Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 05 || Kembali Berjumpa

Pada harapan yang fana, pada dunia yang hampa, pada zaman yang nestapa, jiwa tertanam cinta pada Dzat maha baka.


Gadis bergamis caramel serta berjilbab cokelat termenung di meja deret kedua menanti Dosen yang belum tiba. Ruangan kelas terasa kian lengang. Mahasiswa abadi yang biasa titip absen seringkali mengulangi perbuatannya seakan nilai D adalah bagian dari gaya hidupnya.

"Yas, kamu kenapa, sih?" tanya seseorang tiba-tiba.

Gadis itu menoleh. Dia terkejut saat mendapati laki-laki berkemaja maroon serta celana hitam yang sudah berada di sebelah. Entah sejak kapan Fahmi masuk ke kelasnya. "Ngapain kamu ke sini?"

"Dosenku nggak masuk. Kamu kenapa?"

"Nggak papa."

"Tapi raut mukamu nggak sebaik dustamu, Yas," komentar Fahmi.

Bersamaan dengan helaan napas yang lembut, kepala gadis itu terangkat. Kedua netranya menatap kosong meja di depan, mengingat kembali kejadian yang berhasil membuatnya sulit tidur malam. "Aku nggak paham sama mereka."

Saat ini barangkali Fahmilah opsi satu-satunya untuk melampiaskan kekesalan pada teman-teman kamar. Akhir semester sekolah menengah pertama, mereka pernah menjadi sepasang kekasih hingga akhirnya kandas karena paham yang tak sama. Orang tua Fahmi menolak Ayas telak. Sejak saat itu, Ayas memutuskan untuk menjauh daripada menjadi pusat kebencian.

"Cerita yang jelas. Aku dengerin." Fahmi mendekatkan kursinya ke meja Ayas. Meski begitu, jarak masih tercipta di antara keduanya.

"Tiba-tiba di laciku banyak barang berharga milik anak-anak. Bahkan sedikit pun aku tak pernah menginginkan hak orang lain," desis Ayas.

Kedua mata Fahmi terbelalak sempurna. Bak mendengar maklumat yang mengecutkan, pernyataan Ayas berhasil membuat separuh ketidakmungkinan seakan lebur bersamaan dengan patahnya sebuah kepercayaan. "Kamu difitnah?" Fahmi memegang pergelangan tangan Ayas yang terlapis kain.

Buru-buru Ayas menjauhkan tangannya dari laki-laki itu. "Jangan pernah sentuh aku lagi!" sentak Ayas.

"Maaf, aku refleks," lirih Fahmi.

"Nggak mungkin aku yang melakukan. Bahkan disaat perekonomian keluarga sedang berada pada titik paling rendah sekalipun, mama tak pernah mengajarkan kami untuk mencuri." Suara Ayas naik beberapa oktav. Teman-teman di dalam ruangan yang tadi sibuk dengan kegiatan masing-masing mulai menoleh ke arah mereka sekilas.

"Seseorang nggak akan tahu bagaimana luasnya pertolongan Allah sebelum dia benar-benar mampu melewati ujian, Yas. Ujian itu datang bukan tanpa alasan, melainkan tanda kerinduan dari Dzat yang maha besar. Bukannya tugas kamu saat ini adalah bersabar?"

Ayas terdiam. Perkataan Fahmi memang benar adanya.

"Ah ya, sekarang siapa yang nunggu rumah kamu?" Fahmi segera mengalihkan topik. Ada banyak pertanyaan yang ingin diajukan.

"Udah disita. Mama ninggalin banyak hutang yang nggak bisa dibayar," lirih Ayas.

Lima belas tahun lalu usai kematian sang ayah, Nia-Ibu Ayas-tak pernah memutuskan untuk menikah lagi. Wanita yang berprofesi sebagai guru SMP itu hanya berusaha merawat perkembangan dua putrinya.

Namun, tepat di hari ulang tahun Ayas kemarin, perayaan itu berubah menjadi mimpi buruk. Kejadian 15 tahun lalu kembali terulang. Kesulitan kembali menyapa tanpa izin dan berkata. Saat Nia hendak menjemput Ayas pulang dari indekos untuk merayakan ulang tahun ke 19, taksi yang dinaiki tertabrak truk dari belakang dan sekarang semua hanya tinggal kenangan dan patahan perasaan yang enggan disatukan.

Keduanya telah sampai surga dan meninggalkan Ayas sendirian dalam luka. Kepergian itu membawa banyak perubahan. Satu-satunya saudara Nia tak bisa memberi Ayas kecukupan untuk melanjutkan kuliah. Beberapa debt Collector mulai berdatangan. Tanpa Ayas ketahui, Nia memiliki hutang yang tak sedikit jumlahnya. Hingga akhirnya dari sedikit yang tersisa, digunakannya uang tersebut untuk menyusul sang Kakak di Turki dan tanpa Nabil, mungkin ia tak bisa balik lagi.

Kematian ayah 15 tahun lalu, membuat perekonomian keluarga tak menentu. Andai bukan karena beasiswa, barangkali Kakak Ayas pun tak akan bisa kuliah di sana. Kadang semesta memberi banyak ujian yang tak terhingga jumlahnya dan tak jarang banyak dari kita yang nyaris menyerah karena kecewa. Tanpa disadari keimananlah yang menepikan diri menuju harapan kembali.

"Ayas. Kamu benar Ayas?" Seorang perempuan memekik.

Ayas dan Fahmi mendongak bersamaan. Wajah yang semula muram, hanya butuh sedetik 'tuk berseri kembali saat melihat perempuan berambut ikal sebahu berdiri di dekat mejanya. Ayas langsung bangkit. "Zee," pekik Ayas.

Mereka langsung berpelukan tak peduli dengan pemandangan sekitar yang lagi-lagi memperhatikan. Fahmi berdecih menyaksikan dua sahabatnya yang tengah menyampaikan kerinduan.

"Zee, kamu ngampus di sini juga?" tanya Ayas.

"Lah, bukannya sejak awal masuk SMA kita bertiga udah janji mau kuliah di Jogja? Meski awal kelas sebelas kamu pindah ke kota, kita tetap ingat janji itu, Yas," jawab Zee. Suaranya terdengar semangat.

"Astagfirullah, tapi semester awal aku masih di Makassar lho karena mama nggak kasih izin keluar kota." Ayas tersenyum pahit. Lebih dari itu perjumpaan dengan Fahmi adalah hal yang paling dihindari. Nahasnya waktu mempertemukan mereka kembali di batas ketidaksengajaan yang pelik.

"Fahmi masih suka ngomongin lo, tau! Dan Ayas, tunggu ... tunggu ... Lo? Ini lo asli, kan?" Zee menunjuk wajah Ayas dengan jari telunjuknya. Diperhatikannya penampilan Ayas dari atas sampai bawah dengan pandangan yang cukup merendahkan.

"Ayas, sejak kapan lo-"

"Baru, Zee. Aku baru masuk ke agama kalian. Aku telat memahami eksistensi Tuhan itu sendiri," sahut Ayas seraya tersenyum.

"Ya tapi nggak usah sampai menutup segininya kali, Yas. Biasa aja kayak gue. Ntar kita nggak bisa ke pesta lagi." Zee mendengkus. Tampak kekecewaan dari wajah cantiknya saat ini.

"Tapi sekarang aku udah mencoba mengikuti peraturan agama. Lagian, aku tinggal di pondok. Ya kali aku ke pesta." Ayas tertawa nyaring.

"Ya ya, tapi yang penting lo masih jadi Ayas yang gue kenal," Zee pasrah.

Bagaimana pun ia tak bisa memaksakan sebuah kehendak. Ayas berubah menuju keinginannya dan tak mungkin dia melarang karena keegoisan yang mendalam. Setiap dari manusia pasti memiliki keputusan yang mutlak.

🍬🍬

"Hari ini kamu lebih damai dari kemarin. Begini terus, Yas. Jangan pikirin hal yang sudah berlalu," ungkap Silky ketika Ayas baru saja masuk ke kamar.

Gadis itu tersenyum simpul, lalu meletakkan ransel di atas lemari. "Kalaupun aku harus dihukum-"

"Nggak. Aku yakin itu bukan perbuatan kamu. Lagian barangnya udah kembali semua. Kamu fokus belajar aja ya," sergah Silky.

Ayas tersenyum. Perempuan itu melepas kaus kaki, lalu naik ke atas kasur sembari membawa juz amma. Dibacanya kembali huruf-huruf hijaiyah yang sebagian sudah dihafal. Beberapa surat pendek untuk bacaan salat pun sudah tersimpan dalam memori meski belum fasih. Kata Silky, Islam adalah agama yang memudahkan penganutnya. Islam tak memaksa Ayas untuk menghafal surat-surat panjang hari ini.

"Ayas, nanti abis Asar kamu ngaji Tafsir Jalalain ya di komplek putri Firdaus," pinta Silky sembari membenarkan letak jilbab di depan cermin. Silky sepertinya hendak ke kampus.

"Tafsir itu apa, Sil?"

"Ah ya, Tafsir itu kitab yang menjelaskan lebih detail isi Alquran. Ada banyak macam-macam kitab Tafsir. Seperti Tafsir Jalalain, Tafsir Munir, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Al-Misbah dan lain-lain, agar nanti kamu nggak salah paham dengan apa yang tertulis pada Alquran, nggak asal memberi hukum pada yang belum paham." Silky tersenyum menjelaskan.

"Berarti ngaji Tafsir itu wajib ya?"

"In sya Allah. Alquran 'kan sastra tertinggi. Saking tingginya, sampai di ayat 23 Al-Baqarah Allah menantang, "Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.

"Adakah yang dapat menulis serupa quran? Namun nyatanya nggak ada yang bisa. Dan otak kita yang bodoh ini rasanya nggak akan mudah memahami sastra paling tinggi tanpa merujuk pada banyak kitab Tafsir karya Ulama, Yas. Coba deh, aku tanya apa yang kamu tahu tentang jihad?" tanya Silky.

Ayas menautkan dahinya. "Jihad? Mungkin perang?" Gadis itu tak mengerti. Hanya paham sebatas kosa kata. Jujur, dari kematian sang Ayah, Ayas tak tertarik dengan konsep agama tetapi kata itu tak lagi asing di telinga.

"Nah, kalau kata seorang guru saat kita memahami quran hanya melalui terjemah, maka saat mendengar kata Jihad yang terbayang pasti perang dan darah. Tapi coba kita selami Tafsirnya pasti akan tahu bagaimana sulitnya menahan amarah demi tersebarnya Islam yang rahmah." Silky tersenyum.

"Sama halnya kalau misal kita baru ngaji Sulamu Taufiq, pasti dikit-dikit bilang Murtad dan Syirik. Tapi kalau udah belajar syarahnya–Isy'adur Rofiq jauh lebih alim dan nggak asal kritik.

"Semakin kita banyak belajar, maka semakin mudah menanggapi persoalan, Yas. Kata Kyai, beragamalah dengan bahagia dan cinta. Bahkan aku mendengar seorang habib berkata. Katanya, ibadah yang paling mulia adalah memasukkan rasa bahagia pada hati orang lain, Yas," tandas Silky.

Ayas tersenyum, berpikir. Bahkan sepertinya Islam yang Silky katakan sangat menyenangkan. Ah, perempuan itu menjadi tak sabar untuk mengaji kitab-kitab yang Silky sebutkan tadi. Sastra Tuhan dalam alquran memang tak bisa dipahami mentah-mentah begitu saja.

"Kalau ada waktu, kamu bisa main ke asrama Nadwatul Banat dan lihat bagaimana cara santri Ulya menuntaskan permasalahan. Santai banget deh. Di sana mereka udah ngaji kitab yang tinggi-tinggi." Silky tersenyum.

"Nanti berangkatnya tunggu anak Ekonomi Syariah pulang, ya, assalamualaikum," ucap Silky sembari mencangklong ranselnya.

"Waalaikumussalam," lirih Ayas.

Setelah Silky pergi, dibukanya lembar surat An-Naba dan membaca setiap terjemahan di sana. Maka baginya sangat wajar bila ada Tafsir yang menjelaskan ayat-ayat Allah, pasalnya ada banyak maksud-maksud yang tak dapat dipahami bila hanya menuhankan logika.

Beberapa hari lalu, Silky pun pernah berpesan pada Ayas, untuk jangan pernah sekalipun belajar tanpa adanya seorang guru. Guru yang sanadnya jelas sampai pada Rasulullah.


Kamis update!

Masih ada yang baca cerita ini? 😅

Huhu maaf banget ya kalau ceritanya sangat qhsueiajk banget. Tapi baca aja sampai akhir ya teman-teman, in sya Allah akan ada pelajaran yang bisa diambil. in sya Allah :)

Fahmi beneran muncul lagi nih. Lagi cari cara buat dapetin Ayas lagi. Bantuin ya, teman-teman.

Yang mana ni?

1. Tim Fahmi-Ayas
2. Tim Nabil-Silky
3. Tim Ayas-Nabil

Jangan lupa untuk tinggalkan vote dan komentarnya, teman-teman pembaca yang baik hati ^^ Karena kata Silky, kan, Ibadah yang paling mulia adalah memasukkan rasa bahagia pada hati orang lain :)

Jangan lupa baca karya SWP Gen 3 yang lain, teman-teman :)

Salam cinta untuk kamu | hallo_milkyway

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro