^29
Bertepatan dengan ketukan palu oleh hakim, Fhatian dan Saarah resmi bercerai. Bersamaan dengan ketukan ketiga palu pula, air mata Saarah mengalir 'tak tertahan. Hal yang tidak ia ketahui selama ini ialah fakta bahwa kenyamanan yang Fhatian berikan selama ini telah berhasil membuatnya tanpa sadar menjatuhkan hati kepada laki-laki itu dengan begitu dalam. Hingga sekarang, ia masih belum berhasil keluar dari jerat cinta Fhatian. Saarah terperangkap oleh perangkapnya sendiri. Ibarat senjata makan tuan, itu lah yang tengah Saarah rasakan saat ini. Belum lagi, hak asuh sepenuhnya jatuh kepada Fhatian. Saarah merasa benar-benar hancur. Semua ini, tidak mungkin terjadi jika dia sendiri tidak menuai benih jahat di awal skenario. Dan rasanya untuk menyesal pun tidak akan ada gunanya. Nasi sudah menjadi bubur.
Sedangkan di sisi lain, Fhatian nampak lega dalam balutan ekspresi datarnya. Setidaknya, ia tidak terlalu jauh berjalan bersama segumpal asa yang menyesatkan. Dari awal, seharusnya memang Fhatian tidak bersikap bak anak remaja yang tengah kasmaran. Untuk kali pertama, ia mengambil langkah tanpa pikir panjang. Begitu sembrono. Tanpa perhitungan sama sekali.
Beruntung, Belvina masih setia memainkan peran sebagai sahabat yang baik. Begitu pula dengan Rachel. Kebaikan keduanya yang sempat dianggap angin lalu oleh Fhatian, kini malah menjadi sesuatu yang tidak akan pernah laki-laki itu coba lupakan.
Benar adanya, jika sahabat selalu berusaha menyadarkan ketika lalai sekalipun dengan cara yang begitu menyakitkan. Setidaknya, mereka benar-benar tulus. Tidak seperti orang lain yang hanya bisa melambungkan hati dengan beribu pujian, sebelum akhirnya menghempaskan tanpa rasa belas kasihan ke inti bumi yang paling dalam sebelum berlalu pergi. Meninggalkan jejak luka kepedihan.
"Maaf, karena aku tetap memutuskan memenangkan hak asuh atas Daniel." Fhatian menatap Belvina yang tengah duduk di sampingnya. Keduanya sedang dalam perjalanan menuju kantor Fhatian. Bagaimanapun, Fhatian merasa keputusannya ini begitu egois, mengingat apa yang telah terjadi sebelumnya. Untuk Belvina terutama. Namun, ia juga tidak bisa merelakan darah dagingnya begitu saja. Terlebih, Daniel merupakan anak pertamanya.
Mengulas senyum tipis, Belvina melempar pandang ke luar kaca jendela mobil. "Selama syarat dariku kamu penuhi," sahutnya tanpa menoleh. Berusaha menekan kuat perasaan ganjil yang meresahkan hati. Ia jelas tidak bisa bersikap dengan mengedepankan ego. Fhatian berhak menentukan pilihan untuk hal satu ini. Dan juga, Daniel tidak tahu apa-apa perihal kisah yang terjadi di antara mereka bertiga. Belvina tidak mungkin bersikap konyol dengan menaruh iri apalagi benci terhadap anak tersebut. Karena mau bagaimanapun, sekarang dia lah yang menyandang status ibu atas Daniel. Dalam hati, Belvina berjanji akan menyayangi Daniel selayaknya anak kandungnya sendiri.
"Tentu. Anak pertama kita tetap yang akan menjadi ahli waris utama." Fhatian ingat betul dengan perjanjian di antara dirinya dan Belvina tempo lalu, ketika ia membahas tentang hak asuh Daniel.
Mendengar kata 'anak', mendadak perut Belvina dihantam ribuan kupu-kupu yang seolah tengah berterbangan. Padahal, baru menyinggung sedikit. Bagaimana nanti, jika keduanya berbicara serius tentang keturunan?
Ah, jangankan keturunan, hubungan keduanya saja masih tidak mengalami perubahan yang signifikan. Semuanya memang memerlukan waktu dan proses yang jelas, tidak bisa dilalui secara instant.
"Dan …?" Belvina menatap Fhatian yang tengah menyetir, meski ia sadar, jika suaminya itu beberapa kali meliriknya lewat ekor mata.
"Tidak ada marga keluargaku di belakang nama Daniel," sahut Fhatian menyambung. Bibirnya mengulum senyum. Sedikit banyaknya, sikap Belvina yang demikian membuat Fhatian menjadi berspekulasi, jika Belvina menaruh hati kepadanya. Dan entah bagaimana bisa, hal tersebut membuat Fhatian merasa senang.
Belvina tersenyum tipis sebelum menyandarkan kepalanya ke bahu Fhatian dan memejamkan mata. Akhirnya, apa yang menjadi bebannya selama ini terangkat sudah. Sungguh, hari-hari kemarin merupakan yang terpanas dan penuh ketegangan sepanjang ia menghirup oksigen.
Tidak terbesit sedikit pun dalam benak Belvina akan menjalin hubungan serius bersama Fhatian. Dan untuk pernikahan kedua Fhatian, Belvina jauh lebih tidak menyangka. Setelah memutar balik kisah sebelumnya, Belvina mulai merasa kisah hidupnya kemarin sebelas dua belas dengan cerita-cerita sinetron yang ditayangkan di televisi. Sinetron yang sering ibunya tonton.
Sungguh penuh dengan drama. Dan Belvina lumayan cukup muak dengan semua itu.
"Setelah ini apa?" Pertanyaan itu keluar memecah sepi yang memeluk tepat ketika mobil berhenti di depan lobi perusahaan milik keluarga Pranaja.
"Aku kerja, kamu pulang nyetir sendiri." Mematikan mesin mobil, tangan Fhatian bergerak mengusap kepala Belvina. Sifat manja perempuan ini sangat jarang ditunjukkan, namun sekalinya keluar, maka tidak jarang mengundang geli. Sungguh berbanding terbalik dengan sifatnya sehari-hari.
Menegakkan tubuh, Belvina berdecak kesal. Tatapannya tajam menatap Fhatian yang tengah tersenyum lebar dengan tampang tak berdosa. Dari dulu, laki-laki satu ini selalu saja suka menggodanya. "Serius dikit bisa nggak, sih?"
Melihat ekspresi kesal sang istri, Fhatian tergelak pelan sebelum menatap lurus ke depan dengan raut wajah serius. "Ya begitu."
Jawaban yang keluar dari mulut Fhatian sungguh ambigu dan sangat tidak memuaskan. "Masih belum ikhlas, cerai sama istri tercintah? Heh?" Menyerongkan posisi duduk menghadap Fhatian, Belvina melontarkan pertanyaan bernada sinis penuh sindiran.
Fhatian tidak langsung menanggapi. Laki-laki itu nampak sedikit berbeda dari sebelumnya. Dan Belvina menduga, apa yang baru saja ia katakan tidak salah 100%. Lagipula, rasanya mustahil untuk seseorang yang sebelumnya begitu dalam mencintai bisa melupakan begitu saja dalam hitungan bulan. Sekalipun keduanya tidak tinggal di bawah atap yang sama. Karena yang namanya perasaan, sekeras apa pun kita memaksanya untuk hadir, jika memang tidak bisa ya tetap tidak bisa. Begitu juga ketika kita menginginkannya pergi. Semuanya kembali lagi pada bagaimana kita menanggapi setiap hal yang berhubungan dengan perasaan. Termasuk Fhatian dan Belvina.
Di satu sisi, Fhatian jelas sekali masih menyimpan rasa terhadap Saarah. Namun, ia juga tidak bisa membiarkan rasa itu berkembang, saat ia sendiri sudah tahu tujuan awal Saarah jelas penuh tipu muslihat. Ditambah dengan dirinya yang sangat membenci suatu kebohongan. Sekalipun langkah yang ia ambil akan melukai hatinya sendiri, Fhatian rela. Ia harus bisa tegas pada dirinya sendiri. Pada hatinya, terutama. Juga, ada hati lain yang harus ia jaga. Pada kondisi ini, ia benar-benar tidak bisa hanya mementingkan kebahagiaan pribadinya seorang. Ada lebih dari satu hati yang harus ia jaga baik-baik, agar tidak kembali terluka.
°°°°°TAMAT°°°°°
Hai hai haiii
Akhirnya … setelah sekian lama menimbang, cerita ini dinyatakan SELESAI!!!
Terima kasih sebanyak-banyakanya, atas dukungan para readers setia, serta Author memohon maaf sebesar-besarnya apabila terdapat banyak kekurangan dalam cerita ini.
Sebagaimana manusia pada umumnya yang tidak luput dari salah, begitu pula Author.
Baiknya diambil, buruknya mohon diperbaiki apabila berkenan.
See You di Story-Story Author yang lain……
Salam Kasih,
RosIta.
Kalimantan Barat, 22 Maret 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro