Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 20 || Kembali ke Jogja

Barangkali Jogja dicipta saat nada-nada syahdu dari surga mengalun mendamaikan rasa.


Pada kereta yang baru saja bertepi, seorang laki-laki bercelana hitam serta memakai hoodie moka baru saja turun. Bibir merah miliknya mengembang saat pandangannya terjatuh pada nama kota yang terpampang di stasiun. Perlahan, langkahnya terseret menuju tempat tunggu yang berada di luar. Aroma romantisme kota telah menyapa perasanya.

Arloji di pergelangan tangan kanan yang melingkar pas menunjuk pukul 08.49. Cakrawala bak tinta hitam menampilkan pesona kartika di antara kilau sebuah asa. Laki-laki itu tersenyum saat menyadari bahwa ia sudah benar-benar sampai di kota penuh makna. Dan lagi, ia tak sabar untuk bertemu Adam. Di Nadwatul Ummah ada banyak orang-orang yang ingin dijumpai.

Nabil mencari kontak beberapa teman yang mengabdi di sana. Namun, dia teringat bahwa saat ini pesantren sedang sibuk ngaji kitab kuning atau jadwal Bahtsul Masail, ia tak mau mengganggu, dan Nabil memang memegang peraturan untuk dirinya sendiri. Selama bisa melakukan apa pun sendiri, ia tak akan pernah merepotkan orang lain.

Pemuda itu berjalan ke depan. Tangannya melambai pada Taksi yang hendak berlalu. Setelah kendara roda empat itu berhenti di depannya, ia segera masuk ke dalam untuk melakukan perjalanan selanjutnya.

Lalu lalang manusia yang memadati malam di Jogja membuat Nabil benar-benar merasa nyaman. Ia suka dengan suasana malam ini, ia suka dengan dataran kota cinta. Tak salah rasanya, bila Jogja tercipta dari serpihan-serpihan yang jatuh dari surga.

Di sepanjang jalan, diperhatikannya wajah kota yang sudah banyak berubah. Para pemuda- pemudi sibuk berlalu lalang merayakan malam minggu di kota istimewa. Berbicara tentang Jogja, Nabil mengingat tentang Alexandria. Keduanya memiliki kesan romantisme yang pekat dalam setiap sudut yang terlihat. Debur ombaknya bak permadani yang indah. Mediterania selalu berhasil menyihir manusia untuk menetap di sana. Berbicara tentang Alexandria memang tak akan pernah ada habisnya.

Sekitar 40 menit kemudian, Taksi berhenti di depan gerbang tinggi berwarna pine yang masih terbuka. Setelah Nabil memberi beberapa lembar rupiah pada Sopir, pemuda itu langsung keluar dan berjalan masuk menuju bangunan bernuasansa hijau nan damai. Pesantren yang sangat luas semakin terlihat gagah setelah beberapa tahun tak dikunjungi olehnya.

Langkah kakinya terserat ke arah rumah pengasuh. Ia rindu dengan kakeknya—Kyai Usman—yang sudah beberapa tahun tak berjumpa selain hanya melalui video call belaka. Pada wajahnya yang mulai menua, Nabil melihat letak cinta di balik senyumnya.

Sepanjang jalan, asrama terlihat sangat sunyi selain terdengar suara lalaran-lalaran dari balik gedung-gedung yang menjulang. Para santri masih sibuk dengan kitabnya dan akan berakhir saat sudah waktunya.

"Ammi Adam," panggil Nabil saat melihat pria bersarung putih serta berbaju koko hijau yang hendak masuk dalam rumah minimalis bercat putih.

"Masya Allah, Nabil." Adam menggugurkan niatnya untuk masuk.

Nabil berjalan cepat ke arah Adam, lalu laki-laki itu memeluk pamannya, singkat. Bibirnya mengembang.

"Kamu kapan pulang?" tanya Adam.

"Sehari sebelum Mas Hamdan nikah, Mi. Ammi Adam nggak ke nikahan Mas Hamdan kenapa?" tanya Nabil berusaha meminta penjelasan.

"Ada sedikit hal yang menyangkut pesantren waktu itu, Bil. Jadi Ammi sama sekali nggak bisa ke nikahan Hamdan. Ammi juga udah minta maaf sama Hamdan. Rencannya seminggu lagi Ammi dan Ammah mau main ke sana," ucap Adam.

"Ayo masuk dulu. Kamu dari Jakarta jam berapa?" Adam meraih gagang pintu, lalu membukanya kemudian. Terlihat ruang tamu sederhana dengan beberapa frame foto sang Kyai dan beberapa pertemuan antara mereka dan para ulama-ulama juga beberapa habib.

"Abis zuhur," sahut Nabil.

"Abah di mana, Mi?" tanyanya setelah menaruh ransel di atas kursi.

"Abah di kamar. Kalau jam segini abah lagi zikir, Bil. Kalau mau ketemu abah nanti pagi aja ya," ucap Adam setelah duduk di depan keponakannya.

"Ibu mana?" tanya Nabil lagi.

"Ibu lagi sama anak-anak Ula."

Nabil mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. Ia mengambil botol air mineral di atas meja, lalu meneguknya setengah.

"Bagaimana kuliahnya?" tanya Adam.

"Alhamdulillah lancar, Mi. Insya Allah bentar lagi kelar."

"Mau lanjut di sana?"

"Maunya gitu, tapi dilema sama Yaman. Entahlah." Nabil tersenyum simpul mengingat keputusannya yang belum benar-benar matang.
"Sebelum S2 nggak nikah dulu?" tanya Adam sembari tertawa kecil.

Nabil tersenyum. "Kurang tahu, Mi. Aku nggak begitu siap kalau nikah sekarang. Pernikahan bukan tentang perlombaan siapa cepat dia bahagia. Nabil nggak mau kalau nanti istri Nabil susah, Nabil nggak mau kalau nanti nggak bisa mencukupi, nggak mau kalau nanti dia kekurangan. Bukannya menikah itu harus sudah siap segalanya biar nanti jangan menyalahkan takdir?" Nabil tersenyum lagi. Perbedaan bahasa yang dipakai saat berbicara dengan Adam dan Hamdan terlihat sangat jelas.
"Tapi Abi ngasih izin kalau Nabil nikah?"

"Sudah pasti. Lagian Abi juga udah buru-buru pengen Nabil ngasuh pesantren Umar, tapi keputusan ada di tangan Nabil sendiri. Kalau tiba-tiba berubah pikiran, aku bisa nikah. Tapi bicara nikah, bicara tentang jodoh ya, kan? Dan Nabil nggak tahu siapa jodoh Nabil. Agaknya masih blur, Mi." Tawa Nabil berderai lagi. Disusul Adam yang menikmati cerita keponakannya itu.

"Nikah kalau udah siap, Bil. Ammi nikah sama Ammah pun sebenarnya belum benar-benar siap waktu itu."

"Aku tahu dari Abi cerita Ammi Adam waktu dulu," kata Nabil.

"Begitu ya. Sebenarnya Abah juga nggak menekankan anak-anaknya untuk buru-buru menikah. Abi Usman lebih mementingkan pembentukan akhlaq dan menanamkan kepercayaan pentingnya mencari ilmu. Jadi, nggak usah tergesa-gesa. Kalau sudah waktunya, Allah akan mendekatkan yang jauh, mempertemukan yang hilang, membuka yang rahasia." Adam berkata bijak.

Nabil tersenyum. Adam memang sangat patut untuk dijadikan contoh.

🍬🍬

Setelah mandi dan menunaikan empat rakaat isya, laki-laki berhidung mancung itu keluar rumah memakai sarung hitam dan kaus maroon polos. Jalanan asrama terlihat sangat ramai oleh lalu lalang santri yang baru saja menyelesaikan ngaji kitab kuning.

Kali ini langkahnya terseret menuju komplek pusat An-Nadwah untuk menemui Kafa, adik kelasnya. Ralat, sebenarnya Kafa bukanlah adik kelas Nabil. Bahkan satu asrama pun tak pernah. Hanya saja, karena Kafa santri ndalem dan sangat dipercaya oleh Adam, menjadikan Kafa dekat dengan Nabil. Alasan utamanya mungkin karena dulu Nabil pernah menjadi juri Qiraatul kitab dan seketika ia suka dengan cara Kafa menaqribkan kitab dengan cerdas. Ia suka kecerdasan Kafa dalam membaca Tafsir Jalalain kala itu.

Kini, langkahnya sudah menuju ke dalam komplek. Lapangan yang terhampar di antara deretan kamar terlihat ramai oleh para santri yang sedang menambal beberapa halaman kitab yang kosong, makan senampan bersama dan ada juga yang hanya sekadar kumpul membahas anime, bola hingga santri putri. 

"Ada Kafa?" tanya Nabil pada salah satu santri yang baru saja turun dari tangga.

Santri berpakaian sarung serta baju koko putih itu tampak terkejut. Dia langsung menunduk sembari menaruh tangannya di depan, berusaha bersikap sopan, "Cak Kafa di luar, Gus. Ngawasin anak-anak yang kena ta'ziran," sahut santri itu.

"Keamanannya mana?" tanya Nabil.

"Bagi pelanggar yang sudah tujuh kali masuk keamanan, nanti langsung dihukum sama ketua pusat, Gus," jelasnya.

"Ah gitu. Makasih ya," ucap Nabil. Dia berbalik lalu langkahnya mulai terseret ke depan.

Lamat-lamat suara lalaran terdengar di telinga. Semakin dekat, bait-bait imrithi semakin terdengar kencang. Tak lama dari itu Nabil melihat beberapa santri putra yang sedang di depan gerbang asrama dan suara itu berasal dari sana. Nabil memutuskan duduk di depan kantor, memperhatikan mereka yang menikmati hukuman di tepi keramaian jalan raya.

"Kasirtu min misri ilal 'iraqi, wa ji'tu lil mahbubi bisytiyaq." Lalaran itu terdengar keras dari bibir-bibir santri putra yang sedang melaksanakan hukuman bercampur dengan deru mesin kendaraan yang lewat di tengah jalan.

Di depan mereka, sang ketua—Kafa—bolak-balik bak setrikaan sembari membawa bambu kecil yang sebenarnya tak pernah dilayangkan.

"Kalau besok nama-nama kalian tercatat telat ngaji lagi, lalarannya Alfiyah sampai selesai," ancam Kafa. Tatap tajamnya selalu berhasil membuat santri-santri di depannya langsung tertunduk.

"Dan jangan lupa nulis nadhom Jurmiyah dan dikumpulkan sama keamanan. Paling telat lusa. Kalau sampai ada yang terlambat, ditambah hafalan ihya," ancamnya lagi. Bukan sekadar ancaman, pasalnya Kafa memang tak pernah memberi toleransi pada kesalahan yang sudah jelas. Maka dari itu tingkat keamanan di asrama putra sangat terkendali.

"Sekarang boleh bubar."

Para santri langsung berbalik dan masuk ke komplek masing-masing, lalu disusul Kafa menutup gerbang pusat asrama.

"Kafa!" panggil Nabil dari depan kantor.

Setelah mengunci gemboknya, remaja itu menoleh. Tatapnya terkejut, sebelum akhirnya ia langsung mendekat ke arah Nabil.

"Gus, masya Allah kapan ke sini?" Kafa menyalami Nabil, lalu duduk di teras yang lebih ke bawah.

"Baru, Fa."

"Banyak perubahan, Gus. Nggak sabar mengikuti jejak Gus Nabil," ujar Kafa.

"Jejak waliyullah yang diikuti, Fa," balasnya.

"Eh, dulu itu kamu yang sering dihukum, sekarang kamu yang menghukum." Nabil tertawa kecil mengingat dulu Kafa sering dipanggil oleh keamanan karena rokok yang tak dapat ditahan.

"Masa lalu eh, Gus. Gus Nabil di sini lama, kan?"

"Mungkin seminggu, Fa."

"Cepet juga."

Nabil tersenyum. "Fa, belajar yang rajin. Saya tunggu kamu di sana. Kalaupun nanti saya sudah nggak di sana, kamu harus tetap ke Mesir."

Kafa mengangguk mantap. "Insya Allah. Doakan biar Allah memberi kemudahan, Gus."

"Selalu."

"Ah ya, Fa, saya mau ketemu seseorang di sini. Bagian keamanan putri siapa? Saya mau izin."

"Langsung aja, Gus. Nggak perlu izin," sahut Kafa.

Nabil sedikit sungkan. Karena bagaimanapun pesantren ini memiliki peraturan sendiri yang barangkali berbeda dengan peraturan ma'had-nya di Jakarta.

Dan pada seseorang yang hendak ditemui, ada beberapa hal yang ingin disampaikan. Nabil tak paham. Ia hanya mencoba mengaplikasikan rasa yang kerapkali tertahan alur semesta. Ia hanya berusaha berjalan bagaimana perasaan mengantarnya pada tujuan yang semakin tak jelas.

Hai halo, jumpa lagi huhu 😊😊

Untuk teman-teman yang masih membaca hingga part ini, terima kasih banyak. Untuk yang nggak sengaja nyasar, semoga betah juga ya 😊 Entah beberapa part lagi cerita ini akan ending, jadi ... nantikan terus kelanjutannya ya!
Bila ada kesalahan, jangan sungkan untuk menyampaikannya. Tentu dengan bahasa yang baik ^^

Jangan lupa untuk tinggalkan vote dan komentarnya teman-teman 😊

Sekian ^^

Salam | hallo_milkyway❤❤

Pict : Pinterest.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro