kamu dan Fahmi bercerita tentang dongeng sebelum tidur yang diceritakan oleh ibu kalian, aku hanya mampu mendengar. Kau tahu kenapa? Karena mama tak memiliki waktu untuk mendongeng. Mama sibuk dengan traumanya. Aku tak punya siapa-siapa untuk berkeluh. Aku tak punya teman untuk berbagi kesah.
"Lima belas tahun aku menderita, tetapi aku hanya berusaha menerima. Mungkin beginilah jalan hidupku. Apa aku memiliki keinginan untuk bunuh diri? Sering. Aku kira pertemuan dengan Kak Nabil adalah awal perubahan hidup, tetapi nyatanya aku tetap berada di posisi pasang surut. Aku lupa kapan aku benar-benar bahagia. Aku lupa kapan aku pernah tersenyum bebas tanpa beban.
"Kamu pasti ingat bahwa aku tak pernah sekalipun ikut piknik. Selain karena faktor ekonomi, aku harus menjaga mama. Saat dia di rumah dia selalu mencoba menyakiti dirinya sendiri."
Tatap tajamnya Zee perlahan berubah sayu. Benar, Ayas tak pernah menceritakan semua itu pada siapa pun. Beban-beban berat itu ditanggungnya dalam dada, sendirian. Ia tak mau orang lain mengasihinya, ia tak mau orang lain paham penderitaannya.
"Kamu pasti kaget kan? Jelas. Aku nggak pernah menceritakan ini pada siapa pun. Ini adalah aib terbesar keluargaku. Dan kamu mengira bahwa aku mudah mendapatkan apa pun? Bagian mana? Dan sekarang kamu mau bunuh aku? Silakan. Dari awal aku memang bertanya, apakah boleh terlahir ke dunia ini mengingat banyak sekali ujian yang berdatangan.
"Kamu kira aku takut dengan ancaman seperti ini? Tidak, Zee. Aku sudah berteman dengan banyaknya kesulitan."
Zee kembali memandang Ayas. Ia berjongkok mengambil pisau, lalu kembali diarahkan di depan dada Ayas.
"Dramanya bagus! Sudah selesai, kah?" Suara bariton seorang laki-laki berhasil membuat mereka terkejut.
Hening.
Ayas langsung mencari sumber suara. Sesaat netra hijaunya terbelalak saat mendapati seorang laki-laki yang tampak tersenyum sembari bersandar santai di tembok yang tak jauh dari mereka berdiri. Kedua tangannya terlipat di depan dada sedangkan tatapannya mengarah tajam pada mereka.
"Kok pada diam? Saya mau pinjam Ayas sebentar, boleh?" Laki-laki dengan kemeja merah bergaris hitam yang pada bagian lengannya dilipat hingga siku itu berjalan sembari memasukkan kedua tangannya di saku celana hitam.
Zee tampak kesal. Perempuan itu menjauh beberapa langkah dari Ayas saat laki-laki itu berhenti satu meter di depan mereka.
"Mbak-nya cocok jadi pemeran antagonis. Tapi kurang pinter. Lain kali kalau mau melakukan adegan berbahaya jangan sampai ada cctv," kritiknya, lalu tersenyum miring. Setelah itu Zee memilih pergi meninggalkan mereka tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ayas masih tercenung dengan kehadiran yang tiba-tiba. Gadis itu mematung bersamaan dengan sadarnya mendengar suatu bunyi yang tak lagi asing. Benar, ternyata detakan syahdu itu berasal dari debar jantungnya saat ini. Sungguh, ini bukan mimpi, kan? Seseorang itu hadir di sini. Di saat ia sedang membutuhkan ketenangan. Di saat ia sedang kesulitan. Lagi. Dia kembali.
"Tenangin diri kamu dulu." Laki-laki itu mengulurkan minuman kaleng ke arah Ayas. Setelah gadis itu menanggapinya, pemuda bertubuh jangkung tersebut tersenyum lalu berjalan ke rooftop sembari menyapukan pandangannya pada pemandangan teduh kota Jogja. Siang itu, setelah kecemasan menghantam, terbit sebuah ketenangan dalam rindu yang sedang bekerja mempertemukan.
Ahad update 😊
Untuk yang masih bertahan baca hingga sekarang, atau nggak sengaja tiba-tiba nyasar ke sini, semoga betah sampai tiba di ending :') Terima kasih sudah membaca cerita yang gqheiqjej ini ^^
Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan bahasa yang baik. Jangan lupa untuk tinggalkan komentar dan vote-nya manteman ^^
Salam | hallo_milkyway ❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro