Bab 03 || Syahadat yang melangit
Wahai Dzat maha cinta, jangan pernah lepaskan genggaman-Mu. Karena bahagiaku hanya ada pada dekapan-Mu.
Malam kian larut, jarum jam terus bergerak tanpa peduli sebuah tanda. Tugas sebuah masa memang hanya beranjak sampai batas akhir yang ditentukan. Masa pun mengantar gadis itu pada tepian asrama. Terlihat bangunan hijau berlantai dua yang saling berhadapan. Di salah satu sudutnya terdapat jembatan yang menghubungkan antar gedung tersebut.
Beberapa sepeda berjajar rapi di tepi lapangan. Sebuah mading pun berdiri tegak di depan koperasi yang masih buka.
"Ini namanya asrama Mahasiswi. Mulai sekarang kamu tinggal di sini," ucap perempuan berjilbab hitam segiempat bernama Silky Aulia. Langit malam seolah berbisik menyampaikan pernyataan bahwa perempuan itulah yang sudah berhasil menaklukan keluasan benua dalam diri Nabil.
Gadis itu memiliki tinggi 162 sentimeter. Kulit seputih susu, mata yang belok, alis yang tebal terbingkai cantik di wajah ovalnya. Perempuan itu nyaris sempurna. Sepertinya wajar bila dia dengan sangat mudah mendapatkan Nabil.
"Ayo, sekarang lepas sepatumu. Nanti kita masuk ke kamar Alexandria, karena di sana masih ada satu ranjang yang nggak terisi." Silky berkata lembut.
Ayas melepas sepatu kets miliknya. Kedua kaki terbalut kaos kaki abu itu mulai berpijak di koridor asrama menghadirkan ritme sendu pada malam yang kian kelam dilahap kegelapan. Diperhatikannya kamar-kamar dengan lampu yang sudah padam mengistirahatkan jiwa-jiwa yang melangitkan doa sepanjang usaha pada siangnya.
Tak lama kemudian, Silky menghentikan langkah di depan pintu cokelat kayu yang tertutup. Pada bagian atasnya bertengger papan kecil bertuliskan 'Alexandria'. Masing-masing kamar memiliki nama-nama kota dari beberapa negara di Timur Tengah.
Setelah pintu terbuka, Ayas menangkap para santri yang sedang mengerjakan tugas di atas ranjang tingkat masing-masing. Layar-layar laptop menyala dan sebagian lain ada yang sudah tidur pulas memulai mimpinya. Di sebrang ranjang, berderet lemari kayu hingga menepi ke sudut ruangan.
Beberapa mahasiswi yang tadi terlihat sibuk, bergegas bangkit untuk menyambut teman baru yang akan tinggal seatap dengan mereka.
"Teman-teman, kenalin dia Ayas temannya Gus Nabil," ucap Silky pada santri-santri yang sudah memasang wajah penuh tanya.
"Teman asli? Gus Nabil punya temen cewek juga ternyata." Salah satu dari mereka berkomentar.
"Gus Nabil juga manusia normal kali, Sa," balas Silky pada santri yang diketahui bernama Salsa.
"Iya paham nyonya Nabil." Salsa tertawa.
Silky menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Salsa yang memang kerapkali sulit dijaga.
"Halo, kenalin namaku Salsabila." Perempuan mungil berkulit kuning langsat itu mengulurkan tangannya seraya tersenyum pada Ayas.
"Aku Ayas." Ayas membalas uluran tangan Salsa.
"Ayas tidur di sebalah aku, yuk, masih kosong lho," ajak Salsa sembari menarik tangan kanan Ayas.
"Jangan asal kamu!" sentak seorang santri menanggapi ucapan Salsa.
Salsa menoleh sembari mengangkat salah satu sudut bibir atasnya. "Biasa aja, dong. Nggak usah nyeremin kayak Voldemort," balas Salsa cepat.
"Iya, kamu Nagini-nya," balasnya tak mau kalah.
"Sudah ... sudah!" Silky meredakan kedua temannya.
"Ayas, sekarang kamu tidur di sini ya. Besok ketemu pengasuh untuk mendaftar di Universitas. Sekarang kamu istirahat," pinta Silky.
Ayas mengangguk seraya tersenyum. Ia menyapu seluruh ruangan ini. Asing. Gadis itu belum bisa menyesuaikan diri. Semuanya masih terasa kaku. Kejadian demi kejadian seolah masih seperti mimpi.
"Oh ya, Silky, aku mau tanya. Sebenarnya di sini ada berapa asrama?" tanya Ayas saat mengingat pertanyaan yang sedari tadi membuatnya penasaran.
"Nadwatul Ummah dibagi jadi tiga asrama, Yas. Asrama Nadwatul Banin yang terdiri dari 15 komplek, Nadwatul Banat, yang terdiri dari 8 komplek, kemudian ada asrama mahasiswa plus mahasiswi yang hanya ada masing-masing satu komplek."
Ayas mengangguk-anggukkan kepalanya, mengerti. Ternyata benar bahwa Nadwatul Ummah memiliki area yang sangat luas.
Esok nanti, sembari mengajukan keinginan mendaftar di Universitas, Ayas akan meminta pengasuh pesantren menuntunnya membaca syahadat.
Selama di perjalanan, pikirannya hanya berpusat pada kalimat-kalimat yang Nabil tuturkan. Eksistensi untuk memahami esensi yang tak dapat dicapai selalu berhasil mengusik ketiadaan yang diyakini. Bagaimana pun ia sudah memutuskan dan mulai meyakini adanya sang Maha.
🍬🍬
Angin fajar berembus mesra menampar wajah para mahasantri yang masih duduk rapi di masjid Jami' An-Nadwah. Para santri Ula, Wustha dan Ulya sudah beranjak ke kelas masing-masing untuk mengaji kitab, sementara para mahasiswa masih menetap di masjid untuk menyaksikan pembacaan syahadat santri baru.
Di hadapan para santri, Adam—sang pengasuh pesantren beserta istrinya duduk dengan tenang di dekat mimbar. Di sebelahnya, Silky dan Ayas sudah rapi mengenakkan gamis biru serta jilbab hitam yang menutup mahkotanya.
Adam mulai melakukan muqadimah singkat pada santri-santrinya kemudian dilanjut dengan memberikan satu mikrofon pada Ayas.
"Namanya Ratu Larissa Abelia. Hari ini dia akan mengucap syahadat," ujar Adam lembut.
"Ayas, sebelumnya saya ingin bertanya. Benar, bahwa kamu tidak dipaksa atau diancam oleh siapa pun untuk beragama? Bahwa keinginanmu masuk ke dalam Islam adalah karena niatmu sendiri?"
Ayas mengangguk. "Tidak ada sedikit pun paksaan atau ancaman yang saya terima. Saya masuk ke dalam Islam karena keinginan saya sendiri."
"Nabil tak memaksamu, Ayas?" Kali ini pertanyaan itu sangat terdengar pelan.
Ayas menggeleng cepat. "Tidak. Dia sama sekali tak pernah memaksa."
Adam tersenyum. "Baiklah, sekarang kamu ikuti apa yang saya ucapkan," pinta Adam.
"Bismillahirrahmanirrahim ... Asyhadu anlaa ilaaha Illaallah." Adam mulai menuntun Ayas untuk mengucap kalimat suci itu.
"Bismillahirrahmanirrahim ... Asyhadu anlaa ilaaha illaallah." Ayas mengikuti. Rasanya ada sedikit getaran yang mulai memasuki jiwanya.
"Wa asyhadu anna muhammadan rasuulullah."
"Wa asyhadu anna muhammadan rasuulullah."
"Saya bersaksi dengan sebenar-benarnya, bahwa tiada tuhan selain Allah dan saya bersaksi dengan sebenar-benarnya bahwa Muhammad adalah utusan Allah." Adam mengartikannya dengan satu kali embusan napas, sepertinya ia tahu bahwa Ayas dapat langsung memahami.
"Saya bersaksi dengan sebenar-benarnya bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi dengan sebenar-benarnya bahwa Muhammad adalah utusan Allah," tegas Ayas.
Seruan kalimat hamdalah meluncur dari bibir para santri yang menyaksikan. Setetes air dari kelopak mata Silky meluncur tanpa izin saat menyaksikan satu lagi saudara yang masuk ke dalam Islam.
Ayas merasa ada segaris ketenangan saat membaca kalimat sakral tadi. Dia tak menduga bahwa bibir Nabil didesain Tuhan sebagai perantara hidayah kepada-Nya. Mevlana museum seakan memiliki sihir bagi Ayas dan denyut perjalanannya. Andai hari itu langkahnya tak tertuju pada makam Rumi, mungkin pertemuan dengan Nabil hanyalah kekosongan belaka.
Setelah semua mahasiswa dibubarkan karena sebagian mereka ada yang mendapat kelas pagi, tersisa Ayas dan Silky yang diminta menetap di sana bersama Adam beserta Rifa.
"Ayas ketemu Nabil di Mevlana Museum?" tanya Rifa.
"Iya, Bu. Apakah Kak Nabil sudah menceritakan semuanya?" tanya Ayas.
"Iya. Beruntung Allah mempertemukan kalian," sahut Rifa lembut.
"Nanti sore Ayas daftar kuliah ya sama Ibu," ucap Adam.
"Tapi bagaimana dengan uang–"
"Ada Allah. Kamu tak perlu memikirkan biaya. Lagian banyak beasiswa yang bisa kamu coba. Cukup minta Silky ajarkan apa-apa yang harus kamu ketahui. Perlahan-lahan," kata Adam.
Ayas mengangguk. Bahkan ia tak menduga bahwa orang-orang yang ditemui memiliki kasih yang tinggi. Mungkin ini adalah pesan tersirat dari semesta tentang segala duka yang ada dan tentang nestapa yang fana. Andai orang tuanya masih ada sampai detik ini mungkin Ayas masih seperti dulu. Tak memiliki genggaman saat sulit, tak menyebut siapa pun dalam cemas dan tenggelam dalam gelap yang melanda.
Kak, terima kasih untuk pertemuan singkat itu. Terima kasih telah menjadi perantara antara aku dan Tuhan kita. Batin Ayas.
Mulai saat ini, tugasnya hanya satu. Yaitu beristiqomah dalam Islam. Mempelajari segala hal di dalamnya, serta berlomba-lomba untuk merayu Tuhan dengan melakukan banyak kebaikan. Karena sesungguhnya tak ada maksud lain saat Allah menciptakan manusia kecuali untuk mengenal-Nya.
Tetapi ada satu hal yang merenggut sedikit ketenangannya. Tentang seseorang dan tentang masa lalu yang pilu. Ayas takut bahwa pertemuan ini akan menjadi konflik kedepannya.
Yay, akhirnya update :)
Untuk teman-teman yang masih setia membaca sampai bab 3, terima kasih karena kalian sudah menyempatkan sedikit waktunya untuk membaca cerita yang qvsgeiansj ini huhu ...
Teman-teman pejuang Give Away, jangan lupa untuk aktif vote serta komentar ya, karena itu akan menjadi nilai tambahan nantinya.
Menuju bab 4 yang berarti akan menuju perjalanan sebenarnya. Perjalanan baru akan segera dimulai!
Jangan lupa tinggalkan jejak 🐾❤
Salam sayang untuk kalian yang membaca ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro