Bab 07 || Keputusan
Fainna ma'al 'usri yusra, inna ma'al 'usri yusra.
Sesungguhnya dibalik kesulitan ada kemudahan, dibalik kesulitan ada kemudahan. Sulit menghapus bayangmu mudah merindukanmu, sulit melupakanmu justru sangat mudah mencintaimu.
"Bagaimana, Fahmi?" Yusuf menekankan pertanyaannya. Suara itu terdengar berkumandang memecahkan keheningan dalam palung terdalam.
Potret itu melihatkan Fahmi yang tengah memeluk Ayas tanpa jilbab di latar sebuah rumah. "Itu masa lalu kami, Cak. Kami tak memiliki hubungan apa pun lagi." Sepertinya saat Fahmi masih di kampus, asrama melakukan pemeriksaan lemari yang diadakan setiap 3 bulan sekali.
"Dan ini?" Kembali Yusuf mengeluarkan sebuah potret pagi tadi. Di mana Fahmi sempat memegang pergelangan tangan Ayas saat di kelas.
Kali ini Fahmi dan Ayas sama-sama membisu dalam menanggapi perkara yang rancu. Potret di kertas itu benar mereka tetapi sungguh, saat itu Fahmi refleks memegang pergelangan tangan sahabatnya. Bukannya saat itu Ayas membentak Fahmi untuk jangan pernah melakukannya lagi? Namun, sepertinya kenyataan menyeret mereka pada hening pertanggung jawaban.
Sepertinya, seseorang dengan pergerakan cepat telah memotret momen itu.
Kali ini gadis itu hanya pasrah. Untuk dibicarakan secara spesifikasi pun seakan percuma. Gambar itu lebih dahulu berbicara melalui makna yang tak jelas adanya. Dalam diam, qalbunya bermonolog pada semesta untuk memudahkan segala hal yang perlu diterima.
"Fahmi." Bu Kiki menyadarkan laki-laki itu.
Fahmi mendongak sekilas lalu kembali menunduk menatap meja kaca di depannya. "Maafkan saya ustazah. Itu adalah kesalahan saya. Ayas sama sekali tak bersalah, bahkan saat itu kami tidak benar-benar melakukan hal tersebut," jelas Fahmi.
Dia membuang napas. Sulit rasanya 'tuk menjelaskan hakikat kejadian sebenarnya. Percuma saja, asatiz tak akan percaya.
"Kafa, tolong ambilkan satu papan untuk Fahmi," pinta Yusuf pada sang ketua umum asrama.
"Hanya untuk Fahmi?" tanya Ayas.
"Kamu ini mualaf, Yas. Banyak hal yang belum kamu ketahui tentang Islam. Jahat sekali rasanya saat kami menghukum seseorang karena perbuatan yang tak diketahui hukumnya. Demi Allah pesantren ini menjunjung tinggi nilai kemanusiaan," tegas Yusuf.
"Saya tahu, Cak. Saya berteman dengan beberapa kawan muslim. Saya tahu hukumnya dan saya bersalah, jadi, tolong beri saya hukuman juga." Sungguh, sebenarnya Ayas tak mau menanggung malu, hanya saja keadilan seakan hilang bila hanya Fahmi yang mendapatkan hukuman.
Dahi Fahmi berkerut. Semenjak tadi ia berdoa agar pengasuhan di depannya jangan sampai menjatuhkan hukuman pada Ayas dan dengan bodohnya gadis itu menggagalkan doa Fahmi? Laki-laki berkaus hitam bertuliskan 'The Next Hokage' itu tak sampai hati bila Ayas mendapat banyak cobaan di asrama. Lebih dari itu yang dikhawatirkan, barangkali Ayas memiliki niat untuk kembali pada puncak pertanyaan.
"Baik kalau itu yang kamu mau. Kafa, ambilkan dua papan dan panggil ketua pusat putri serta wakilnya," pinta Yusuf.
Remaja berwajah blasteran itu mengangguk, lantas berdiri dan berjalan meninggalkan kantor bersama wakil untuk mengambil papan yang diminta.
Selang beberapa menit, Kafa kembali seraya membawa dua papan kecil berwarna putih bertuliskan "Kami telah melanggar peraturan nomor 7. Jangan tiru kami." Di bawahnya terdapat catatan surat Al-Isra ayat 32 sebagai dalil atas pembuktian dilarangnya zina meski di luar asrama.
"Ayas dan Fahmi, ikuti Kafa keluar," pinta Yusuf.
Mereka mengangguk. Saat sampai di luar, mereka mendapati dua santri putri yang menunggu, sebelum akhirnya langkah mereka terseret melewati jalan setapak yang belum pernah Ayas ketahui. Dari balik komplek-komplek asrama, sebagian santri putra sedang lalaran mengumandangkan syair-syair dalam nazhom sedang sebagian lain, masih berada di kelas-kelas ngaji kitab hingga pukul 21.30 nanti.
Setelah berjalan sekitar 200 meter, langkah mereka terhenti.
"Di sini." Kafa menghentikan mereka di tepi lapangan futsal komplek 15 Putra Az-Zahra. Santri putra yang sedang belajar di beberapa titik asrama tampak tertarik dengan keadaan semacam itu. Sebagian ada yang terlihat sedang makan di koridor-koridor asrama, lalu beberapa lagi terlihat berkumpul sembari menikmati mie instan yang sudah diremukkan.
"Kunci mana?" tanya Kafa.
"Aku aja yang buka pintunya, Cak." Teman Kafa–wakil ketua pusat–memasukkan kunci di lubang gembok yang tergantung di gerbang setinggi 3 meter. Setelah gembok terlepas, santri itu tampak mendorong gerbang tersebut memperlihatkan banyak santri putri komplek 8 Na'im yang sama-sama sedang berkumpul, belajar. Konon komplek urutan terakhir ditempati oleh mayoritas santri Ulya. Ah, sungguh betapa malunya Ayas saat ini.
"Ini asrama perbatasan, Mbak. Santri-santri yang melanggar peraturan nomer enam ke atas akan mengalami seperti ini atau lebih," jelas seorang santri putri pada Ayas. Kini Ayas paham kenapa kedua santri itu diajak, karena mereka pun ikut serta mengawasi, lebih dari itu menemani.
"Kalau Mbak Ayas belum tahu, pelanggaran di sini digolongkan menjadi 10. Yang nomer 7 adalah berkhalwat tanpa memiliki kepentingan, nomor 8 pacaran, nomor 9 kabur dan nomor 10 tidak salat jamaah," jelas ketua santri putri itu.
Kali ini Ayas dan Fahmi benar-benar telah menjadi pusat perhatian.
"Mbak Ayas, Mas Fahmi papannya sila dikalungkan sampai 30 menit." Kafa menyodorkan dua papan kecil ke arah mereka.
"Kalian masih beruntung 'kan, nggak dijemur pas siang. Jadi nggak panas," imbuh Kafa.
Kafa dan wakil duduk di tepi lapangan bersama santri lain setelah Ayas dan Fahmi sudah mulai menjalankan hukuman, sedangkan dua santri putri tadi duduk di balik asrama putri Na'im.
Dari jarak 5 meter, Ayas melihat Kafa yang mulai sibuk mendengar keluh kesah komplek Az-Zahra. Sedangkan di sebelahnya, Fahmi berdiri menghadap komplek putri.
Malu. Santri Ulya bukan hanya santri Aliyah, tetapi santri dewasa yang mendapat mustawa tinggi pun, berada di sana. Memperhatikan.
Usai ngaji kitab, para santri memang kembali menghafal bait-bait nadhzom-an yang akan disetorkan esok nanti, jadwal tidur akan berlangsung sekitar 60 menit lagi.
"Yas, aku minta maaf," lirih Fahmi. Sayup-sayup karena takut bila sang ketua mendengar.
"Ini kesalahan dan wajar kalau kita dihukum. Yang tidak wajar, saat kita nggak bersalah tapi kita dituduh atas kesalahan tersebut. Aku bisa menerima ini, kok. Santai." Ayas tersenyum kecil.
"Yas, tapi ini salahku. Coba waktu itu aku nggak pegang tanganmu. Tapi jujur, Yas, aku emang nggak mau kamu sedih kayak kemarin," bisik Fahmi.
"Ya makanya mulai sekarang kita jaga jarak, Mi," jawab Ayas.
Lamat-lamat terdengar langkah kaki yang mendekat. "Mas Fahmi, Mbak Ayas, ada waktunya kapan kita berbicara dan bersikap. Tolong lihat keadaan. Nggak enak kalau ada santri yang denger pembicaraan kalian," tegur Kafa, pelan.
Ayas kembali menatap ke bawah. Ah, ia risau dengan keadaan semacam ini. Diam-diam ia mencurigai perempuan yang memiliki satu jurusan dengan Fahmi. Seseorang yang mengawasi gerak mereka.
🍬🍬
Jam dinding menunjuk pukul 02.30. Ayas terbangun. Disingkapnya selimut biru, memutuskan turun dari ranjang berjalan ke kamar mandi untuk berwudhu.
Setelahnya, ia menghamparkan sajadah dan salat beberapa rakaat menunaikan tahajud sendirian. Para mahasiswi yang lain belum bangun, mungkin mereka terlalu lelah karena tugas yang mendera.
Setelah salam, gadis itu meraih tasbih, berzikir. Meminta banyak harapan pada Dzat pencipta keajaiban. Di tempat yang asing, tak ada satu pun yang benar-benar dapat memahami, tak ada yang benar-benar dapat mengerti selain Allah. Gadis itu mencurahkan segala keluh, meminta perlindungan dan ketetapan iman.
Satu hal yang paling ditakutkan, adalah saat logika kembali berpikir pada sebuah paham masa lalu. Di mana dia tak memiliki pegangan saat susah, tak memiliki perlindungan saat sulit dan tak memiliki dekapan sebagai tempat pelarian paling aman.
Ayas pernah mengingat penjelasan Kyai Usman saat ngaji kitab. Katanya, "Untuk yang sedang berduka, jangan sedih. Ada para malaikat yang setia mendoakanmu, ada orang-orang mukmin yang selalu menyertakanmu dalam doanya setiap salat, ada Nabi Muhammad yang memberimu syafaat, ada Alquran yang menjanjikan kebaikan untukmu dan di atas semua itu ada Maha Penyayang di antara sekalian yang penyayang.
Sejenak, ia mengalihkan pandangannya pada ponsel yang menyala. Gadis itu meraih benda pipih dan melihat nama 'Kak Nabil' yang memanggil. Buru-buru ditekannya tombol hijau dan menempelkan ponsel di dekat telinga.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam, Kak."
"Kamu baik-baik aja, Yas? Ah, ya semalam kamu dihukum sama bagian pengasuhan?"
"Kakak tahu dari siapa? Sebenarnya–"
"Untuk sementara beri jarak dulu sama Fahmimu itu bisa nggak? Selama kamu masih menjadi tanggung jawab asrama, tarik diri kamu dari larangan pesantren. Jangan mengecewakan Ammi Adam."
"Kak, Fahmi itu temenku. Sebenarnya hanya salah paham. Waktu itu Fahmi cuma berniat menghibur, nggak lebih," jelas Ayas.
"Siapa peduli? Temen atau lebih dari itu urusan kamu. Jangan jadikan kampus sebagai tempat pelarian. Perilaku kamu menjadi tanggung jawab pesantren. Jaga diri baik-baik. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam." Ayas menatap layar yang kemudian menampilkan wallpaper abu polos. Mati. Kosong.
Perempuan itu tersenyum kecut, lucu rasanya saat hati kecil mulai berharap bahwa suatu saat nanti mereka dapat pulang dan pergi melalui pintu yang sama. Bagi Ayas, Nabil adalah kata yang tak dapat dijamah oleh semesta, pertanyaan yang tak mengandung jawaban dan majas yang tak dapat dijabarkan oleh bait syair secara tuntas.
Namun, tetap saja ia telah terlanjur menanggalkan nama lengkapnya di hati meski cemas kerapkali menghantui bahwa detak jantungnya akan terdengar suatu saat nanti. Dengan menyebut nama Allah, dia mulai melangitkan doa 'tuk menghilangkan sebuah rasa yang enggan sirna dan tak dapat dilupa meski telah melakukan ribuan cara.
Yay!
Teman-teman jangan lupa tinggalkan jejak. Btw, kausnya Fahmi dapet minjem ya 😁😂
Vote dan komentarnya sangat ditunggu teman-teman pembaca yang baik hati. Ah, ya kalau ada kesalahan sila sampaikan saja, ya. 😊😊
Salam sayang | hallo_milkyway ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro