Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 14 || Calon Istri

Nun mati dan tanwin saat bertemu Ba bacaannya akan berubah, tetapi tidak dengan rasaku saat harus dipertemukan kembali denganmu.


Gadis berkaus putih serta bersarung jingga itu menyandarkan bahunya di lemari. Kamar seluas 7X7 terlihat sepi dari santri. Mulai hari ini Ayas sudah membulatkan tekadnya untuk menghafal. Beberapa bulan di pesantren sangat membantu mempelajari kalam-kalam Tuhan. Kali ini Salsa lah yang menjadi muhafizah untuk Ayas menyetor ayat-ayat yang sudah dihafal. Pada Dzat yang maha besar, ia hanya meminta untuk dipermudah segala lingkup perjalananya.

Usai ngaji Ta'lim Muta'alim setelah Isya, Ayas menyetorkan beberapa lembar Al-Baqoroh pada Salsa. Ayas benar-benar dapat mengingat dengan detail, terlebih Salsa memberi metode cara menghafal cepat pada Ayas yang pernah didapat saat di rumah quran dulu. Karena inti dari menghafal sebenarnya adalah mempertahankan.

Setelah beberapa menit setoran, gadis itu berjalan ke depan lemari, mengambil laptop dan beberapa buku mencari referensi untuk menyelesaikan tugas kuliah yang akan dikumpulkan minggu depan. Rasanya tak ada semalam pun waktu kosong sekadar istirahat selain berjibunnya tugas-tugas yang terus berdatangan. Kumpulan Organisasi yang tak sudah-sudah pun, perlahan membuatnya sedikit letih. Namun, ia berusaha untuk selalu meningkatkan nilainya agar namanya tidak dicabut dari daftar penerima beasiswa.

Ayas membuka laptop dan menekan tombol power untuk menyalakan. Perempuan itu tak sengaja menjatuhkan pandangannya pada gadis berjilbab ungu muda yang baru saja masuk ke kamar sembari membawa totebag putih. "Dari Fahmi." Tiara meletakkan totebag itu di depan Ayas tanpa mengatakan sepatah kata apa pun lagi.

Ayas terkesiap. Dipandangnya sekilas lalu beralih ke arah Tiara yang baru saja berbaring di atas ranjang.

"Makasih, Ra," ucap Ayas.

Tiara tak menggubris, dia membuka buku, lantas mulai membaca.

"Ra, aku boleh tanya sesuatu?" tanya Ayas pelan.

"Apa?" Tiara tak mengalihkan pandangannya dari buku Surat dari bawah Air milik Nizar Qabbani.

"Apa kamu punya unek-unek tentang aku? Atau kehadiran aku di sini, menganggu mungkin."

"Perasaan kamu aja kali." Suara Tiara terdengar semakin judes.

Ayas terdiam. Ia canggung untuk bertanya lebih dalam. Gadis itu mematikan kembali laptop miliknya, membuka isi tas dan dilihatnya ada apel, roti, susu kotak dan makanan ringan. Kening Ayas berkerut, tetapi untuk apa Fahmi memberikan semua ini padanya?

Ditutupnya kembali totebag itu dan melatakannya di depan lemari. Buru-buru ia berdiri meraih jilbab jingga dan keluar kamar untuk menyusul Silky yang sedang mengambil nasi di dapur.

Namun, saat langkahnya baru saja sampai di depan koridor kamar, ia mendapati dua gadis yang berjalan di seberang tepi lapangan.

"Ayas, sini makan di sini!" Silky melambaikan tangannya.

Ayas tersenyum, kemudian langsung menyeret langkahnya ke tengah lapangan dan duduk di sana bersama Silky dan Salsa. Di bawah bintang yang bertabur, mereka bertiga berkumpul sekadar menghilangkan penat dan lapar saat malam. Di depannya terdapat sepiring nasi dan tahu kecap jadwal lauk hari ini.

"Eh Yas, dapet udang krispi loh dari Wa Ici," ucap Salsa sembari mengeluarkan udang krispi dari plastik. Wak Ici adalah ibu paruh baya yang bertugas memasak di pondok.

"Kamu alergi nggak?" tanya Silky.

Ayas menggeleng, "Aku nggak punya alergi."

"Beda dong sama Salsa. Dia mah banyak banget alerginya."

"Ya, aku alergi sama cowok yang bilangnya suka tapi nggak kunjung ngajak nikah," desis Salsa.

"Padahal maksudku nggak ke sana," lirih Silky.

Ayas tertawa kecil.

"Ah, nggak sabar besok lauknya enak. Tapi daging ayam lagi." Salsa mulai mengunyah nasi sembari terus mengeluh.

"Kenapa nggak bilang Wa Ici khusus kamu daging buaya," timpal Ayas.

"Nggak gitu ya, Yas."

Setiap seminggu, hanya dua kali sore makan dengan lauk istimewa. Selebihnya mereka memakan dengan apa yang tumbuh di kebun. Seperti kacang panjang, sayur Asam, sayur lodeh, capcay dan kerupuk yang tak pernah tertinggal.

"Eh, aku mau nanya," ucap Ayas sembari mengambil potongan tahu kecap.

"Menurut kalian, Tiara itu bagaimana? Aku udah tiga bulan di sini dan kayaknya belum pernah ngobrol panjang sama Tiara. Atau sekadar tanya pun kayaknya nggak," tanya Ayas.

Silky dan Salsa menatap Ayas sebentar.

Silky mengunyah makanannya, lalu menelannya kemudian. "Tiara itu baik, Yas. Cuma agak jutek."

"Agak jutek? Dia itu jutek banget, Sil." Salsa menimpali. "Kamu tahu, aku akrab sama dia pas udah setengah tahun," lanjut Salsa.

"Tapi, tatapan dia itu beda. Apa dia benci sama aku?"

"Hust, nggak boleh suuzon," tegur Silky.

"Stop gosip ya kalian, intinya Tiara itu paling baik dan peduli. Untuk akrab atau nggaknya, cuma masalah waktu," Silky tersenyum.

"Ingat di dalam kitab Tanbihul Mughtarin, pada hari kiamat, tak sedikit manusia yang terkejut saat melihat catatan amalnya dikarenakan ada banyak pahala ibadah yang tak pernah dikerjakannya. Mereka bertanya, "Wahai Rabbi, dari mana pahala-pahala ini berasal?" Jawab Allah, "Itu adalah pahala orang-orang yang mengumpatmu. Tanpa kau sadari, dialihkan (ke timbangan kebaikanmu).

"Nanti pahala Salsa pindah ke Tiara lho." Silky menggoda.

"Ish, nggak mau ya." Salsa mengercutkan bibirnya.

"Berarti nanti dia panen pahala ya, Sil?" tanya Ayas.

Silky mengangguk. "Ya, betul sekali. Bisa jadi ketua ma'had juga panen pahala. Soalnya santri-santri ada aja yang ngumpat kalau dikasih hukuman." Dia tertawa.

Ayas tersenyum, melanjutkan makannya, begitupun dengan Salsa. Ah, personalitas memang seringkali menciptakan praduga. Ayas tak tahu bagaimana sikap Tiara yang sebenarnya, tetapi ia sudah berusaha memaafkan tentang kejadian awal. Membenci hanya akan membuat hatinya sempit.

"Oh iya, kalau kalian mau makanan ambil di tas ya. Di sana banyak kue dan buah-buahan," ucap Ayas pada Salsa dan Silky.

"Dari siapa, Yas?" tanya Salsa.

"Fahmi."

"Yas, Fahmi itu suka sama kamu?" tanya Salsa.

"Dulu." Singkat jawaban Ayas.

"Setelah putus, kamu pernah pacaran lagi?" tanya Salsa lagi.

Ayas menggeleng. "Nggak. Sebenarnya aku memang nggak tertarik dengan hubungan yang mengekang. Cuma entah udah beberapa kali Fahmi mengungkapkan perasannya, jadi aku nggak enakan, akhirnya aku terima aja."

"Terus ... terus, gimana lagi, Yas?"

"Salsa, udah ish. Kamu ni kepo banget. Itu kan privasi Ayas," tegur Silky.

"Emang kepo. Soalnya sekarang kayaknya Ayas lebih suka Gus Nabil." Salsa tertawa.

Ayas terhenyak. Bagaimana mungkin Salsa mengatakan hal seperti itu di depan Silky yang notabennya tunangan Nabil, "Nggak lah. Bagai langit dan bumi," balas Ayas.

Dalam hening, Ayas berpikir tentang Silky. Pasalnya dia tak pernah sekalipun menyinggung tentang Nabil. Bukannya dari pertama kali bertemu Nabil mengaku bahwa Silky adalah tunangannya. Namun, Ayas memang tak pernah bertanya pada Silky. Ia paling tak suka ikut campur privasi orang lain.

"Ace!" panggil Silky pada anak kecil laki-laki berusia sekitar empat tahunan yang baru saja masuk ke asrama.

Anak kecil itu menoleh. Detik berikutnya ia berlari ke arah Silky, "Mbak Silky main yuk. Mas Kafa nggak mau diajakin main sama Ace."

"Mas Kafa lagi belajar mungkin, Sayang." Silky memangku anak itu.

Raut wajah Silky tampak terkejut saat melihat tampilan layar di gawai yang dipegang Ace. "Ace, lagi video call-an sama Gus Nabil?"

Ace mengangguk. "Ammi, ini ada Mbak Silky. Jangan belajar aja, mau jadi wali?"

Di tampilan layar, Nabil yang sedang berkutat dengan muqarar tampak tertawa. Rambut gondrongnya terlihat acak-acakan meski begitu ia masih terlihat sangat tampan. "Sil, nggak ngaji?" tanya Nabil.

"Udah selesai, Gus."

"Gus video call sama siapa?" teriak seseorang.

"Calon istri," sahut Nabil seraya tersenyum.

Ayas terhenyak. Ternyata Nabil bisa terlihat sebahagia itu saat bertatapan dengan Silky. Ah, semakin ke sini jarak semakin terlihat jelas.

"Eh Silky ya!" Tiba-tiba seseorang menggeser tempat Nabil dan duduk di sebelahnya.

"Dek, bilangin sama temenmu kalau ngetik di sosial media dijaga. Kayak nggak punya adab. Malu-maluin Nadwatul Ummah," ujar Hadi.

Silky menautkan alisnya tak paham. "Siapa Mas?"

"Tsanisa. Kalau sampai besok nggak ngaku juga nanti saya lapor Gus Adam ya."

"Di sini nggak ada yang namanya Tsanisa."

"Udah Sil, jangan dengerin Hadi. Belajar aja yang rajin. Jangan banyak pikiran ntar sakit."

Ayas terdiam. Kalau sama aku boro-boro digituin. Sabar, Yas. Mundur pelan-pelan. Batinnya.

"Ace, ponselnya kasihkan lagi ke Ammi Adam, dong. Ammi pengen ngobrol."

"Iya, Mi." Ace langsung bangkit lalu berlari meninggalkan mereka.

Hening.

"Ayas, besok pulang kuliah jam berapa?" tanya Silky berusaha memecahkan keheningan.

"Mungkin sore. Soalnya besok ada tiga matkul."

"Nanti bisa anterin aku ke panti, kan?"

"Panti?"

"Iya, nanti kita beli beberapa buku dan ambil pakaian terus kita ke panti Gubuk Harapan."

Ayas tersenyum. "Kalau gitu aku usahain bakal pulang lebih cepat. Aku nggak sabar pengen ke sana."

Mungkin sudah menjadi tradisi rutinan untuk memeberi bantuan pada panti-panti, dan malam ini Ayas merasa senang karena bagaimana pun besok adalah hari pertama dirinya mengunjungi sebuah rumah harapan itu.

Part-nya datar banget, ya. Sedatar kisah cinta Fahmi. Tapi nggak papa baca terus ya nanti akan ada kejutan!

Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik dan jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya kakak-kakak yang baik 😊

Salam | hallo_milkyway

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro