Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7 - Ferdi's Old Friend

[Lena P.O.V]

Aku disalahkan atas penyebab Vania tidak mau melanjutkan sekolahnya ke SMA Tunas Bangsa. Menurut teman sekelasnya dulu, Rinda, gara-gara aku, Vania tidak mau bersekolah di sini, dia mau bersekolah di Sampoerna.

Aku ingin mengalah, dan tidak bertekak atau adu mulut dengan Rinda, tetapi Rinda sudah benar-benar keterlaluan. Dia sampai ingin melakukan kekerasan fisik padaku. Aku sudah meminta maaf, walaupun sebenarnya aku tidak bersalah atas Vania, tapi Rinda tidak mengerti. Hatinya sudah tertutup atas permintaan maaf yang kuucapkan ini. Ya, aku harus mengalah.

Tetapi ketika aku ingin mundur dan pergi berbalik ke kelas, gadis itu malah mencegahku pergi. Saat itulah aku mulai geram. Tanpa ampun, aku dipukuli dan didorong keluar ruangan dengan kasarnya, sampai aku hampir saja terjatuh.

Namun untungnya, aku tidak jatuh terjungkal ke bawah, karena, ada tangan yang menahanku.

What happened?

Tangan itu benar-benar menahanku. Aku tidak jadi jatuh terjungkal, benar, aku selamat. Tapi siapa yang menyelamatkanku? Aku ingin menolehkan kepalaku ke orang yang menyelamatkanku, tapi kepalaku sudah mulai berat. Aku mulai merasakan pusing di kepalaku. Kepalaku seakan-akan ingin melayang dan putus. Dan akhirnya ....

--------------------

[Ferdi P.O.V]

"LENA!" teriakku. Aku tidak tahu mengapa bisa tiba-tiba gadis itu pingsan di pelukanku. Sebenarnya aku tidak memeluk gadis itu, aku hanya menahannya supaya tidak terjatuh. Setelah aku melihat lagi penyebab dia pingsan, ternyata dia terluka. Darahnya mengucur keluar dari dahinya.

Aku kemudian mengepalkan kedua tanganku, tandanya aku mulai geram dan kesal. Ingin rasanya aku membalas dendam dan menghajar cewek kurang ajar itu. Dia itu siapanya Lena sehingga dia bisa membuat Lena pingsan?! Baiklah, jiwa badboy-ku sudah keluar. Saatnya bagiku untuk menghajarnya.

Segera aku memindahkan gadis itu ke lantai dalam keadaan terbaring lemas. Kemudian aku menghajar cewek yang telah menghajar Lena. Aku menggulungkan kedua lengan bajuku ke atas di dekat bahu serta mengeluarkan bajuku layaknya seorang preman.

Cewek itu pun terkejut atas sikapku dan berkata, "Siapa kau?!"

Dia lupa padaku. Tapi kuingat cewek itu. Dia adalah Rinda, teman sekelasku dulu, yang merupakan sahabatnya Vania. Naas sekali, kami baru saja lulus dari sekolah yang sama dan sekarang kami pisah kelas, namun dia melupakan aku dengan mudahnya.

Kini, aku hanya senyumin dia dengan sinisnya, kemudian membalas, "Kau tidak perlu tahu siapa aku."

"Dingin banget kau jadi cowok. Nih ya, aku saja berani mengungkapkan namaku. Dengar ya, namaku, Rinda Alamanda. Ingat! Rinda Alamanda! Tidak ada yang lupa namaku ini," ucap cewek itu yang baru aku ketahui dia adalah Rinda. Aku hampir melupakannya, tapi dia sudah melupakan aku, begitu ya?

"Oh, kita baru saja pisah, tapi kau melupakanku?" ujarku.

"Maaf ya, aku fokus ke cewek itu. Aku tidak ingin banyak omong kosong padamu. Minggir!" serunya. Dia ingin aku menyingkir dari sini, tapi aku menolaknya dengan tanganku. Jika aku tidak menyingkir, Lena akan berada dalam bahaya yang besar.

"Ferdi! Kau kurang ajar ya! Kau tidak ingin menyingkir dariku?" katanya kesal. Ia sudah mulai geram padaku. Sama, aku juga. Aku yang lebih kesal padanya.

Terjadi perkelahian sengit diantara aku dan Rinda.

Aku tidak mau Lena berada dalam bahaya gara-gara dia. Apa jangan-jangan, Lena akan menderita, karena... Lena adalah teman sekelasnya Rinda?Mengapa takdir harus mempertemukan mereka? Aku tahu tentang Rinda, meskipun kami hanya berada di kelas yang sama selama satu tahun. Itu memang waktu yang singkat, tapi aku tahu betul soal Rinda. Maka, ketika Rinda dan Lena bertemu dalam satu kelas, aku yakin, aku akan mengkhawatirkan Lena setiap saat, karena bisa saja gadis baik itu akan menderita di tangan Rinda.

"Tunggu, teman-teman!" seru Tami. Ia mencoba menengahi aku dan Rinda.

"Wait. Aku tidak kenal dirimu. Siapa kau?" sahut Rinda.

"Aku Tami, teman sekelasnya Lena dulu. Kau ingin seenaknya membuat sahabatku menderita?" balas Tami, sahabatnya Lena itu.

Aku awalnya hanya terdiam gara-gara Rinda. Aku selalu berpikiran buruk kalau saja Lena akan terkena bahaya gara-gara 'mantan' teman sekelasku itu. Tapi setelah ini, aku tidak akan diam saja, sesuai perjanjian ini, aku akan melindungi Lena.

Kembali aku menyimak perdebatan dua orang gadis berkacamata itu.

"Kau tahu apa soal itu? Jangan menuduhku seperti itu! Justru dia yang bersalah karena telah memisahkanku dan Vania!" seru gadis berkacamata sok songong itu.

"Apa buktinya kalau dia bersalah? Jangan menuduh Lena tanpa bukti," balas si gadis berkacamata yang lainnya.

"Nilai UN-nya kawan kau itu mengalahkan Vania, padahal dulunya Vania selalu lebih unggul dari kawan kau itu."

"Ingatlah, pasti keadaan akan berbalik. Allah-lah yang berkehendak kalau Lena seperti itu, apalagi kalau itu dari usahanya sendiri."

"Kau benar-benar tidak tahu apa-apa, ya."

"Aku memang tidak tahu lebih jelas tentang masalah kau, Vania, dan Lena, karena memang dia tidak pernah curhat kepadaku tentang itu. Tapi aku akan berusaha membela sahabatku kalau memang dia tidak bersalah, karena dia selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik dengan usahaya sendiri, bukan dengan cara haram."

"Terserah kau! Oke, aku mengalah. Aku pergi dari sini!"

Rinda ingin cabut dari tempat itu, tapi sebelum ia pergi, ia menunjukku sambil berkata, "Ferdi, urusan kita belum selesai. Kau akan tahu siapakah yang lebih pantas untuk kau pertahankan. Apakah aku, teman sekelasmu yang dulu ini, atau Lena, gadis yang baru saja kau kenal dan dia tidak tahu berterima kasih kepada Vania, sahabatku."

Aku hanya terdiam kaku, sedangkan Rinda pergi dari tempat itu. Sungguh, hatiku sedang terluka sekarang.

Rinda, aku tidak mengerti, apakah kesalahan Lena sehingga kau harus menghajarnya seperti itu. Kalau kau memang tidak suka pada Lena dari awal, bilang saja kepadanya dan kepadaku juga. Kau juga tidak suka, jika aku berteman dengannya? Aku memang layaknyabadboy yang sebenarnya aku tidak pantas untuk berteman dengan gadis yang baik-baik seperti Lena, tapi aku tidak sepenuhnya badboy. Aku bisa menjadi goodboy juga. Pokoknya dibalik sifat asliku, aku akan berusaha untuk menyelamatkannya dari tangan biadabmu. Tunggu saja. Aku tidak akan berdiam diri lagi.

"Ferdi, kau kenapa?"

Pertanyaan gadis itu kembali membuyarkan lamunanku.

"Aku baik-baik saja, aku sudah punya firasat buruk tentang Rinda itu," jawabku lirih.

"Firasat buruk?"

"Iya, dia pasti akan menuntut Lena untuk hengkang dari SMA ini, jika Vania tidak kunjung bersekolah di sini."

"Memangnya Lena ada salah apa kepada Rinda, jika itu adalah soal tentang Vania?"

Ah....

Aku baru saja mendengar suatu suara. Segera aku tolehkan mukaku ke arah sumber suara itu, ternyata, Lena sudah sadar.

"A-a-aku dimana?"

Lena masih memegang kepalanya, sepertinya ia masih pusing. Dan luka yang ada di dahinya masih belum sepenuhnya kering dan belum aku obati.

"Alhamdulillah kau sudah sadar, Len. Ayo, aku bawa kau ke UKS untuk diobati," ajak Tami kemudian.

"Iya, Len. Kondisimu kali ini kurang sehat yang kulihat," sambungku.

Lena hanya mengiyakan, ia tidak sanggup berkata lagi. Akhirnya, aku dibantu oleh Tami, mengangkat badannya Lena dan membawanya ke UKS

***

Di UKS, Lena diobati oleh Tami. Ternyata, Tami benar-benar tahu soal pertolongan pertama pada korban luka seperti Lena. Aku benar-benar bersyukur melihat persahabatan mereka erat sekali, susah untuk berpisah.

Sekarang yang kulihat, Lena sekarang sudah mulai baikan. Ia tidak merasakan sakit apapun lagi. Akhirnya setelah Tami selesai mengobati gadis yang aku taksir ini, aku kembali mengajak mereka berdua untuk berbicara, untuk mencairkan suasana di UKS ini.

"Ehm.... By the way, makasih ya, Tami. Kau sudah mengobati Lena dengan sepenuh hati," kataku.

Tami hanya menganggukkan kepalanya, lalu berkata, "Tidak masalah. Itu memang sudah menjadi tugasku memberikan pertolongan pertama pada siapapun itu."

"Ngomong-ngomong, kau kelas mana, Tami?" tanyaku lagi.

"Kelas X MIPA 4. Kelasku di ujung lantai tiga. Kalau kau sehe, pergilah ke kelasku pas istirahat. Biasanya aku malas gerak pas istirahat, justru aku malah sarapan di kelas," jawab Tami.

"Yakin? Aku tidak percaya padamu," ujarku tidak percaya.

Lena kemudian berkata untuk membela Tami, "Iya, dia memang sahabatku yang paling mager, tapi dia baik hati kok, dia lembut orangnya, kadang dia juga pernah keluar kelas pas istirahat lho."

"Oh begitu.... Baiklah. Kau istirahat saja ya, Len. Aku akan membuatkan surat izin masuk kelas untukmu," saranku.

Anehnya, Lena malah menolak untuk beristirahat di UKS, padahal dia baru saja terluka.

"Memangnya aku ini siapanya kau, Fer? Aku baik-baik saja. Izinkan aku ke kelas juga."

"Kau yakin, Len? Padahal kau baru saja terluka tadi. Aku takut kau makin tambah pusing gara-gara itu tadi," ujarku. Aku benar-benar khawatir padanya.

"Yakin," jawab Lena singkat.

"Baiklah."

Aku pun mengantar Lena ke kelasnya terlebih dahulu, baru kembali ke kelasku, karena kebetulan kami searah, sedangkan kelasnya Tami berbeda arah dengan kami.

***

Setelah aku mengantar Lena sampai di depan kelasnya, gadis itu berkata padaku, "Makasih ya Fer, kau sudah mengantarku ke kelas."

"Sip, sama-sama. Jaga dirimu ya. Aku khawatir banget pada dirimu."

"Siap, Bos!" serunya, seperti ia hormat padaku.

Akhirnya, setelah dia ke kelasnya, aku pun kembali ke kelasku.

--------------------

[Author P.O.V]

Dari belakangnya Lena dan Ferdi, ada seorang cowok lainnya yang memperhatikan mereka, mulai dari awal sampai mereka berpisah. Ia hanya tersenyum jahat dan bergumam pada dirinya sendiri.

Oh, ternyata anak IPA dan IPS bersatu ya. Lihat saja, aku akan menghancurkan kalian berdua sehancur-hancurnya.

.
.
.

To be Continued.

A/N: Wah halo readers. Chapter ini lumayan panjang dari sebelumnya, bukan? Iya, karena ini memang chapter tersengit 😂😂😂, insyaa Allah kelanjutan cerita ini akan update hari Kamis nanti. Stay yaaa.

Mind to Vote and Comment?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro