18 - Demi Kata 'Maaf'
[Author P.O.V]
Sebelumnya, Lena bertemu dengan Ferdi. Eh, bukan Ferdi, tetapi seorang cowok yang bernama Sanusi, lagi-lagi dia adalah temannya Lena semasa mereka masih menjalani masa-masa SMP. Cowok itu menyusul Lena dan temannya pada akhirnya menuju ke rumah sakit. Tujuan Sanusi melakukan hal tersebut yaitu untuk bertemu dengan Ferdi yang sedang dirawat di rumah sakit. Setelah waktu Maghrib hampir tiba, Lena dan kawannya itupun memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing.
Setelah pulang, rupanya Lena mendapat pesan yang diyakininya itu berasal dari temannya. Siapakah dia? Mau apakah dia pada Lena?
***
From: 0857xxxxxxxx
Heh, cewek. Kau lupa akan urusanmu denganku? Besok kita harus bertemu di sekolah, titik!
Lena pun melihat isi pesan tersebut dengan saksama. Setelah itu, dia merasa terenyuh. Seketika itu pula, gadis itupun mengingat-ngingat sejenak, siapa yang sebenarnya bermasalah dengan dirinya, dan akhirnya dia berpikir bahwa .... ‘Rinda punya masalah denganku?’ Itulah yang dipikirkannya saat ini, di dalam hati dan pikirannya. Apa yang akan Lena katakan pada Rinda?
Yang dilakukannya adalah tidak membalas pesan tersebut, dan memutuskan untuk tidur.
***
Keesokan harinya, Lena pergi ke sekolah, lagi. Di sana, tiba-tiba dia bertabrakan dengan Ferdi di gerbang sekolah. Pada saat itu, Ferdi masih belum diperbolehkan naik motor sendiri, dikarenakan kondisinya yang masih belum cukup stabil setelah dirawat itu.
Setelah bertabrakan dengan Ferdi, Lena pun meminta maaf pada Ferdi. “I’m sorry, Fer. Aku tidak sengaja menabrakmu,” ujar gadis itu lirih.
Namun, Ferdi hanya menggelengkan kepalanya, bukan bermaksud untuk tidak memaafkan Lena, tetapi dia merasa baik-baik saja saat ini. Tidak ada sesuatu buruk yang terjadi pada Ferdi maupun Lena. Tetapi tetap saja, gadis itu tetap merasa tidak enak ketika bertabrakan dengan seorang cowok.
“Fer, yakin kamu baik-baik saja?” tanya Lena itu lagi. Lagi-lagi, Ferdi pun menganggukkan kepalanya dengan perlahan. Setelah itu, dia pun berkata, “Ayo kita jalan ke kelas masing-masing, nanti kita dianggap telat lho, sama guru BK.” Maka dari itu, kami berdua pun jalan bersama-sama menuju ke kelas IPA maupun IPS.
***
“Len, benarlah? Kau ada perasaan sama si Ferdi?!” seru salah seorang temannya Lena itu dengan nada tinggi seperti biasanya. Seketika itulah, Lena terpancing untuk menyuruh orang itu diam, dengan isyarat telunjuknya. “Sst, diam-diamlah!” seru Lena itu kemudian.
Suara tinggi dan katanya cempreng itu hampir membuat siswa-siswi yang lain pun menoleh ke arah dirinya dan juga Lena. Siapa lagi kalau bukan Heni? Gadis kelahiran tahun 2000 yang sebenarnya dia sudah lebih tua daripada Lena itu sendiri.
Gadis itu—maksudnya Lena—kembali berkata pada Heni, “Sebenarnya sih tidak ada, hanya saja aku bingung dengan semua yang terjadi padaku dan dia. Apalagi ketika Sanusi hadir di tengah-tengah kami.”
Heni pun mengernyitkan dahinya. Pasalnya, dia belum pernah mendengar nama ‘Sanusi’ sebelumnya. Dia pun bertanya pada Lena, “Eh, Sanusi itu siapa? Aku belum mengenalnya lagi tuh.”
Mendengar pertanyaan Heni barusan, Lena pun langsung tertawa geli. Setelah tertawa geli, dia pun menjawab, “Hen ... Hen. Sanusi itu teman SMPku dulu. Makanya aku kenal dengan orang itu. Asal kamu tahu, dia itu baik orangnya.”
Mendengar jawaban Lena, maka si Heni, teman sekelasnya itupun bertanya lagi, “Dia waktu itu mau masuk rohis atau tidak, Len?” Seketika itu pula, gadis yang ditanya itupun langsung menggelengkan kepalanya, pertanda bahwa apa yang dikatakan Heni barusan itu dia tidak tahu jawabannya. Heni pun hanya ber-‘oh’ ria ketika melihat respon tersebut, yang langsung bisa ditangkapnya.
Tiba-tiba, di saat Lena dan Heni sedang berbincang-bincang, datanglah si Mutia yang berhasil menyelipkan dirinya di antara mereka berdua. “Hai, teman-teman,” sapa Mutia itu. Langsung saja mereka pun membalas dengan sapaan yang sama.
Mutia yang sebelumnya sudah menyelip di antara mereka itupun berkata kepada mereka, “Kalian sudah mengerjakan tugas sejarah? Hari ini kumpul lho!” Tiba-tiba, Mutia pun mengingatkan mereka akan tugas yang belum mereka selesaikan.
Seketika itu pula, Lena langsung terkejut bukan main. Dia pun berseru, “Masya Allah! Aku lupa tugas itu! Duh, kemarin aku di rumah sakit, lalu habis pulang ke rumah tuh, aku kecapekan dan langsung tidur!” Secara tidak langsung, Lena pun sudah mengeluarkan isi hatinya sejenis curhat kepada teman-temannya. Mutia dan Heni, termasuk pula Fidza.
Mereka bertiga itupun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Sekarang, giliran Heni yang mengungkapkan segala sesuatu mengenai kelupaannya akan tugas sejarah. “Duh, gara-gara demam nih, jadi aku kelupaan mengerjakan tugas. Untung tugas lainnya di hari ini udah selesai. Sisa sejarah saja lagi, aduh!” seru Heni kemudian.
Seketika itu pula, Lena, Fidza, dan Mutia pun tertawa bersamaan. Lalu satu di antara mereka—yaitu Lena—berkata, “Get well soon, Hen.” Setelah itu, langsung saja dibalas dengan ucapan terima kasih dari Heni kepadanya.
“Hei, ayo selesaikan tugas kalian. Waktu masih berjalan tuh!” seru Mutia kepada Heni dan Lena itu. Akhirnya, Lena langsung beranjak pergi meninggalkan tempat duduk di sebelah Heni itu menuju ke bangkunya sendiri, disusul oleh Mutia yang juga mengikuti ke mana Lena itu pergi. Sedangkan Fidza tetap di sekitar Heni, karena tempat duduk mereka berdekatan meskipun pisah meja. Ya iyalah, meja mereka bersebelahan, sehingga dekat.
***
Bruk! Tiba-tiba saja Lena terjatuh di dekat tempat sampah yang menuju ke kantin sekolahnya. Dia pun mengaduh kesakitan di bagian kaki dan perutnya. Gadis itupun berkata, “Aduh, kenapa sih kau harus melakukan itu?” Seraya mengeluh atas rasa sakit yang dia alami, meski sebenarnya, rasa sakit fisik itu tidak sebanding dengan rasa sakit di hati yang dia alami.
“Kau tahu ‘kan, akibat dari semua yang kau lakukan dari dulu sampai sekarang?” ujar seorang cewek dengan tawa jahat yang terselip di suaranya setelah perkataan tersebut. Lena pun terkejut ketika dia tetap bisa menolehkan pandangannya ke arah sumber suara. Ternyata, yang mengajaknya bicara itu adalah Rinda.
Lena itupun bertanya kepada Rinda, “Rin, apa yang kau lakukan di sini? Mengapa kau harus mencelakaiku seperti itu, jika kau memang ingin mendapat perhatian dariku?” Sejujurnya, Lena bingung atas semua kelakuan Rinda padanya, dan dia harus mendapatkan jawabannya dari Rinda itu sendiri.
Rinda itupun menjawab, “Kau sendiri harus tahu jawabannya. Gak perlu aku kasih tahu lagi jawabannya, inilah aku, selalu ingin mewujudkan apa yang kuinginkan. Tch.” Lena yang mendengar perkataan Rinda itupun hanya bisa mengelus dadanya sejenak. Dia tidak mengerti, apa yang diinginkan oleh Rinda itu sebenarnya.
Lena pun memejamkan kedua matanya, berpikir sejenak atas apa yang ingin Rinda lakukan. Setelah berpikir sejenak, dia pun akhirnya mengerti terhadap apa-apa saja yang sedari tadi teman sekelasnya itu katakan dari awal. “Rin, kalau kau memang dari awal sedih karena temanmu pindah ke sana, jangan salahkan aku. Ini semua bukan kemauanku. Mungkin saja ini semuanya adalah kemauannya untuk pindah ke Sampoerna, asal kau tahu,” jelas Lena lirih.
Namun tetap saja, Rinda tidak menerima semua yang Lena katakan padanya. Pasalnya, dari dulu Rinda sudah menyimpan rasa yang kuat untuk pembalasan dendam yang sangat mendalam untuk Lena, hanya saja belum ditunjukkan sebagaimana mestinya. Rinda pun berkata, “Maaf, Len. Permintaanmu ditolak.”
Penolakan itupun bukan dikatakannya secara halus, namun antara halus atau kasar perkataan tersebut. Lena pun hanya bisa mengikuti saja apa kata Rinda tersebut. Sebenarnya jika diikutkan, Lena lebih memilih untuk mengalah daripada harus bertengkar dengan cewek berkacamata itu.
Lena pun kembali berkata, “Aku mengerti, Rin. Tapi aku jangan dijadikan pelaku dari semua ini. Memangnya aku melakukan apa? Toh, temanmu itu juga tidak ada hubungan khusus denganku, ‘kan? Kami pun tidak begitu dekat, tapi aku menerima kehadirannya dan tidak pernah aku berniat untuk memisahkan kau dan temanmu itu.”
“Pembohong. Mau masuk jadi pengurus rohis? Kok kebohonganmu itu tingkat tinggi, ya?” kata Rinda sinis. Dia menyindir Lena secara langsung pada gadis itu. Lena yang mendengarnya itupun merasa sakit hati ketika dituduh pembohong oleh teman sekelasnya itu.
Sebenarnya, Lena tidak terima atas apa yang dituduhkan padanya. Namun kemudian, gadis itu mencoba untuk mengiyakan saja perkataan dari Rinda tersebut. Dia berkata, “Iyain aja, Rin. Terserah kalau kamu tidak mempercayaiku.” Gadis itu mengatakan demikian sambil menghela nafas dengan beratnya. Gadis berjilbab dengan bros di tengah itupun hanya berharap kebaikan datang pada dirinya dan juga Rinda.
Tetapi tetap saja Rinda masih seperti yang tadi. Tidak berubah menjadi yang lebih baik lagi. Cewek itupun kembali membalas perkataan Lena dengan penuh amarah. “Kau pikir aku ini bodoh, hah?! Aku tahu mana yang bohong dan mana yang jujur, dan sepertinya, semua yang kau katakan itu hanyalah kebohongan belaka, ‘kan?”
“Terserah Rin. Apa katamu saja,” ujar Lena seraya mengelus dadanya, “astaghfirullah ....”
Rinda pun tertawa terbahak-bahak ketika mendengar kata-kata dari Lena barusan. Di sela-sela tawanya, dia pun berkata, “Beristighfar saja kamu sepuas-puasnya. Emangnya kau pikir, sebuah istighfar itu dapat mengubah semuanya? Gak, ‘kan? Termasuk yang sudah di Sampoerna itu, tidak bisa kembali lagi, ‘kan?”
Sejujurnya, Lena selalu risih ketika membahas tentang temannya yang ada di Sampoerna sekarang ini. Dia pun berpikir, bukankah ketika dia sudah bersekolah di sana itu, tidak bisa kembali lagi karena itu sekolahnya berbentuk asrama ya?
Setahu Lena, Sampoerna itu sekolahnya berbentuk asrama, sehingga susah untuk mengembalikannya bersama Rinda kembali. How? Bagaimana caranya? Rinda yang merupakan teman dekatnya saja tidak tahu, apalagi Lena yang dari dulu tidak dekat dengan orang itu. Akhirnya, yang bisa dilakukan Lena untuk beberapa saat ini hanyalah diam terbisu.
Namun, Lena kembali bisa disadarkan oleh Rinda. Cewek itu berseru lagi, “Kau pikir aku ini layaknya sebuah TV yang hanya ditonton saja? Kok didiamin saja sih? Berarti fix kalau kau yang bertanggung jawab atas temanku itu!” Ini bukan hanya sekedar tuduhan lagi, melainkan sejenis fitnah yang dituduhkan Rinda kepada Lena, orang yang paling dibencinya setelah kejadian tersebut.
Lena pun hanya bisa mengelus dadanya untuk kesekian kalinya.
Selain itu, tidak disadari oleh mereka berdua, seorang cowok pun menyaksikan pertengkaran Rinda dan Lena itu dari belakang kantin di pojokan yang tersembunyi. Ya, cowok itu adalah Ferdi. Lagi-lagi dialah yang melihat kejadian tersebut. Cowok itu hanya bisa mengelus dadanya sejenak, mencoba untuk mengambil nafas dan mengeluarkannya kembali secara perlahan. Begitu yang dia lakukan sampai tiga kali.
Setelah itu, Ferdi pun bergumam di dalam hatinya. Mengapa Lena harus mendapat cobaan yang seperti ini? Mengapa dia harus dituduh ‘pembohong’ atau sejenisnya? Apakah selama ini Lena melakukan kesalahan yang berat pada Rinda, sehingga cewek itu harus membalaskan dendamnya pada Lena? Ini tidak boleh dibiarkan. Aku harus segera menyelamatkannya, jika terjadi perlakuan fisik pada gadis itu. Aku menyukainya, lebih dari yang kupikirkan.
Dengan gumaman seperti itu, Ferdi sebenarnya ingin berniat untuk memisahkan mereka berdua, tetapi sayangnya, cowok tersebut tidak melihat tanda-tanda perkelahian fisik di antara Lena dan Rinda, sehingga Ferdi harus mengurungkan niatnya. Dia pun memutuskan untuk kembali ke kelas sosialnya, membawa jajanan yang telah dia beli di kantin.
Sedangkan untuk masalah Rinda dan Lena, sebenarnya ini belum selesai. Lena pun kembali berkata kepada Rinda, “Sekarang, apa yang harus kulakukan untuk menebus semua kesalahanku?”
Rinda itupun berpikir sejenak, mencari ide terhadap apa yang harus Lena lakukan demi tercapainya tujuan yang ingin dicapai oleh Rinda sedari dulu. Setelah memutar otaknya, akhirnya Rinda pun berkata pada Lena, “Aku bisa saja memaafkanmu, tetapi ada satu syarat. Syaratnya adalah ....”
Cewek berkacamata itupun menghentikan kata-katanya. Lena merasa penasaran, apakah yang akan dia dapatkan sebagai perjuangan untuk mendapatkan kata ‘dimaafkan’ bagi Rinda? Meskipun sebenarnya Lena tidak bersalah atas apa yang terjadi, tetapi setidaknya, gadis itu lebih memilih untuk mengalah daripada terjerumus ke perlakuan fisik di antara mereka, ‘kan?
Lena pun menunggu dengan tidak sabaran. Dia pun bertanya, “Cepatlah, Rinda. Apa syaratnya?”
Rinda pun menjawab, “Syaratnya yaitu ....”
Sebuah tantangan dikeluarkan oleh Rinda sendiri kepada Lena secara resmi. Tantangan apakah itu?
***
To be Continued.
Mind to Vote and Comment?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro