- sorry -
Hotaru terdiam menatap pemandangan desanya dari tangga gunung. Gin pun ikut melamun di sebelahnya entah memikirkan apa.
“Hei, Gin.”
“Ya?”
Hotaru terdiam di detik berikutnya. Gadis berusia lima belas tahun itu menggeram ragu apakah harus mengatakan hal yang ingin dia katakan atau tidak.
“Ah, sepertinya memang tidak terlalu penting. Abaikan saja!” Hotaru kemudian bangkit dan menaiki tangga. “Gin, ayo kita main di dekat danau!”
Arwah berwujud manusia di sana tersenyum. Mengangguk sebelum mengejar langkah Hotaru yang telah menghilang dari pandangan.
Itu bukan kali pertama Gin melihat Hotaru terbengong menatap udara kosong seolah kehilangan jiwa. Namun, setiap kali dia bertanya kepada Hotaru, gadis itu pasti selalu menjawab, “Ah, bukan apa-apa, kok!”
Bohong kalau Gin tidak khawatir. Bagaimana pun, Hotaru adalah salah satu temannya yang spesial. Satu-satunya teman manusia sang pemuda arwah yang memiliki kelemahan khusus terhadap sentuhan manusia. Selama berpuluh-puluh tahun lamanya Gin seakan terkurung di hutan lantaran takut melakukan kontak dengan manusia, Hotaru kemudian datang dan mengisi hari-harinya dengan keceriaan yang tak pernah Gin bayangkan sebelumnya.
Ah, hari ini pun sama. Gadis itu lagi-lagi memasang ekspresi serius. Terlihat sedih dan kesepian. Namun, kosong serta penuh kekhawatiran di saat yang sama.
Terlintas di benak Gin untuk membantu meringankan pikiran Hotaru dengan menepuk pundak atau mengelus punggung sang gadis. Sayangnya musim panas membuat Hotaru mau tak mau mengenakan pakaian yang tidak cukup untuk menutupi seluruh badannya agar tidak kepanasan dan Gin tidak mungkin melakukan hal yang dapat membahayakan eksistensinya sendiri yang telah dia jaga dengan sangat hati-hati selama ini.
“Hotaru, apa ada sesuatu terjadi di sekolah atau desamu? Kau terlihat tidak sehat akhir-akhir ini.”
Gadis yang diajak bicara menoleh dengan ekspresi polos. Kemudian segaris rasa bersalah tampak di wajahnya. “Itu ... hanya pemikiran gilaku yang akhir-akhir ini cukup membuatku kepikiran.”
“Ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk membantumu?” Gin menatap Hotaru intens. Tatapannya tertuju pada sepasang mata sayu Hotaru.
Hening melanda keduanya. Butuh waktu cukup lama bagi Gin untuk mendengar balasan dari Hotaru.
“Kau, pernah mencoba keluar dari hutan, Gin?”
Lelaki arwah itu berkedip beberapa kali. Bingung bagaimana harus merespon. Bukankah Hotaru tahu kalau dirinya akan menghilang begitu terkena sentuhan manusia? Bagimana mungkin dia dapat keluar dari hutan dan bertemu dengan para makhluk hidup yang dapat membahayakan kehadirannya?
“Hotaru, aku—”
“Aku tahu, aku tahu itu pertanyaan bodoh. Aku tahu, Gin. Hanya saja ... tidak bisakah kau keluar dari hutan ini dan tinggal bersamaku di desa atau kota? Bukankah kita bisa mengakali sesuatu dengan kutukan atau berkahmu itu supaya kau tidak perlu berkontak langsung dengan manusia?” Kata-kata yang keluar dari mulut Hotaru terdengar dipenuhi asa.
Gin termenung. Tidak mengelak bahwa salah satu mimpinya adalah keluar dan membaur lalu hidup bersama manusia normal lainnya. Namun, Dewa Gunung telah lebih dari murah hati dengan memberinya kekuatan untuk tetap bertahan hidup saat dirinya dibuang kemari dulu. Tetap menetap di hutan merupakan salah satu bentuk penghargaan dan rasa terima kasihnya kepada sang dewa.
Gin menatap Hotaru sedang menunduk sambil mengepalkan tangan. Seakan berusaha keras menahan emosi dalam diri.
“Hotaru, lihat aku.”
Remaja itu mendongak. Menemukan sosok yang agak lebih tinggi darinya melemparkan senyuman lembut khas. “Maaf, aku tidak bisa. Tempatku di sini.”
Hotaru kembali menunduk, berusaha menyembunyikan ekspresi kesalnya. “Baiklah, maafkan aku sudah menanyakan hal yang sudah jelas jawabannya kepadamu.”
Detik berikutnya, sang gadis membalikkan badan dan melangkah pergi. “Maaf, aku mau menenangkan diri dulu hari ini, Gin.”
Pemuda arwah yang dimaksud hanya menatap kepergian teman manusianya dalam diam. Dia bergeming. Kemudian melukiskan senyum penuh harap.
Semoga Hotaru masih akan mau bermain bersama setelah ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro