Hotaru mencoba memutar pena di tangannya dan gagal lantaran gertakan dari guru di depan kelas. Pelajaran kali ini membuatnya merasa sangat bosan. Namun, dia tidak bisa sembarangan melamun atau dia akan menjadi target kemarahan sang guru berikutnya.

Butiran salju yang mulai turun di luar, terlihat melalui kaca jendela kelas. Hotaru melebarkan matanya dan mengambil kembali pena miliknya yang terkapar di atas meja. Tangannya sigap mengambil selembar kertas untuk kemudian dia coret-coret dengan berbagai goresan membentuk kata demi kata.

Hotaru baru ingat, musim panas lalu dia sempat mengeluhkan kepada Gin tentang pelajaran bahasa Jepang yang membuatnya kewalahan. Mereka berdua akhirnya menghabiskan seminggu penuh untuk membantu Hotaru memahami materi pelajaran.

Gadis itu kini lebih berfokus pada lembaran kertas di atas mejanya daripada pekikan melengking tenaga pengajar di depan kelas. Karena Hotaru tidak dapat pergi ke desa selain di musim panas, Hotaru akhirnya terpikir ide cemerlang untuk berkirim surat dengan Gin. Mungkin tidak akan terlalu sering karena dia tidak ingin merepotkan keluarganya di desa untuk mengantar-ambilkan suratnya ke hutan di gunung. Setidaknya surat yang dia tuliskan saat ini dapat mengalihkan rasa bosannya dari kelas.

"Takegawa-san, sekarang giliranmu!"

Gadis yang namanya dipanggil, sedikit terlonjak kaget. Beruntung dia mengetahui apa yang harus dilakukan begitu sampai di depan papan tulis. Hotaru berhasil kembali ke tempat duduknya dengan selamat.

Hotaru menghela napas lega saat tubuhnya dia jatuhkan di atas kursi. "Baiklah, lanjut menuliskan surat untuk Gin."

Gadis itu selesai menulis suratnya bertepatan dengan bel pulang sekolah yang berbunyi nyaring. Buru-buru, Hotaru mengakhiri surat yang cukup panjang tersebut dengan kalimat dari lubuk hati terdalamnya.

Aku merindukanmu, Gin.