6 - Feelings?
[Ferdi P.O.V]
Keesokan harinya, aku kembali bersekolah dan masuk lagi ke kelas IPS. Awalnya aku merasa direndahkan karena aku masuk ke kelas IPS, katanya mereka itu rata-rata anak-anaknya pada bad semua. Jujur, aku memang kenyataannya adalah seorang badboy, tapi tentu saja aku bisa sedikit menjaga sikapku dengan orang tuaku, guruku, teman-temanku, dan gadis itu, Lena.
Aku sudah mengetahui nama dan kelasnya si gadis itu. Dia sungguh seperti malaikat, baik. Aku ingin mendapatkannya, tapi bagaimana caranya? Lagipula, aku juga punya perjanjian dengan orang yang menyelamatkan nyawaku waktu itu, kalau aku tidak bisa membahagiakan gadis itu dalam waktu 6 bulan, aku akan mati. Hidup aku menyedihkan sekali. Lebih baik aku mati daripada diberi kesempatan kedua untuk hidup. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus syukuri dan jalani semuanya.
Lena, sesuai perjanjianku, gadis yang harus aku bahagiakan dalam waktu dekat ini adalah dirimu. Aku tidak mengerti cara-caranya untuk membahagiakan dirimu, tapi izinkan aku mencobanya. Jujur, hatiku benar-benar sakit ketika memikirkan dirimu.
***
"Woi, Ferdi!"
Seruan dari Fatah, teman semejaku, berhasil membuyarkan lamunanku tentang gadis dan perjanjian itu.
"Mengapa kau melamun terus?" lanjutnya lagi.
Aku pun kebingungan. Sudah berapa lama aku melamun? Ah sudahlah. Aku jawab saja pertanyaannya itu.
"Ah, aku tidak apa-apa kok," jawabku lirih.
"Kau berbohong lagi, ya?" duganya.
"Kalau aku cerita, apa kau bisa mendengarnya sampai habis?" Aku berusaha untuk meyakinkannya agar bisa mendengar ceritaku sampai selesai.
"Baiklah, sesi curhat dibuka, tentang apapun," katanya kemudian.
"Oke. Jadi begini. Aku minta saran darimu, bagaimana caranya supaya aku bisa membahagiakan seorang gadis?" tanyaku.
"A-apa? Membahagiakan seorang gadis?" katanya, mengulangi beberapa kata terakhir yang telah kukatakan sebelumnya.
"Iya, karena ini adalah perjanjianku, jadi aku harus menjalaninya," jawabku.
"Kalau boleh aku tahu, kau punya perjanjian apa?" tanyanya lagi. Ia mulai penasaran sama ceritaku tentang perjanjian dan gadis itu. Syukurlah.
"Tapi aku punya satu syarat untukmu. Jangan pernah kau kasih tau rahasiaku ini pada orang lain. Bisa kan?"
"Insyaa Allah bisa. Rahasiamu ada padaku. Silakan dilanjutkan." Fatah kembali mempersilakanku untuk mencurahkan isi hatiku tentang Lena.
...
***
Waktu istirahat dimulai. Aku pergi ke kantin, kali ini aku bersama Fatah. Senangnya, aku bisa punya teman curhat dan dia mulai menerima curhatan hati tentang seorang gadis yang harus aku dapatkan hatinya. Aku mulai melebarkan senyumku sampai-sampai Fatah berkomentar yang lumayan menyakitkan hati.
"Kau kenapa senyum-senyum sendiri? Macam orang yang kurang belaian saja..." komentarnya.
Jujur, itu lumayan menyakitkan hati, tetapi aku senyumin saja dan membalas, "Terserah aku dong. Senyumku ini dari bibirku, bukan bibirmu, bukan? Jadi kau tidak usah berkomentar."
Akhirnya dia hanya terdiam.
"Hah syukurlah, kau tidak berkomentar lagi. Hahaha."
Aku pun tertawa geli, sedangkan si mata empat itu memanyunkan mukanya. Ia kesal sepertinya, namun ia tetap menganggapku sebagai teman.
Setelah sampai di kantin, aku bertemu dengan seorang cewek yang menghampiri aku dan Fatah. Postur tubuhnya agak pendek, hampir sama seperti Lena, namun dia lebih gendut (maafkan ya :v).
"Hei, cowok, kau kenal Lena, kan?" tanya orang itu padaku.
Aku hanya terdiam. Darimana ia tahu aku?
"Jawab lah. Aku lihat dari jauh kalau kau menemui Lena di depan gang aku, karena rumahku itu dekat dengan keluar gang," lanjutnya.
Akhirnya aku menjawab pertanyaan itu, "Aku kenal kok. Memangnya kenapa?"
"Kau tahu dimana Lena?" tanyanya.
"Lena, ya?" pikirku.
Ini anak, perasaan aku dari tadi tidak bersama Lena, apalagi aku dan Lena berbeda jurusan jadi tidak bisa keseringan untuk bertemu. Tapi kenapa dia menanyakan Lena padaku?
Tapi... aku mulai khawatir. Apa memang dia dari tadi tidak ada di sekolah ini? Apakah dia baik-baik saja?
"Woi cowok! Aduh... melamun pula, aku tanya serius nih!" serunya membuyarkan lamunanku.
Lagi-lagi, aku melamun tentang Lena, gadis itu.
"Oh, maaf ya, aku tidak tahu dimana dia, karena dari tadi dia tidak bersamaku," jawabku lirih.
"Lah, kenapa dia tidak bersamamu?"
"Mana aku tahu."
"Ada yang tidak beres. Pasti ada masalah yang menimpa Lena."
"APA?!" teriakku.
Fatah yang berada di sampingku berusaha untuk menenangkan aku, "Tenanglah, sobat. Lena baik-baik saja kok. Itu tadi kan hanya dugaan dari cewek itu."
Fatah kemudian mengalihkan pandangannya ke cewek berkacamata itu, lalu berkata, "Eh cewek. Kalau ngomong itu yang benar. Dia jadi terlalu khawatir nanti."
"Maaf bah... aku kan khawatir sama Lena. Dia kan sahabatku," kata cewek itu.
"Sudahlah, Fatah. Jangan bicara seperti itu. Kita harus mencari Lena dan memastikan bahwa dia baik-baik saja," ujarku.
"Jadi, kita harus mencari Lena, sekarang?" tanya Fatah, untuk memastikan.
"Iya, sebelum Lena mendapat masalah," jawabku.
Lena, aku akan berusaha untuk melindungimu. Kamu adalah gadis yang aku janjikan dan Insyaa Allah perjanjian ini tidak aku langgar. Aku tulus menjalaninya.
Maka aku, Fatah, dan cewek itu segera berlari meninggalkan kantin dan pergi mencari Lena.
————————————————————
[Lena P.O.V]
"Maksudku, aku tidak suka, kau menyaingi Vania, teman sekelasku. Kau benar-benar busuk. Ingin menjatuhkan Vania rupanya," tuduh Rinda padaku.
Ceritanya, Rinda menuduhku sebagai musuhnya Vania dalam selimut.
"Apa maksud kau? Aku tidak berniat seperti itu!" seruku menolak tuduhan itu.
"Kau berbohong! Kalau tidak niat, mengapa dia melanjutkan sekolahnya ke Sampoerna, bukan ke SMA Tunas Bangsa? Pasti ada yang tidak beres pada kalian, tahu tidak?!"
"Dengar ya! Aku dan Vania memang temanan, aku tidak pernah meremehkan Vania, dia pun juga tidak. Kami fine saja kok. Soal dia mau melanjutkan sekolahnya ke Sampoerna, itu tidak ada hubungannya denganku!" jelasku.
"Masa sih?" balasnya tidak percaya.
Aku hanya menganggukkan kepala, yakin dengan ucapanku barusan. Mengapa Rinda begitu protektif sama Vania sehingga ia harus menyalahkan aku?
"Aku serius, Rinda. Tidak bohong. Ini bukan cerita bual. Maaf jika sikapku membuat kau kesal. Tapi selama ini..."
"Selama ini apa? Kau masih saja ngeles ya. Kau anggap diri kau itu sudah suci, tidak ada dosa satupun, seperti bayi yang baru lahir, begitu?" balasnya memotong ucapanku.
"Aku tidak seperti itu. Aku tetap saja punya dosa, tetap saja ada salah. Maafkan aku, Rinda," ujarku mengalah.
Mungkin, mengalah itu lebih baik daripada harus bertekak tidak jelas dengannya.
"Seenaknya kau minta maaf, gitu? Kau sulit untuk mengajak Vania untuk bersekolah di sini, tahu," balasnya dengan nada yang merendahkan aku.
Akhirnya, aku harus mengalah.
"Baiklah. Aku harus pergi ke kelas. Kalau kau mau ikut silakan," kataku kemudian.
Aku langsung membuka pintu ruangan itu dan kembali ke kelas X IPA 9, namun dia malah memegang erat tanganku, mencegahku untuk pergi.
"Kita belum selesai bicara!" serunya.
Aku mulai geram atas sikapnya.
"Kita mau bicara apa lagi? Semua sudah jelas, bukan?" tolakku.
"Kurang ajar. Kau masih tidak mengerti? Aku akan menghajarmu kalau begitu."
Belum sempat aku mencegah tindakan kasar itu padaku, aku langsung saja dipukuli dan didorong keluar ruangan dengan kasarnya, dan hampir saja terjatuh.
Namun untungnya, aku tidak jatuh terjungkal ke bawah, karena, ada tangan yang menahanku.
What happened?
.
.
.
To be Continued.
Mind to Vote and Comment?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro