✦ 𖤘 ::┊Chapter 9 : ❛Under The Rain.❜
┈┈┈ ੈ 𝓐𝓷𝓷 𝓦𝓱𝓲𝓽𝓮 ੈ ┈┈┈
Si gadis memang harus menghadapi tingkahnya yang seperti itu.
꒷꒦꒷‧˚₊‧꒦꒷꒦ ꒷꒦‧˚.⁺꒷꒦꒷‧˚꒦
Suara helaan nafas terdengar. Bersamaan dengan tubuh tinggi yang ia banting ke atas kursi mahal. Gojo mendongak, melihat langit-langit ruangan pribadinya. Padahal, mata terhalang kain hitam yang menjadi ciri khasnya.
Hari begitu cepat berlalu. Sudah berapa lama dia tidak menemui [Name] lagi semenjak malam itu dan setelah dia menghindarinya?
“Mungkin sudah seminggu, ya?” Nadanya terdengar sedikit malas.
Gojo selalu mengurungkan niat untuk menemui si gadis lagi saat bayangan tatapan [Name] malam itu berhasil sedikit mengganggunya. Dia merasa bisa kecolongan jika berhadapan dengan sang gadis.
Ada satu hal lagi yang tidak kumengerti. Kenapa dia bicara seolah pernah merasakannya? batin si surai putih. Kedua tangan saling menyatu di depan bibir dengan kedua lutut sebagai tumpuan tangannya.
“Ah~ merepotkan.”
Mungkin seharusnya hari itu dia tidak pergi menemui [Name] saat masih muda. Dengan begitu, dia tidak akan merasakan perasaan berat seperti ini.
.
.
.
Hujan deras mengguyur Tokyo. Gojo melangkah santai tanpa perlu khawatir kebasahan air hujan karena telah mengaktifkan mugen miliknya, memperlambat air hujan untuk tidak membasahi dirinya. Tangan kiri menggenggam sebuket bunga untuk orang mati. Mungkin dia tidak terlihat seperti orang yang akan datang ke tempat seperti pemakaman, tapi beberapa kali dia akan datang mengunjungi tempat peristirahatan terakhir orang penting yang gagal ia selamatkan.
Geto Suguru.
Gojo menghentikan langkah tepat di depan batu nisan bertuliskan nama sang sahabat baik dulu. Ia berjongkok, meletakkan bunga itu ke atas permukaan batu. Mulut masih bungkam tidak mengeluarkan sepatah kata apapun, mungkin diri sedang menyelami kenangan masa lalu yang menyenangkan sekaligus menyakitkan. Mengingat masa-masa di mana di masih sekolah, dengan Geto, tertawa bersamanya. Tidak. Mengingat senyuman sang kawan semakin membuatnya tenggelam dalam liang kegelapan. Dari balik kacamata hitam yang ia kenakan, terlihat jelas sirat kesedihan pada netra indah enam mata miliknya.
Gojo juga termasuk seorang manusia yang memiliki perasaan, meski jarang dia gunakan mengingat pekerjaannya memerlukan logika. Jika tidak, ia tidak akan mungkin merasakan kepedihan atas perginya sang sahabat baik. Satu-satunya yang ia miliki.
“Eh? Gojo-san ...?”
Kening si surai putih mengernyit. Ia menoleh ke arah kanan lalu mendongak, kedua mata langsung melotot ketika mengenali sang pemilik suara yang memanggil.
“... [Name]?” Ah, apa mengunjungi pemakaman temannya membuat Gojo kehilangan fokus?
Si gadis mengejabkan mata. Kemudian sedikit menoleh ke arah batu nisan di hadapan Gojo. Ia lalu berkata, “Aku tidak menyangka bakalan ketemu kamu disini.”
“Aku juga, tau.” Gojo berdiri dan langsung memasukkan kedua tangannya dalam saku.
Hujan mulai mereda. Meski begitu, angin dingin benar-benar menusuk hingga [Name] sedikit menggigil dibuatnya.
“Apa yang kau lakukan di sini, [Name]?” tanya Gojo. Jelas itu pertanyaan yang sedikit tidak masuk akal. Siapapun tahu orang yang datang ke tempat ini untuk mengunjungi mereka yang sudah pergi, tapi ada maksud lain pria itu bertanya hal ini.
[Name] menanggapi itu dengan senyuman. “Aku datang ke sini untuk mengunjungi makam ibuku,” ucapnya. Dia dengan mudah menangkap maksud pertanyaan Gojo hingga perlahan ia menunduk.
Itu sedikit mengejutkan. Si surai putih perlahan menolehkan kepala. Melihat ke arah gadis yang pandangannya kini ke arah bawah. Terlihat jelas kegetiran pada netra hitam keabuan miliknya, meski bibir mengukir senyuman.
Itu mengingatkan Gojo pada seseorang.
Ohh ... aku paham kenapa gadis ini bertingkah seolah dia mengerti. Ternyata memang pernah ngalamin, ya? Gojo kembali melihat ke arah batu nisan.
“Itu ....” [Name] bersuara.
“Hm~?”
“... Teman kamu?”
“... Yah, pokoknya gitu, sih.” Senyuman sudah Gojo pasang.
[Name] mengeratkan cengkraman pada pegangan payung. Ia berkata, “Ne, Gojo-san ....”
“Kau mau bicara apa?”
“Malam itu ... maaf, ya? Aku sudah terlalu mencampuri urusanmu. Hanya karena perasaan simpatiku. Ak—”
“Kau ini bijak, ya, [Name]?”
“Eh?”
“Meski begitu, mengungkit masa laluku itu cukup membuatku tidak nyaman, loh~” Nada suaranya terdengar jenaka.
“Makanya aku minta maaf padamu.” [Name] menunduk dalam. Dia tidak ingat batas dan ini adalah kesalahannya. Di mata gadis itu ... pria ini begitu rapuh dengan masa lalunya dan dia malah sedikit mengungkit hal itu.
Gojo memasang ekspresi seolah ini hampir menyusahkan, terlebih saat melihat gadis di sampingnya terlihat semakin kalut. Mungkin benar-benar merasa bersalah padanya. Dia mengusap tengkuk, sudah lama tidak berada dalam situasi seperti ini.
[Name] yang masih menunduk menangkap suara langkah kaki bersamaan dengan sepatu hitam yang berdiri tepat di depan kakinya. [Name] mendongak ke atas dan mendapati Gojo berdiri cukup dekat dengan dirinya.
“Kau ini menyusahkan, ya?” Gojo menyunggingkan senyuman miring.
Tangan besar terangkat melempar payung si gadis hingga membuatnya tersentak kaget.
“Apa yang—”
Tubuh mungilnya ditarik ke dalam pelukan. Kedua tangan si pria terasa membungkus punggungnya dengan sempurna. Surai putih bertengger pada bahu kanan [Name].
“... Gojo ... -san?” Si gadis mengejabkan mata dengan cepat. Suara jantung yang berdebar kencang sampai ke telinga, mungkin masih kaget dengan tingkah tiba-tiba dari Gojo. Ini serius. Pria itu memeluknya.
.
.
.
.
꒷꒦꒷‧˚₊‧꒦꒷꒦ ꒷꒦‧˚.⁺꒷꒦꒷‧˚꒦
I'll be needing stiches~♪
┈┈┈ ੈ 𝓐𝓷𝓷 𝓦𝓱𝓲𝓽𝓮 ੈ ┈┈┈
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro