Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 12 || Perdebatan

Amil nawasib dan amil jawazim itu masuk pada fiil mudhari', tetapi ironisnya tidak dengan hatiku yang selalu gagal saat mencoba mengetuk samudramu.


Puan, mengingatmu adalah cara mendokumentasikan rasa
Mengagumimu, proses mencintai semesta
Menemuimu, perkara jatuh cinta
Merindukanmu bak sembilu yang bermetamorfosa

Kerapkali nada kerinduan mengalun begitu saja Menutup masa lalu dan mewarnai keping rasa
Kepiluan menari tanpa mengingat waktu senja
Mengawali segala duka melalui bait aksara

Puan, bagai hulu yang mengalir di mataku
Layaknya ombak berdebur setiap waktu
Seperti rasa manis dalam madu
Seperti aliran ritme bernada syahdu

Angin telah berembus menyampaikan doa Keimanan telah sampai pada maqam renjana
Ikhtiarku telah berbalas perpisahan dan lara
Menyambut pilu, berjihad melawan rasa yang kembali menyapa.

Di perpustakaan fakultas yang sepi, Ayas menutup note book kecil bergambar Real Madrid milik "Muhammad Ali Fahmi" yang ditemukannya di atas meja. Dia tak mengerti mengapa buku kecil itu nyasar sejauh ini. Napasnya terembus pelan setelah berpindah memegang mushaf biru miliknya. Desau angin mengisi kekosongan di antara logika yang tak lagi seirama.

Waktu seakan cepat bergulir. Sudah sekitar dua puluh lima hari, Ayas belum juga menemui Zee di kampus. Ada banyak yang ingin disampaikan tentang perkara yang belum dijelaskan.

Dibukanya surat An-Najm. Berada di kelas atau bertemu Fahmi untuk saat ini bukanlah opsi. Memang rasanya sudah lama tak berbincang, namun begitulah yang diputuskan untuk sementara waktu. Satu-satunya tempat bercurah yang paling aman hanya Dzat yang maha mendengar. Dzat yang tak akan pernah ingkar.

Gadis itu mulai membaca surat yang diturunkan di Makkah itu, pelan. Belajar Islam di pesantren membuatnya berkembang cepat dan Ayas mulai menyukai kegiatan yang melelahkan ini.

Mualaf memang lebih baiknya belajar di pesantren, Yas. Biar jangan sampai salah memilih guru. Itu ucapan Silky beberapa hari lalu.

Andai tanpa harus melewati banyaknya ujian, mungkin perempuan itu akan lebih betah untuk tinggal dan mendalami banyak ilmu di asrama.

"Ayas," sapa seseorang.

Perempuan itu mendongak. Pandangannya terjatuh pada gadis bergamis biru serta berjilbab cerulean yang baru saja tiba di depannya sembari memeluk mushaf. Silky tersenyum lalu duduk di depan Ayas. "Ayas mau mulai menghafal quran? Bacaan kamu udah lancar, loh. Nanti pelan-pelan pasti bisa mahir," ujar Silky.

Kedua mata Ayas menyipit, "Menghafal? Seluruh isi kitab ini dihafal?" Tatapannya tampak tak percaya.

Silky mengangguk. "Kamu tahu, anak yang menghafal alquran, kelak saat kiamat akan memakaikan mahkota untuk orang tuanya."

Ayas terdiam. Ia berpikir sebentar. "Silky juga hafal? Apa itu wajib? Bukannya katamu pesantren ini salaf," tanya Ayas beruntun.

Silky menggeleng. "Aku masih proses, Yas. Doakan. Benar, ini salaf dan kewajiban di sini menghafal syair-syair bahasa Arab seperti Jurmiyah dan Alfiyah. Tapi ada beberapa santri nyambi hafal juga. Kayak aku dan Salsa misalnya. Nggak semua orang muslim menghafal quran, tapi siapa sih yang nggak mau jadi hafiz atau hafizah."

"Tapi, Sil—"

"Nggak usah terlalu mikirin. Hafalkan yang pendek-pendek dulu aja, ya. Saat seseorang memilih jalan sebagai penghafal quran, maka ia memilih pekerjaan seumur hidup, pekerjaan murajaah yang tak bisa terhenti. Tak ada waktu istirahat untuknya selama masih di dunia, Yas. Itulah tugas berat seorang penghafal," jelas Silky.

Silky memperhatikan Ayas yang tampak berpikir. Gadis di depannya itu memiliki mata yang indah, hidung mancung, bibir ranum yang terlihat manis dan paling menonjol pemikirannya yang cerdas. Bahkan sepertinya wajar bila Fahmi tak bisa melupa. Namun, kehidupan tak ada yang kamil. Ayas diberi fisik yang nyaris sempurna tetapi jalan hidup tak seelok rupanya.

Gadis itu menempuh banyak ujian dan perjalanan yang cukup rumit.

"Aku ke kelas dulu, Yas. Bentar lagi Dosen datang." Silky berdiri.

Ayas mengangguk seraya tersenyum. Pada Silky yang mulai pergi, Ayas menatap sileutnya. Tutur katanya yang lembut, maka wajar bila tahun lalu, katanya Silky menjadi mahasantri teladan.

Perempuan itu berganti membuka surat An-Naba, lalu meletakkan kepalanya di atas meja seraya mengingat beberapa ayat yang sudah mulai dihafal.

"Gue cari lo ke mana-mana, ternyata di sini." Seseorang menyodorkan milkshake rasa cokelat ke atas meja.

Ayas kembali mendongak. Ia mendapati sosok Zee yang baru saja duduk di depannya, menggantikan Silky. "Nomormu kenapa nggak pernah aktif?" tanya Ayas.

"Ganti. Yang lama kena blokir," sahut Zee.

"Zee, kamu tahu nggak kalau cowokmu itu psycho?" Ayas langsung menyedot Milkshake miliknya. Pada Zee, Ayas memang selalu to the point.

"Maksud lo?" tanya Zee.

"Kamu tahu, apa yang kekasihmu lakukan saat itu ke aku?" Suara Ayas sedikit keras.

"Coba ceritakan, gue nggak paham."

Ayas mengembuskan napas kasar. Dia meletakkan kembali minumannya di meja. "Zee, cowokmu itu mau ambil keperawananku dan nyaris bunuh aku. Kamu terlalu baik buat dia. Dan ada satu hal yang mau aku tanyakan sama kamu, apa bener kamu yang menjebak aku?"

"Jebak? Pertanyaan menjijikan kayak gitu masih lo tanyakan sama seseorang yang udah bersahabat 14 tahun sama lo? Astaga Ayas, kalau gue nyakitin lo sama aja gue nyakitin diri gue sendiri." Suara Zee langsung meninggi, ia tampak tak terima.

Dari awal, Ayas memang tak percaya bahwa Zee berencana menjebak. Laki-laki itu pasti hanya mengada-ada. Pasalnya keadaan yang sedikit mabuk memang patut dicurigai.

"Oke ... oke, aku percaya. Tapi aku kasih tahu bahwa kekasihmu itu kurang ajar. Lebih baik kamu putuskan dan cari yang lebih baik," pinta Ayas.

"Cuma gara-gara itu, lo mau gue putus sama dia? Nggak semudah itu, Yas. Kita berdua saling mencintai."

"Berapa banyak hal yang sebelumnya kamu nggak tahu tentang dia? Apa kamu nggak curiga sama gerak-geriknya?" Sebelah alis Ayas terangkat.

"Yas, jangan cuma karena lo ketemu dia dua kali, lantas bisa seenaknya nilai dia," sergah Zee.

"Lo ingat, kalau gue bukan tipe orang yang nggak mudah berteman sama siapa pun. Lo dan Fahmi adalah sahabat yang gue punya, Yas. Tapi setelah lo pergi dan Fahmi memutuskan untuk tinggal di ma'had, siapa yang waktu itu ada buat gue? Dia. Cuma dia. Waktu gue susah, gue sedih, gue sendirian, siapa yang hadir? Bukan lo ataupun Fahmi, kan? Dan lagian, Fahmi hanya peduli sama lo.

"Andai waktu itu lo yang meminta Fahmi buat jangan pernah tinggal di asrama, mungkin dia bakal nurut. Tapi sayangnya yang minta itu gue. Bukan lo."

"Zee, kontrol emosi kamu. Bukannya kita dituntut untuk sama-sama pengertian? Aku pindah SMA karena banyak hal yang mengecewakan kala itu—"

"Ya, karena hubungan lo dan Fahmi kandas, kan?" sinis Zee.

"Lebih dari itu ada banyak hal yang nggak kamu tahu. Zee, kita udah sama-sama lagi, kan sekarang? Kenapa masih berbicara tentang masa lalu? Kita bukan lagi anak SMA yang egois, kita harus sama-sama mengerti," tegas Ayas.

"Oke, gue nggak akan mengungkit masalah itu lagi, asal lo jangan pernah nyuruh gue pisah sama Kevin," tandas Zee.

Ayas mendengkus. Apa dia harus mengungkapkan apa yang pria itu katakan tentang fakta yang harus Zee ketahui. Bagaimana mungkin dia berpacaran dengan Zee hanya karena dia teman Ayas.

Tapi Ayas takut bila nanti Zee membencinya hanya karena laki-laki itu. Ayas tak mau bila persahabatan mereka hancur begitu saja. Ayas tak mau bila nanti Zee kecewa dibuatnya. Bahkan sepertinya, Zee memang sudah benar-benar kecewa untuk saat ini.

"Baik kalau begitu, yang terpenting aku udah nyaranin kamu." Ayas bangkit sembari membawa serta milkshake dan note book milik Fahmi.

Langkah kakinya terseret keluar meninggalkan Zee yang masih terdiam di perpustakaan. Dari dulu mereka berdua memang sering bersebrangan dan Fahmi akan hadir untuk merelai. Namun, sekarang Ayas harus mengalah. Bila dia tak pergi, maka perdebatan mereka tak akan pernah terhenti.

Pada langkahnya yang menjauh, ia berdoa agar suatu saat nanti Zee sadar tentang betapa banyaknya manusia bertopeng yang mendekati mereka.

🍬🍬

Perjalanan demi perjalanan yang ditempuh seakan memiliki banyak rintangan pada setiap sudutnya. Seolah membawa Ayas pada dimensi yang tak terjangkau. Di sana ada banyak substansi menduri  yang harus dinikmati dan tak bisa dihindari, tetapi asal Allah tak marah padanya, ia berusaha akan menerima bagaimana pun nasibnya di dunia.

Ayas mengingat salah satu syair Rumi, suatu hari, deritamu akan menjadi penyembuhmu. Ayas hanya berharap bahwa Allah selalu bersedia merawat luka-lukanya hari ini, esok hari dan selamanya.

Toh dia hanya perlu berjuang sebentar. Hingga hari ini saja. Ia tidak tahu kapan Allah akan menjemputnya pulang. Jika esok, maka ia hanya berjuang sampai esok. Bila lima menit lagi, maka dia hanya berjuang hingga lima menit ke depan. Dan sesungguhnya Allah mendekap hamba-Nya yang bersabar dalam ujian.


Hai halo akhirnya apdet lagi :)

Terima kasih untuk kalian yang masih bertahan baca sampai saat ini ^^ Bila ada kesalahan sila sampaikan dengan baik, ya :)

Jangan lupa vote dan komen, karena diakhir nanti akan ada give away bagi yang selalu aktif komentar disetiap cerita SWP gen 3 huhu ...

Salam | hallo_milkyway ❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro