Bab 21 || Kesalahan Jatuh Cinta
Rasaku itu mabni, karena yang mu'rab tak bisa dikatakan rasa.
"Silky, dipanggil sama Gus Nabil!" Salah seorang santri berdaster batik cokelat baru saja masuk dengan suara yang terdengar menggebu-gebu.
Silky yang sedang menyimak hafalan Ayas, menengok ke arah pintu. Ayas juga. Bahkan perempuan itu tidak tahu bahwa Nabil telah kembali. Dia datang ke Jogja. Nabil Fuadi, kan? Ada setitik rindu yang ingin tersampaikan tetapi sepertinya ia harus mengubur sebuah pertemuan karena waktu yang enggan memberi kesempatan. Rindu terkadang bisa semerepotkan itu. Di dunia ini, adakah yang lebih menyiksa daripada merindu?
"Gus Nabil ada di sini?" Santri yang sedang melipat pakaian bertanya.
"Iya loh. Katanya baru dateng tadi malam. Tadi aku lihat. Masya Allah, gondrongnya bikin nggak tahan."
"Nambah ganteng pora?"
"Susah dideskripsikan. Pokoke dirangkum aja sama kalimat Masya Allah."
"Ayo dong ke depan pura-pura ke kantor izin mau beli batagor."
"Bilang aja cuci mata, Mbak."
"Gus idola santri putri akhirnya datang juga. Andai ditambah putranya Gus Adam, aduh."
"Aduh mau dong jadi jodohnya."
"Kalau aku dapet Gus Nabil, ntar se-asrama aku traktir bakso ciwul, ya."
"Jadi tetangga aja belum tentu, apalagi jodoh."
"Modalnya yang penting yakin. Selama masih ada doa kenapa harus pesimis?"
Silky menoleh sekilas saat merasa berisik karena celoteh teman-temannya yang memang kerapkali bersikap seperti itu. Mungkin wajar, santri pun manusia dan merasakan fitrah cinta. Maka kehadiran para Gus kadang berhasil menggoda iman mereka.
"Silky, cepet loh. Gus Nabil di kantor. Ditunggu seorang Gus kok malah menyia-nyiakan," sergah salah satu dari mereka.
"Sebentar. Aku lagi nyimak hafalan Ayas," sahut Silky.
"Rene ... rene ... aku wae seng nyimak. Sana kamu ke kantor." Perempuan itu mengambil paksa Alquran yang tadi dipegang Silky. Dia menggeser Silky dan duduk di depan Ayas kemudian.
Silky yang kemudian berdiri merasa segan karena tak sampai selesai menyimak hafalan sahabatnya. "Aku ke sana dulu ya. Tetep fokus." Silky mengepal tangan kanannya, seraya tersenyum.
Setelah Ayas mengangguk, Silky langsung keluar kamar.
Sedang Ayas kembali melanjutkan hafalannya. Hari ini ia akan menuntaskan juz empat dan besok akan dilanjut juz lima bila juz 1-4 sudah lancar. Namun, kali ini pikirannya telah bercabang. Dalam baris-baris ayat yang dilafalkan, terselip wajah Nabil di dalamnya. Dalam setiap ayat yang dimulai, nama Nabil ikut serta hadir di antaranya. Ia tak lagi mampu fokus. Namun untunglah, semua yang dipikirkan masih dalam batas kendali, sebentar lagi ia akan menyelesaikan perempatan terakhir juz empat itu.
Tentang Nabil yang sudah kembali, Ayas sedikit kecewa kenapa laki-laki itu tak mengabarinya dahulu. Tetapi ia harus sadar, bahwa dia bukanlah siapa-siapa. Silky jauh lebih berhak atas pertemuan dan kabar. Di antara keduanya Ayas merasa manjadi benalu yang mencoba menganggu.
Setelah Salsa benar-benar keluar dari pesantren, Silky adalah sahabat satu-satunya yang dimiliki. Ia akan menjaganya. Kehilangan sahabat adalah sesuatu yang paling menyedihkan dan ia tak mau kejadian seperti itu kembali terulang. Baginya adalah aib saat persahabatan rusak hanya karena seorang laki-laki.
🍬🍬
Di koperasi mahasiswa, Ayas mengambil dua botol air putih, beberapa sachet sereal dan susu kotak rasa cokelat. Ia berdiri antre di depan kasir menunggu giliran untuk dihitung.
"Yas," sapa seseorang.
Ayas menoleh. Ia mendapati laki-laki berpeci hitam yang berdiri di belakangnya. "Fahmi."
"Sini, biar aku yang bayar." Fahmi mengulurkan tangannya hendak meraih keranjang yang dipegang Ayas.
Perempuan itu menjauhkan dari Fahmi, sigap. "Nggak usah. Aku bisa bayar sendiri."
"Udah sini nggak papa." Fahmi menarik paksa keranjang itu.
Ayas mengembuskan napas pasrah, lalu keluar untuk menunggu Fahmi di depan koperasi. Ia berdiri di depan etalase sembari menatap taman depan yang asri. Ah, lagi-lagi pikirannya kembali pada Nabil. Bagaimana mungkin mengharap sebuah ketidakmungkinan bahkan ia hanya mampu berada di antara keperihan. Kerapkali rasa terbatas oleh realita yang berakhir luka.
Allah, perasaan ini terlalu berbelit. Aku berdoa pada-Mu untuk menghapus sebuah rasa tetapi nahasnya aku meminta pada-Mu untuk tak pernah mengijabahnya. Aku bermain-main dengan nyala api yang membakarku. Aku bermain-main dengan salju yang mengubur harapanku.
"Ini." Seseorang menyodorkan kresek putih ke depan Ayas.
Perempuan itu mengambil kresek itu. "Makasih, Mi. Aku langsung ke asrama ya. Aku takut kalau sampai dilihat keamanan," ucap Ayas, kemudian ia berbalik hendak menuju asrama belakang.
"Ayas, tunggu!" Seseorang berteriak.
Ayas menoleh. Ia mendapati Silky yang sedang berjalan ke arahnya. Ayas tersenyum saat Silky sudah mendekat, sebelum akhirnya dua gadis itu mulai melangkah masuk lebih dalam ke asrama.
"Kak Nabil pulang kapan?" tanya Ayas.
"Udah empat hari katanya. Tapi baru ke sini semalem."
"Oh gitu ya." Ayas menanggapi datar. Sungguh, bahkan sepertinya Ayas memang harus benar-benar mengubur harapannya. Tak ada lagi setitik pun cahaya yang menerangi. Rasa yang dimiliki tersekat di antara robohan-robohan kekecewaan yang membelenggu kenaifannya.
"Ah ya, aku mau nanya sesuatu, Sil."
"Apa?"
"Kapan kamu menikah sama Kak Nabil?" tanya Ayas.
Silky mengerutkan dahinya.
Refleks, Ayas menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Bukan apa-apa sih, aku cuma mau hadir." Ayas merutuki alasan klasiknya. Bagaimana mungkin ia membicarakan hal tersebut pada Silky.
Silky tertawa nyaring. "Nikah sama Gus Nabil? Kita cuma sahabat, Yas. Aku sama dia udah berteman sejak kecil. Kami tetanggan. Kebetulan Gus Ismail kenal deket sama ayah, karena dulunya mereka satu kampus bareng. Jadi orang tua kami memang udah saling menganal."
Dahi Ayas berkerut, "Tapi kak Nabil bilang kalau kamu tunangan dia."
"Bilang di mana?"
"Waktu kita di Mesir."
Silky menggeleng-gelengkan kepalanya sembari terus tertawa. "Jangan percaya. Dia emang masih kayak dulu ternyata, nggak berubah."
Ayas semakin tak mengerti. Sebenarnya hubungan seperti apa yang dimiliki Silky dan Nabil.
"Maksudnya gimana?" tanya Ayas.
Silky terdiam. Ia tak langsung menjawab pertanyaan Ayas.
"Gimana ya bilangnya?" Silky menggaruk kepalanya yang tak gatal. Raut wajahnya terlihat rancu. Jelas ada sesuatu yang sangat ambigu.
"Kenapa emang? Biasa aja ya, Sil," kata Ayas.
"Sini duduk dulu." Silky menarik tangan Ayas dan mendudukannya di bawah tangga yang menghubungkan kamar lantai dua.
Gadis itu menarik napas, lalu mulai membuka mulut untuk bercerita, "Gini, sebenarnya Gus Nabil nggak mau kalau sampai kamu suka sama dia, Yas. Dulu, kita pernah bersahabat dengan Nisa yang sempat kuceritakan padamu. Kami bertiga sering kumpul bareng, tapi siapa sangka kalau Nisa suka sama Gus Nabil sejak dulu. Waktu awal Nabil kuliah di Mesir, Nisa mengungkapkan perasaanya sama Gus Nabil.
"Tapi Nabil tolak. Setelah itu dia merasa nggak enakan, dia ngerasa salah. Dia ngerasa nggak bisa lagi jadi sahabat yang baik buat Nisa. Dan setelah itu Nisa menjauh, katanya sekarang dia kuliah di Sulawesi.
"Makanya setelah itu, Nabil nggak mau ada yang patah lagi. Nabil nggak suka kalau ada perempuan yang lebih dulu menyukai dia daripada dia menyukai perempuan itu, karena Nabil itu tipe-tipe cowok yang nggak mudah jatuh cinta. Sedang dia tak bisa naif bahwa di luar sana banyak yang menyukainya, Yas. Secara logika aja, siapa yang nggak mau sama dia? Kamu tahu gimana rupanya, akhlaqnya, tutur katanya, otaknya, dan sesungguhnya yang dia nyatakan padamu sebuah dusta.
"Maka dari itu, pada seseorang yang ada kemungkinan dekat sama Nabil, dia bilang bahwa dia udah punya tunangan. Dia tahu berbohong itu dosa, tapi katanya jauh lebih dosa saat dia mematahkan perasaan perempuan begitu saja. Dia nggak suka lihat perempuan menangis dan patah karenanya. Dia merasa harus bertanggung jawab dan dia nggak nyaman dengan keadaan semacam itu."
Ayas terdiam sejenak. Kedua bola matanya berpindah menatap ke depan. Hari ini ia mengetahui sebuah fakta yang cukup mengejutkan. Dari awal Nabil memang tak pernah mengizinkan Ayas jatuh cinta padanya. Dari awal Nabil memang tak pernah mengizinkannya masuk dalam ruang lingkupnya. Pernyataan seperti ini sukses menjadikan Ayas merasa menjadi perempuan yang memaksa menginginkan sebuah persatuan di antara banyaknya larangan. Namun, mengapa sisi lain Nabil yang seperti membuat hatinya merasa semakin tertarik. Jatuh cinta memang kecewa yang sudah ditata dengan baik.
"Jadi sebenarnya, Kak Nabil melakukan itu memiliki alasan tersendiri, ya." Ayas menanggapi sembari mengingat perkataan Nabil saat di Mesir beberapa bulan silam.
"Iya. Tapi aku juga nggak tahu gimana perasaan dia sebenarnya. Susah ditebak." Silky tersenyum singkat.
"Kalau dia suka kamu gimana?" tanya Ayas. Percayalah saat mengatakan itu, ada sebagian dari hatinya yang tergores. Ada sebagian kecil dari segumpal dagingnya yang terasa perih.
"Simpel. Kalau Allah berkehendak kita jodoh, gimana lagi? Nabil pernah mengatakan itu juga padaku," sahut Silky apa adanya.
Ayas menelan salivanya mendengar jawaban yang keluar dari bibir merah Silky tersebut. Sungguh, balasan yang diucapkan sahabatnya cukup berhasil membuatnya terhenyak.
Terlepas Nabil tunangan Silky atau bukan, Ayas tetaplah bukan hawa yang pantas untuk laki-laki bertubuh jangkung itu. Di antara banyaknya manuskrip Tuhan, entah mengapa Ia memberi opsi Nabil sebagai seseorang yang harus dicinta sekaligus tak akan pernah dapat digapai selain hanya fana belaka.
Untuk jatuh cinta saja aku tak diizinkan apalagi mencoba masuk dalam kehidupannya. Konyol, Yas. Latihan mundur memang perlu. Batin Ayas.
Lagi-lagi ada fakta ya 😁
Kira-kira akhirnya Nabil sama siapa, nih? Silky atau Ayas?
Cukup sampai di sini dulu, manteman Di part ini, ambil yang baik buang yang buruk.😊 Bila ada kesalahan sila sampaikan dengan baik. Jangan lupa untuk selalu tinggalkan vote dan komentarnya.
Diakhir nanti akan ada Give Away bagi kalian para pembaca setiap SWP GEN 3 huhu 😌
Salam sayang | hallo_milkyway ❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro