Bab 10 || Sanggar Kosong
Merindukanmu adalah ibadah paling istiqomah yang enggan kutinggalkan. Sebab, ketika memilih berserah melupakanmu aku harus berjihad melawan ketidakmampuan dan keputusasaan yang berakhir kekosongan.
Usai salat magrib, beberapa mahasiswi kembali ke asrama sedang sebagian lain lebih memilih tinggal di masjid sembari menunggu salat isya. Alunan ayat-ayat Tuhan terdengar menyapu telinga bersamaan dengan syahdu embusan udara malam di gang-gang kota Jogja.
Setelah menyetorkan surat Al-alaq pada Silky, Ayas kembali membaca kitab suci sembari bersandar di depan lemari. Di dalam kamar tak ada siapa-siapa kecuali dia seorang diri. Terdengar bacaan kitabnya yang mulai lancar, mengeja hijaiyah pun telah fasih dan mampu menghafal 28 huruf tanpa perlu melihat lagi.
Menyaksikan kepribadiannya seakan wajar bila perempuan itu berkembang sangat cepat. Ayas memiliki otak cerdas dan daya hafal kuat, sehingga dapat menampung pelajaran-pelajaran baru yang kemudian tersimpan dalam memori ingatan.
Saat masih sekolah, Ayas jarang belajar selain hanya membaca buku-buku Filsafat, fantasi, Astronomi, sejarah Indonesia di beberapa buku yang tak diajarkan oleh sekolah dan novel-novel yang ditulis Lisa Kleypas, Julia Quinn, Julie Garwood dan beberapa penulis luar negeri yang kualitasnya sudah tak diragukan. Namun, ia tak pernah tahu mengapa nilainya selalu berada di posisi paling atas mengalahkan Fahmi yang saat itu insomnia demi matematika.
"Yas, aku pinjem hp dong buat chat mama. Hp-ku mati," ucap Salsa yang baru saja masuk ke kamar.
Ayas menoleh. "Di atas lemari, Sa. Ambil aja," sahut Ayas.
Salsa segera mengambil gawai milik Ayas, sedang perempuam itu kembali membaca Alquran dan sesekali menghafal surat-surat dari juz tiga puluh yang harus disetornya esok nanti.
Di Nadwatul Ummah, ada banyak sekali yang harus Ayas pahami dan mengerti. Ada banyak kitab-kitab yang belum dikaji. Tafsir, Hadist, Fiqih, Ilmu alat, balaghoh, akhlaq, Tasawuf, Sirah Nabawi dan lain-lain. Ia merasa sangat bodoh saat mengetahui posisinya yang masih tertinggal jauh. Kendati demikian, ia bersyukur telah ditempatkan pada tempat yang benar. Mengenal agama cinta dan praktik kedamaian di sini. Bukannya merasa lelah karena melakukan hal yang kita sukai adalah kenikmatan yang benar?
Sebenarnya, saat di kampus Ayas tak ingin membuang banyak waktu selain untuk belajar, tetapi nahasnya segala ujian yang dilalui menelannya dalam kepahitan. Jiwanya terseret 'tuk memikirkan, seakan semesta memintanya meluangkan waktu untuk menyalurkan kekecewaan.
"Yas, ini fotomu sama Gus Nabil?" Salsa tampak terkejut saat melihatkan potret laki-laki dan perempuan di depan gereja Hagia Sophia, Turki.
Laki-laki itu menggunakan celana hitam, hoodie abu dan beanie yang menutupi sebagian rambut gondrongnya, sedang di sebelahnya ada Ayas yang memakai celana levis hitam dan sweater moka. Keduanya berdiri bersebalahan, tersenyum bak sepasang kekasih.
Ayas terkesiap, tangannya refleks mengambil alih gawai yang tadi dipegang Salsa. "Sa, bukannya galeri seseorang itu privasi." Ia segera mematikan ponselnya.
"Yas, tenang. Aku Salsa. Aku nggak akan nyebarin itu. Tapi yang mau aku tanyain, kamu dan Kak Nabil ada hubungan?" Salsa berbisik.
Ayas menggeleng cepet, "Nggak ada, Sa. Kamu nggak tahu, kan, gimana dia sebenarnya? Cuek. Dinginnya nggak kira-kira. Foto itu ada karena aku yang membujuknya," bisik Ayas. Dia hanya tak mau bila Salsa berprasangka buruk padanya.
"Nggak usah tegang, Yas. Selagi kalian nggak ada ikatan, semua akan baik-baik aja," ujar Salsa. "Ah ya, aku ke kamar mandi dulu, sabun cuci mukaku ketinggalan." Salsa bangkit lantas keluar kamar meninggalkan Ayas sendirian.
Diloloskannya napas lega. Perempuan itu menyalakan kembali ponsel dan menatap potret tadi. Benar. Semua atas permintaan Ayas. Entah kenapa saat itu sayang rasanya bila Ayas pulang tanpa membawa sedikit pun kenangan. Akhirnya, ia membujuk Nabil selama 30 menit hingga kemaun Ayas diaminkan olehnya.
Perempuan itu beralih untuk membuka aplikasi tukar chat. Ditekannya nama Nabil saat sudah beberapa hari tak melakukan obrolan.
Ayas
Kak, lagi di kampus?
13.21
Nabil
Ya
22.01
Ayas
Kakak kapan pulang ke Indonesia?
22.02 Read.
Ternyata Silky banget ya, Kak. Pinter lagi. Aku bersyukur bisa ketemu Silky di sini.
07.30
Nabil
Iya
13.23
Ayas
Kakak kenal Silky sejak kapan?
13.24
Nabil
Lupa
01.59
Ayas selalu membalas secepatnya, sedang Nabil membalas sesempatnya. Terdengar helaan napas panjang. Mustahil rasanya dengan beberapa rumor bahwa mereka memiliki ikatan. Baik sekarang atau pun kelak. Nabil bukan diciptakan untuknya, kepedulian Nabil sebatas habluminannas belaka dan yang lebih penting, Ayas memang tak akan pantas bersanding dengan seseorang yang nasabnya sangat dihormati.
Namun, Kak, kenapa kita tak sama-sama berdoa merayu Tuhan dengan mengatakan, "kami adalah takdir-Mu. Maka persatukan kami bagai angin dan embusannya."
Kosong. Harapan itu hanya ekspektasi belaka.
Berdoalah, Yas, sepanjang malam. Meminjam namanya untuk didiskusikan dalam sepertiga malam, hingga akhirnya kau tahu bahwa dia pun berdoa untuk seseorang dan itu bukan kamu.
🍬🍬
Gadis yang sudah memakai rok hitam serta hoodie putih over size itu menyapukan sedikit lipstik nude pada bibir merah muda miliknya. Disemprotkan baby cologne favorit di beberapa titik pakaian yang dikenakan. Setelah membenarkan letak scraft, dicangklongnya ransel dan pergi keluar asrama.
Ia sudah meminta izin pada pengasuhan bahwa akan keluar malam ini untuk mengerjakan tugas dan Ayas hanya diberi waktu sampai jam sembilan. Kalau bukan karena tugas kelompok di rumah salah satu temannya, mungkin tadarus dan lanjut membaca buku adalah pilihan.
Sampai di depan asrama, tebersit rasa ingin menerima tawaran Kevin. Bagaimana pun Ayas ingin mengembalikan uang milik Nabil dan tak lagi berhutang padanya.
Gadis itu menaiki ojek yang sudah dipesan beberapa menit lalu hendak menuju pada alamat sanggar Kevin. Lagian sebentar, kan? Apa salahnya. Abis itu aku langsung ngerjain tugas di rumah Kia, batinnya.
Saat di tengah perjalanan, Ayas mendongak menatap cakrawala yang absen menampilkan kartika. Mendung. Tak ada satu pun bintang yang memesona dan kini pikirannya mulai cemas. Ia takut bila nanti hujan tiba-tiba turun. Namun, dia berdoa semoga semesta akan bersahabat dengannya malam ini.
Sekitar 30 menit kemudian, kendara roda dua mulai memasuki gang-gang kecil yang tak Ayas ketahui. Dahinya berkerut. Ia mulai curiga bagaimana mungkin sanggar itu berada di tengah-tengah tanah lapang yang sepi. Keadaan mulai mencekam dan ia mulai hati-hati.
"Alamatnya di sini, Mbak." Sopir menghentikan motornya di depan sebuah bangunan kumuh. Keramik-keramiknya tampak retak serta di sekelilingnya tak ada satu pun bangunan yang tampak.
Ayas turun, melepas helm lalu memberikannya pada sopir ojek tersebut. "Makasih, ya, Pak."
"Mbak mau ketemu siapa di sini?" tanya Sopir. Jelas sekali bahwa tersirat rasa cemas di wajahnya.
"Saya mau bertemu seseorang."
"Mbak, yakin saya tinggal? Mbak sudah tahu orangnya? Daerah ini rawan, Mbak."
"Saya tahu, Pak. Tidak apa. Insya Allah saya akan baik-baik aja." Ayas tersenyum.
"Ya sudah, hati-hati ya, Mbak."
Menit berikutnya, sopir langsung pergi meninggalkan Ayas yang masih mematung di depan bangunan minimalis itu. Ia tak bisa berbohong bahwa kali ini firasatnya benar-benar buruk. Gadis itu menarik napas berusaha tetap tenang sembari melangkah pelan menuju sanggar.
"Yas, kamu datang." Seseorang berkaus putih polos baru saja membuka pintu.
Ayas terkesiap. Kevin. Iya, itu kekasih Zee!
"Ayo masuk, Yas," ajaknya.
Ayas menautkan kedua alisnya, "Bisa nggak di luar aja? Lagian bentar, kan? Aku harus cepet balik ke pondok." Alibi Ayas. Entah mengapa perasaannya memang sudah tak enak. Embusan angin yang menerpa seolah berbisik tentang kehampaan.
"Di dalem aja, Yas. Saya lagi nggak enak badan. Anginnya kenceng banget."
Ayas tampak berpikir sebentar. Lagian dia kakak Salsa, pasti dia baik. Akhirnya, dengan mengucap bismillah dan langkah yang mantap gadis itu mulai berjalan masuk.
Di ruangan yang diduga ruang tamu itu, hanya ada sofa kecil berwarna kuning dan beberapa lukisan body painting yang cantik. Sekelabat bau alkohol tercium dan ternyata benar di meja nakas ada sebotol vodka yang sudah terbuka.
"Yas, sebelum berbicara tentang model muslimah itu, saya ingin menawari kamu untuk menjadi model Body painting," ucap Kevin setelah Ayas duduk di depannya.
"Body Painting?" Ayas tersentak.
Laki-laki itu mengangguk. "Bayarannya lebih mahal daripada mengikuti fashion week akhir bulan nanti," katanya.
"Maksudnya?"
"Yas, badan kamu itu sangat cocok. Kamu cantik. Aku lihat dalam album-album milik Zee. Kamu tinggal lepas seluruh pakaianmu lalu saya gambar, selesai."
"Tapi maaf aku nggak bisa." Ayas langsung bangkit.
"Oke, kalau menurutmu ini merugikan, saya melukis sembari melepas pakaian saya juga, biar kita sama-sama lihat." Laki-laki itu mencoba melepas kausnya.
"Nggak perlu, aku menolak tawaran ini!" Ayas berbalik ke arah pintu keluar meraih gagang pintu, tetapi betapa terkejutnya saat pintu itu tak bisa terbuka. Perempuan itu berusaha menarik sekuat tenaga tapi nahasnya benda persegi panjang di depannya telah terkunci rapat-rapat. Siapa yang mengunci, bukannya tadi Kevin lebih dulu masuk daripada Ayas?
"Kuncinya di sini, Sayang!" Laki-laki itu tertawa sembari mengangkat kunci di tangan kanannya. Tangan kiri meraih botol vodka, lalu meneguknya sedikit.
Kali ini wajah Ayas sudah memerah menahan amarah. Sungguh, pria itu telah menjebaknya.
"Buka nggak! Aku mau keluar." Kali ini suara Ayas sudah bergetar hebat. Pria itu mendekat. Ayas mundur beberapa langkah hingga terpojok di tembok. Keringat dingin mulai mengucur membasahi tubuh. Ia takut. Di sanggar yang sepi ini pada siapa meminta pertolongan selain pada Dzat yang maha luas?
Wajah Kevin mendekat beberapa senti di depan wajah Ayas. Gadis itu menutup matanya menghindar tatap mematikan. Aroma alkohol terasa menyengat mengubah atmosfer di dalam ruang yang tersekat.
"Pintu ini akan terbuka kalau lo udah nggak perawan lagi. Turuti apa yang gue mau atau lo mati di sini," bisiknya tepat di telinga Ayas.
Kevin tampak tersenyum puas penuh kemenangan. Ikan pancingannya sudah datang dan ia hanya perlu menikmatinya dalam malam yang semakin lengang.
"Aku memilih mati," lirih Ayas.
Ahad update!
Terima kasih untuk teman-teman yang masih bertahan membaca FC 😊 Part-nya perasaan panjang banget ya 😅
Gimana nih kabar Ayas selanjutnya?
Jangan lupa untuk tinggalkan vote dan komentar. Karena diakhir nanti akan ada give away, maka yang paling spam barangkali akan menjadi poin tambahan ^^
Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik 😊😊
Salam sayang hallo_milkyway 💙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro