Bab 11 || Di balik kegelapan
Lembaran-lembaran kehidupanku lebih gelap dari malam, lebih mencekam dari kesepian, lebih menyedihkan dari perginya seorang kekasih.
"Lo tau nggak, kenapa gue pacaran sama Zee? Karena gue tahu dia punya temen yang cantik kayak lo. Jadi sebelum gue balik, malam ini kita tidur di sini. Atau lo mau nginep di hotel?" Kevin menyeringai. Dia benar-benar tak tahu diri.
"Dan asal lo tahu, Yas, sebenarnya yang minta lo ke sini itu Zee. Mau jebak lo. Tapi daripada lo dimanfaatkan sama orang lain, mending sama gue." Lanjutnya.
"Nggak mungkin. Zee itu baik," sergah Ayas.
Gadis itu tak bisa melakukan apa-apa. Tubuhnya sudah tergencet ke tembok dan tak akan pernah bisa kabur bila tidak melawan. Namun, berkali-kali berusaha menciptakan perlawanan, maka pergerakan Kevin akan semakin menjadi. Bagaimanapun, tenaganya tak bisa menandingi tenaga milik laki-laki itu.
Ayas menahan napas. Dalam cemas, dia meminta pertolongan pada Dzat maha esa. Dia menyebut nama Tuhan yang tak pernah mengingkari janji. Dia menyebut nama Tuhan yang memiliki sifat Rahman dan Rahim yang tak akan pernah pergi.
"Dasar sampah," desis Ayas.
"Apa lo bilang? Sekali lagi lo katakan, malam ini juga lo nggak akan balik dengan selamat. Dan denger sekali lagi nggak usah sok jual mahal. Lo itu cewek murahan yang gampangan, mau gue bayar berapa? Lo butuh duit, kan?"
Netra hijau itu terpejam sebentar. Kedua tangannya mengepal menahan amarah. Keringat dingin tak berhenti mengucur. Jantungnya semakin cepat berdetak. Napasnya mulai berembus tak karuan menahan cemas.
Kedua matanya kembali terbuka saat baru saja mendapat kekuatan. Gadis itu menendang tulang kering Kevin sehingga laki-laki itu mundur kesakitan. "Gila lo, ya!" umpatnya.
Ayas segera meraih kunci yang terjatuh ke bawah, dengan segera dia memasukkannya ke lubang pintu. Sesekali ia menoleh ke belakang, karena risau yang sudah memenuhi pikirannya.
Praakk ....
Sebuah botol vodka mendarat dan pecah tepat di sebelah kakinya. Percikan larutan vodka mengenai sepatu. Serpihan-serpihan beling terhampar di dekatnya. Sedangkan pintu belum juga terbuka.
"Jangan kabur lo!" teriak Kevin.
"Woi berisik! Ganggu tidur gue aja, sih." Seorang pria berkaus hitam polos serta levis baru saja keluar dari balik kamar. Air wajahnya tampak marah saat melihat Kevin yang mencoba berdiri.
"Cepet lo pergi!" pintanya pada Ayas.
Perempuan itu terbelalak sempurna, Ayas terkejut dengan kehadiran yang tiba-tiba. Siapa dia? Sejak kapan dia di sini?
"Jangan pergi!" Kevin berusaha bangkit.
"Jangan cari masalah. Besok lo harus balik, kalau nggak, gue bakal lapor polisi. Jangan cari ribut di kota orang," ancamnya.
Ayas tak mengerti. Namun, kali ini adalah kesempatan untuknya berlari. Gadis itu mengulang memasukkan kunci dalam lubang pintu, sebelum akhirnya pintu terbuka. Ayas langsung berlari kecil menelusuri sempitnya gang ditemani umpatan-umpatan dari mulut Kevin yang tertahan di dalam sanggar.
Di antara gelapnya jalan setapak, gadis itu berlari tak peduli pada napasnya yang sudah tak beraturan. Ritme langkahnya terdengar keras memecah kegelapan mencari jalan keluar sembari terus bersalawat melawan rasa gemetar.
Seketika terlihat kilat yang memancar singkat menerangi sekitar antara gang sempit. Jantungnya langsung berdetak cepat. Rasa takutnya kian bertambah. Beberapa detik kemudian suara petir menggelegar kencang dan saat itu pula kristal bening meluncur dari kedua netra hijaunya. Rasa panik langsung menyerang. Ia bingung hendak ke mana. Bayang hitam masa lalu muncul memenuhi memori. Gadis itu ingin berteriak. Ia tak tahan dengan ketakutannya yang berlebihan.
Saat sudah sampai jalan raya yang tak seramai biasa, pandangannya terjatuh pada bangunan berkubah. Pada puncak menaranya terdapat lafaz Allah. Gadis itu berlari ke sana menembus gerimis yang mulai berjatuhan. Langkah kakinya terserat cepat. Sepatunya dilepas saat sampai di teras, sebelum akhirnya ia masuk ke dalam masjid yang sepi dan duduk di sudut menenggelamkan wajahnya di lutut yang tertekuk.
Kenapa hujan selalu membawa berita buruk bagi Ayas? Gadis itu takut saat rinai mulai turun dengan deras. Perasaannya mulai cemas saat aroma patrikor mulai mengganggu indera penciuman. Kedua tangannya menutup telinga rapat-rapat berusaha menghindari suara petir di luar sana. Bayangan hitam itu kembali melintas tak bisa dielakkan. Lima belas tahun lalu, ayahnya kecelakaan dan meninggal tepat saat hujan.
Di bawah derasnya air yang turun membasahi tanah, Ayas kecil melihat laki-laki 30 tahun berlumuran darah. Tulang-tulangnya hancur, serta beberapa anggota tubuhnya terpental karena kecelakaan yang besar. Hujan membuat darah pria itu semakin tersebar luas tanpa belas kasihan.
Setelah kejadian itu, ia tak pernah sekalipun menolehkan kepalanya ke arah jendela saat hujan turun. Dia bersembunyi menuhankan ketakutan dalam pikiran.
"Ayas, ayo kita nyusul papa, Nak. Bukannya kita ingin selalu bersama papa," ajak Nia saat keranda mulai dibawa menuju pemakaman.
"Jangan, Mah. Ayas nggak punya siapa-siapa selain mama."
Sesak. Hujan selalu menjadi pengingat terbaik rasa perihnya. Dan malam ini kejadian buruk kembali datang. Tepat saat hujan. Seseorang hendak mengambil keprawanannya dan ia bersyukur saat Allah memberinya pertolongan sebuah kekuatan untuk berlari. Kedua ketakutan itu bercampur menjadi satu dalam kesendirian yang Ayas rasakan saat ini.
🍬🍬
Dua puluh menit kemudian, hujan mulai berhenti berganti gemercik gerimis. Gadis itu ingin kembali ke asrama, tetapi rasa takut berhasil menahannya untuk tetap berada di sana. Bibir ranumnya tak henti-henti bersalawat berusaha menenangkan hati.
Ayas merogoh saku hoodie saat merasakan getaran dari ponsel. Kepalanya terangkat sedikit dan langsung menekan tombol hijau tanpa melihat nama yang memanggil.
"Halo," sapa Ayas.
"Suara kamu kenapa, Yas? Kamu di mana?" tanya seseorang di seberang sana.
Ayas terkejut saat mendengar suara bariton yang khas "Kak Nabil," lirihnya.
"Kamu kenapa?"
"A-aku nggak papa—" Ayas gugup.
"Kamu di mana?"
"Aku di luar," sahut Ayas lemah.
"Kamu kenapa?" Nabil kembali bertanya.
Ayas terdiam. Ia malu bila harus menceritakan kejadiannya pada Nabil.
"Kamu kenapa?" tanya Nabil lagi.
Ayas masih tak menjawab.
"Yas, kamu dengar saya? Kamu kenapa?" Lagi-lagi pertanyaan itu terulang.
"Aku diminta seseorang untuk mengikuti model Fashion Week akhir bulan nanti dan aku mengiyakan karena aku rasa bayarannya bisa sedikit mengganti uang Kakak. Tapi waktu aku datang ke sanggarnya dia malah memaksa aku untuk di-body painting. Aku menolak dan dia mengancamku dengan memaksanya untuk–"
"Jangan dilanjutin lagi," tegas Nabil.
"Ayas, dengarkan saya. Pertama, saya nggak pernah meminta kamu untuk mengganti uang saya. Kedua, ammi Adam nggak akan ridho kalau kamu ikut acara itu. Ketiga, Yas jangan lagi keluar asrama saat malem-malem kalau nggak ada tugas yang urgent. Saya yang memasukkan kamu ke asrama dan kamu tahu bahwa saya harus bertanggung jawab? Lagian sejak kapan sih ada perubahan peraturan di asrama yang membolehkan santrinya keluar malam." Nabil menjawab panjang lebar.
"Sekarang kamu bisa pulang?" Suaranya kembali dingin.
"Aku takut. Di luar masih gerimis," sahut Ayas.
Nabil terdengar berdecak. "Oh gitu. Ya udah, jangan tutup sambungannya biar saya bisa nemenin kamu," ungkap Nabil.
Ayas tersenyum kecil saat Nabil kembali memberi perhatian untuknya. Namun, nyatanya Nabil bersikap seperti itu hanya karena dia lah yang memberi jalan Ayas masuk ke ma'had dan mau tak mau Nabil memang harus bertanggung jawab untuk perkembangan keislaman Ayas. Sampai kapanpun rotasi mereka tak akan pernah sampai.
Ayas hanya debu dan perjumpaan dengan Nabil bagai pertemuan bulan dan mentari di waktu yang sama. Mulai sekarang dia memang perlu belajar lebih giat untuk jangan pernah berharap dan menginginkan Nabil lagi. Ayas tahu bahwa Allah sudah menuliskan nama seseorang untuk menjadi imamnya kelak. Meski Nabil bukan jodohnya, dia hanya berdoa agar nanti tak jatuh hati pada laki-laki yang salah.
🍬🍬
Salsa menggeram saat menyimak cerita Ayas tengah malam. Bersama Silky, mereka berdua merasa iba pada hal yang menimpa sahabatnya. Di tengah gelap kamar Alexandria, sesekali bulir bening meluncur dari kedua matanya. Lagi-lagi ia mengingkari janji untuk tak pernah menangis lagi.
"Yas, aku bener-bener minta maaf sama kamu. Aku nggak tahu kalau kakakku akan berbuat kelewatan. Yang aku tahu Mas Kevin itu baik dan–"
"Udahlah, Sa, toh udah kejadian. Ini bukan salah kamu," lirih Ayas.
"Menurutku, Yas, untuk kali ini nggak perlu menerima tawaran-tawaran kayak gitu lagi. Selama asrama dan Gus Nabil masih ngasih jaminan sama kamu, ambil yang ada dulu. Sebentar lagi pengumuman beasiswa akan keluar dan aku yakin kalau nama kamu masuk," ucap Silky, lembut.
Ayas mengangguk pelan.
"Kata Rumi, Yas, derita akan menimpa setiap manusia, bagaimanapun keadaannya. Sebab ketika seseorang tidak menderita, tidak gila, dan tidak merindu, niscaya ia tak akan pernah sampai kepada-Nya. Keindahan tidak akan bisa didapat dengan mudah dan dengan tanpa adanya derita. Sabar, Yas. Semua akan diadili." ujar Silky.
"Sekarang ayo tidur, jam tiga nanti tahajud berjamaah." Lanjutnya.
Setelah Silky dan Salsa kembali ke kasurnya masing-masing, tersisa Ayas yang masih duduk di ranjang sembari menenggelamkan wajahnya pada lutut yang tertekuk. Musibah beberapa jam lalu masih terekam jelas. Tentang rasa yang sudah berkali-kali kecewa, pada harapan yang selalu patah, rasanya tak ada lagi jawaban dalam setiap persoalan yang diajukan.
Allah, apakah aku mampu untuk berjuang lebih lama lagi? Kedamaian seakan tak pernah berpihak, kesulitan seakan menjadi teman yang enggan meninggalkan. Allah apakah masih tersisa kekuatan-kekuatan di antara rapuhnya jiwa, apakah masih ada kesabaran dalam relung terdalam.
Aku tak dapat melihat cahaya di depan dan aku tak dapat melihat asa dalam benua yang berbeda. Dengan menyebut nama Allah aku berusaha pasrah mengikuti kehendak-Mu rabbi. Asalkan Kau tak murka padaku, aku akan menerima nasibku di dunia.
Halo, apdet lagi ni :)
Makin ke sini makin absurd? 😅
Tapi makasih ya, yang masih baca sampai sini ^^ huhu ....
Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar. Bila ada kesalahan sila sampaikan, ya 😊
Salam || hallo_milkyway ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro