14 - A Troubled Party (2)
[Lena P.O.V]
Masih berada di dalam pestanya Rinda....
Sesampainya di kolam renang, aku dilepaskan dengan paksa oleh Rinda. Tangan dan badanku merasakan sedikit sakit karena perlakuan itu. Akhirnya, aku kembali ditanya-tanya oleh Rinda.
“Lena.”
Aku hanya terdiam.
“Mengapa kau tidak pernah merasa bersalah atas kepergian Vania?”
Terlihat raut muka yang menyeramkan ketika dia marah padaku. Dia sungguh kesal sekali ketika sahabatnya pindah ke luar kota, gara-gara aku, katanya. Aku hanya menunduk, pertanda bahwa aku takut padanya. Tetapi, aku sadar kalau dia tidak pantas untuk aku takuti, karena yang paling pantas untuk ditakuti hanyalah Allah semata.
Ku dongakkan kepalaku menghadap ke Rinda yang setinggi denganku, lalu aku menjawab, “Ini bukan salahku.”
“INI JELAS SALAHMU!” teriaknya kemudian. Suaranya menggelegar di belakang rumah yang terdapat kolam renang ini.
“Ini bukan salahku,” ulangku.
“Oke, kau tidak pernah merasa bersalah. Sadarkah kau? Nilai UN-mu itu membuat aku dan Vania harus berpisah seakan-akan susah bagi kami untuk saling bertemu lagi,” kata Rinda dengan nada yang mulai merendah.
Aku pun membalas dengan dalih yang berbeda, “Bukankah kalian masih bisa saling berkomunikasi lewat chat?”
Rinda kembali berteriak, “TIDAK BISA, BODOH! DIA SUDAH SEPERTI DI PESANTREN, TIDAK BISA AKU HUBUNGI DALAM WAKTU YANG LAMA!”
Dia memakiku di sela-sela teriaknya. Apa yang harus aku lakukan agar Rinda percaya bahwa ini bukan kesalahanku? Rinda sudah terobsesi dengan sahabatnya, sepertinya. Makanya sikapnya padaku itu sudah keterlaluan. Aku tidak menjawab satu patah kata pun padanya. Setelah beberapa saat ku terdiam, dia kembali berkata, “Oh iya, kalau aku mau jujur, sebenarnya, aku yang memberikan satu pasang sepatu untuk pesta padamu. Sepatu yang tidak akan kau pakai itu.”Dia kembali mengeluarkan senyum jahatnya itu.
Aku pun terkejut. Jadi memang benar dia yang memberikan satu pasang sepatu itu padaku, selain Ferdi, anak IPS itu. Setelah itu langsung saja aku membalas, “Berarti Allah melindungiku dari orang sepertimu.”
“Kau gila. Bersiaplah untuk merasakan apa yang aku rasakan!” teriaknya. Dia langsung beraksi dengan memegang badanku. Seketika itulah aku meraung-raung, minta dilepaskan olehnya, tetapi sayangnya pegangan itu semakin kuat sehingga aku tidak bisa melepaskan diri. Rinda sudah siap menjalankan aksinya.Ternyata ketika kami berada di dekat pinggir kolam renang, dia benar-benar mencelakakan aku. Dia sudah benar-benar keterlaluan. Dia hampir mendorongku jatuh ke kolam renang.
Beberapa saat kemudian, aku tidak bisa berharap lebih banyak lagi. Aku cukup pasrah dan semoga aku baik-baik saja setelah kecelakaan yang dibuat Rinda itu. Kedua kakiku sudah berada di tepi kolam renang. Aku hanya bisa memejamkan mataku, siap dengan resiko yang harus aku hadapi.
Lakukan saja sesukamu, Rinda.
***
[Ferdi P.O.V]
“LENA!” teriakku. Aku berada di tengah-tengah keramaian pesta, dan tidak menemukan gadis itu, bahkan tidak mendengar suaranya sekalipun. Dimanakah dia?
Para siswa SMA lainnya masih dalam keasyikan menikmati pesta mereka tanpa tuan rumah di ruangan tersebut, sedangkan aku masih sibuk mencari Lena. Ikrar dan Ziah pun penasaran dengan tingkah laku anehku ini. “Hei, Ferdi! Mengapa kau mondar-mandir begitu?” tanya Ziah.
“Aku mencari Lena, tau!” seruku. Aku tidak rela jika Lena menghilang tanpa jejak begitu saja.
“Lena?” Ziah mengulangi nama orang tersebut.
“Iya,” jawabku singkat.
“Jangan-jangan terjadi apapun padanya,” duga Ikrar yang sedari tadi berada di samping Ziah tersebut.
“Apa maksudmu? Lena dalam masalah besar lagi?” tanyaku dengan nada datar.
“Benar,” jawab lelaki itu singkat.
Aku sungguh tidak terima. Aku langsung berlari ke ruangan-ruangan lain untuk mencari Lena, gadis pujaanku itu. Ziah dan Ikrar hanya bisa mengikutiku dari belakang dan tidak berbicara satu patah kata pun.
***
Ketika aku, Ziah, dan Ikrar berhasil masuk ke ruang belakang, tiba-tiba aku lihat dua orang perempuan yang kelihatan sedang berantem, dari jauh. Aku ingin menghentikannya, tetapi aku takut waktu mereka terganggu.
“Ah, Fer, itu bukannya Lena dan Rinda?” duga Ziah sambil menunjuk mereka berdua yang berada di dekat tepi kolam renang itu. Segera ku sipitkan mataku, berusaha untuk menduga kedua orang itu, apakah memang benar bahwa mereka yang di sana itu Lena dan Rinda. Setelah beberapa saat kemudian, mataku sudah fokus, dan memang benar itu mereka.
“HAH? APA? LENA DAN RINDA?!” seruku. Tanpa memperdulikan Ziah dan Ikrar, aku langsung menghampiri mereka berdua, tetapi berhasil dicegah oleh Ikrar. “Fer, tunggu. Jangan ambil resiko, please.” Kedua tangannya memegang diriku dengan eratnya. Begitu juga dengan Ziah. Aku ingin meronta-ronta, minta dilepaskan oleh mereka berdua.
“Tolong lepaskan aku. Aku ingin mengatasi semua ini!”
“Jangan, Fer. Jangan!” seru Ziah.
Tetapi seruan dari Ziah tidak aku indahkan. Setelah beberapa saat, akhirnya pegangan dari mereka itu pun longgar dan aku bisa lepas dari mereka. Segera aku berlari menyelamatkan Lena dari Rinda itu lagi. Lagi, lagi, dan lagi.
Setelah aku sampai di dekat mereka, ternyata Rinda dan Lena tidak menyadari bahwa aku ada di sekitar—eh—belakang mereka. Aku menyaksikan apa yang terjadi kali ini.
“Kali ini, kau akan celaka, Len!” seru Rinda dengan senyum jahatnya. Dia langsung saja mendorong Lena, dan hampir saja, Lena terjatuh dari situ menuju ke kolam renang. Melihat situasi dimana Lena tidak mungkin diselamatkan dari atas, maka aku segera meloncat ke kolam renang, tidak peduli resiko baju basah atau apapun itu, yang penting dia bisa selamat dan tidak terjadi apa-apa padanya.
Dan benar saja....
3...
2...
1...
Lena didorong dari atas dan akhirnya tercebur ke kolam renang. Seketika itu pula, aku yang sudah bersiap dari dasar kolam renang, segera menangkap badan Lena dengan kuatnya dari atas sana.
Jadilah, di kolam renang itu, aku memeluk Lena dari belakang, dan melindunginya. Di dalam air, aku tidak mungkin bisa memanggil nama gadis itu, kuucapkan saja di dalam hati, ‘Lena.’
Tidak ada respon darinya. Apakah dia benar-benar kaku dan pingsan, lagi?
Segera ku dorong Lena ke permukaan air kolam renang tersebut, tidak memperdulikan keadaanku yang sebenarnya sudah hampir kehilangan nafas karena berada di dalam air terlalu lama. Bagaimana juga, Lena-lah yang lebih membutuhkan pertolongan dibanding aku. Aku selalu memikirkan nasibnya dibanding nasibku. Apakah ini yang dinamakan cinta?
***
“LENA!” seru Ziah dan Ikrar bersamaan.
Aku mendengar seruan panggilan untuk Lena dari mereka berdua yang sedari tadi ingin menahanku untuk membalas perbuatan jahat dari Rinda itu. Beberapa saat kemudian, Ikrar juga menyeruku, “Woi, Ferdi!”
Aku tersadar saat itu juga. Langsung saja aku dorong diriku sendiri menuju ke permukaan air, tetapi tidak berhasil mencapai lantai halaman rumahnya Rinda tersebut, karena aku sudah tidak kuat lagi. Ikrar kemudian langsung menghampiriku, lalu mengulurkan tangannya untuk membantuku naik ke tempatnya Ikrar saat ini. Aku juga selamat.
Alhamdulillah.
“Makasih sudah membantuku, Ikrar,” ujarku.
“Sama-sama. Jangan bertingkah sok pahlawan lagi, bro, hehe,” kata Ikrar dengan terselip tawa kecilnya.
“Aku tidak bertingkah seperti itu,” tolakku pada dugaan teman sekelasku itu.
“Ah masa?” ujarnya tidak percaya.
“Ya sudah kalau kau tidak percaya.”
“Mungkin saja kau terlalu khawatir pada Lena, anak IPA itu kan? Kau sudah terlalu jauh memikirkannya, dan perasaanmu padanya semakin lama semakin tumbuh saja di dalam hatimu. Benar kan?” lanjut Ikrar.
“Ah, kau tahu dari mana kalau aku begitu? Jangan sok tahu.”
Aku sengaja berbohong, tapi akhirnya ketahuan juga sih, hehe. Naasnya, Ikrar langsung mengamati diriku, terutama dari mukanya. Ternyata....
“Kau berbohong lagi ya? Dari mukamu saja sudah menandakan kalau kau itu berbohong. Sudahlah, Fer. Jangan basa-basi lagi. Kalau kau memang suka pada Lena, katakan saja, ungkapkan saja semua perasaanmu padanya,” saran Ikrar.
“Memangnya kau pikir mengungkapkan perasaan itu mudah, hah? Ah sudahlah. Aku harus melihat kondisinya Lena dulu. Aku malas berdebat denganmu, bro.”
Kemudian aku berusaha bangkit dan tidak memperdulikan Ikrar yang sedari tadi mengocehku dengan tuduhan-tuduhan yang tidak mengenakkan hatiku itu. Lalu aku pergi menghampiri Lena yang sedang diobati oleh Ziah tersebut.
Di sana, Ziah berusaha untuk menyadarkan Lena. Aku pun terniat untuk membantu cewek tersebut. Jika dipikir-pikir lagi, kasihan juga si cewek itu. Lena terlalu banyak kehabisan nafas karena terlalu lama di air, begitu juga diriku, tetapi kurasa, lebih parah yang Lena alami daripada apa yang aku alami.
“Ziah, biar kubantu,” tawarku kemudian.
Tetapi Ziah hanya menggelengkan kepala alias tidak mau menerima bantuanku dan berkata, “Tidak usah, Fer. Dia sudah hampir siuman. Aku sudah beberapa kali memberi nafas buatan padanya.”
Maka dari itu, aku hanya mengangguk pelan, berharap semoga kedua mata indah si gadis itu terbuka kembali. Setelah beberapa saat ku menunggu, akhirnya aku mendengar suara kecilnya, “Aku dimana?” Dia kemudian memuntahkan air yang sempat tertelan di mulutnya.
Seketika itulah raut mukaku langsung berubah dan membalas perkataannya barusan, “Hai, Lena. Kau sudah sadar rupanya.”
Ziah pun angkat bicara setelah aku berbicara, “Kau masih berada di belakang rumahnya Rinda, Len. Tadi kau tenggelam di kolam renang.”
Mendengar perkataan aku dan Ziah barusan, dia hanya mengangguk pelan dan menunduk. Aku sendiri yakin, pasti terjadi sesuatu sehingga Lena harus diperlakukan biadab seperti ini. Maka dari itu, aku pun memberanikan diri untuk bertanya pada gadis ini, “Lena, sebelum kau mengalami hal yang seperti ini, apa yang mendasari Rinda untuk melakukan hal yang keji ini padamu?”
“Iya Len, bisa kau ceritakan itu pada kami? Kami penasaran lho,” sambung Ziah setelah aku selesai bertanya.
Lena pun hanya tertunduk lesu, entah kapan dia akan menceritakan semuanya pada kami. Barulah setelah beberapa menit kemudian, dia pun menceritakan semuanya di depan kami berdua. Bukan hanya kami berdua sih, tetapi Ikrar juga ada di sisi Lena, karena Ikrar baru saja bergabung dengan kami, sehingga kami seperti biasanya, selalu berempat ketika berkumpul sama-sama.
“Jadi begini semuanya, Rinda kembali mengajakku untuk memperdebatkan si Vania itu lagi. Seperti yang kalian ketahui, Rinda dan Vania itu ada hubungannya dengan Ferdi, karena dulu kaulah cowok yang sekelas dengan mereka. Kemudian, Rinda itu masih tidak merelakan kepergian Vania, dan terus-terus saja menyalahkanku. Entah sampai kapan, tapi yang jelas, perlakuan dia kepadaku akan berubah jika dan hanya jika, Vania kembali ke sini,” jelas gadis itu.
“Berarti Rinda selama ini terobsesi pada Vania, bukan?”Ikrar menyimpulkan sesuatu atas cerita yang dipaparkan oleh Lena tersebut.
“Bisa dibilang begitu,” jawabku kemudian.
“Lalu apa lagi, Len? Bagaimana bisa insiden di kolam renang itu terjadi padamu?” tanya Ziah kemudian.
“Kalau soal itu, pasti akibat dari obsesinya pada Vania itu. Dia memang seorang cewek yang menjadi tukang bully di kelas, makanya dia begitu padaku. Aku hanya bisa pasrah.”
“Tidak. Aku tidak menginginkan kau pasrah saja!” seruku.
Karena kata-kataku itu tadi, Ziah, Ikrar, maupun Lena menghadapkan muka mereka padaku. Pasti aku pikir, apakah ada yang salah dengan kata-kataku sehingga mereka seperti itu?
“Apa? Ada yang salah? Benar kan? Aku sungguh tidak rela, gaes,” lanjutku lagi.
“Tidak salah kok, Fer. Tapi kau sama saja dengan Rinda,” ujar Ikrar, temanku itu.
“Apa persamaannya?” tanyaku heran dengan tanda dahiku dikernyitkan.
“Sama-sama punya obsesi. Kalau Rinda terobsesi dengan Vania, kau terobsesi dengan Lena.”
Ikrar pun tertawa, diiringi tawaan dari Ziah, sedangkan Lena hanya menggelengkan kepalanya dan menunduk. Astaga, Ikrar.
“Keterlaluan kau, bodoh. Hentikan omong kosongmu itu!” seruku.
“Tapi memang benar kan, kalau kau suka pada Lena? Bentar lagi, kalian bakal jadian kan?” sambung Ziah.
“Enak aja kalian ngomong begitu,” balasku.
“Sudah-sudah. Bisakah kita kembali ke pesta?” Giliran Lena yang berbicara.
“Belum, Len. Aku ingin meminta kepastian dari Ferdi—“ balas Ziah.
“Tentang perasaannya padamu,” sambung Ikrar.
“Tidak penting. Walau bagaimanapun juga, dia tidak akan berbicara apapun tentangku. No words,” balas Lena lagi.
“Kenapa dia tidak bisa berkata-kata? Bukankah selama ini, Ferdi dan Lena sudah semakin dekat?” sahut Ikrar kemudian.
“Bisakah kalian berdua itu diam?” ujarku singkat.
“Tuh, Ferdi menyuruh kalian berdua diam lho,” kata Lena pada Ziah dan Ikrar. Tetapi mereka berdua tidak merasa bahwa kata-katanya Ferdi barusan itu untuk diri mereka.
“Lah, Ferdi bilang ke kita? Masa sih?” sahut Ziah tidak percaya.
“Iya, Ziah, dia bilang ke kau tuh,” balas Lena lagi.
Aku sudah muak sama semua ini. Maka dari itu, aku langsung beranjak dari tempat dudukku dan ingin meninggalkan mereka bertiga di halaman belakang tersebut. Sebelum aku pergi, tiba-tiba ada sebuah tangan yang menghalangiku untuk pergi. “Jangan pergi, Ferdi. Please.”
Aku terdiam, kemudian merasakan sesuatu yang aneh. Apakah jangan-jangan, ini tangannya Lena? Segera kutolehkan pandanganku, memandang orang yang memegangku dengan tangannya itu. Memang benar jika itu dia.
“Lena? What’s wrong?”
“Tidak, aku takut kalau kau marah, karena candaan kami tadi,” balasnya, “dan sesungguhnya, Ziah dan Ikrar tadi hanya bercanda, Fer, jangan dianggap serius.”
Aku pun kemudian menghela nafas dengan beratnya seraya berkata, “Ya sudah. Ayo kita kembali ke pesta.”
Aku pun menurunkan tangannya si Lena, kemudian kembali ke pesta bersama Lena, Ziah, dan Ikrar.
Pesta pun kembali dilanjutkan.
.
.
.
To be Continued.
Mind to Vote and Comment?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro