^17
Dengan gerakan kasar, Belvina mematikan televisi yang tengah menayangkan berita pernikahan Fhatian dengan Saarah yang entah bagaimana bisa bocor ke publik, padahal sebisa mungkin mereka telah menutupi hal tersebut. Sengaja untuk menghindari pandangan buruk orang-orang terhadap kedua nama baik keluarga. Terutama, nama baik Belvina sendiri.
Mengembuskan napas kasar, Belvina beranjak dari tempat tidurnya. Meraih cardigan untuk dikenakan sebagai outer, setelahnya melenggang keluar kamar dengan membawa tas berisi dompet dan ponsel.
Baru saja menginjakkan kaki di lantai bawah, ia sudah ditahan Fhatian. "Mau ke mana?" tanya laki-laki itu seperti biasa, seolah tidak terjadi ssuatu yang besar di antara keduanya. Memang Fhatian sama sekali tidak menunjukkan perubahan yang signifikan selain tingkat kebucinan yang melonjak tinggi pasca menikah dengan Saarah. Entah ramuan atau mantra apa yang diberikan Saarah terhadapnya, Belvina hanya bisa berharap yang terbaik atas Fhatian. Setidaknya, itu harapannya sebagai seorang sahabat yang baik dan sahabat yang turut bahagia atas kebahagiaan sahabatnya.
Belvina diam beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan Fhatian. Menenangkan gejolak di dadanya yang selalu bereaksi ketika betatap muka dengan Fhatian. Pasca pernikahan kedua Fhatian, lebih tepatnya. "Cari angin," jawabnya singkat.
Kepala Fhatian menggeleng. Matanya menatap pintu sekilas sebelum kembali menatap Belvina. "Wartawan di depan ramai banget. Aku nggak yakin, kamu aman kalau keluar sekarang."
"Urus saja kekasihmu. Aku bisa urus diriku sendiri." Setelah mengatakan itu, Belvina berlalu dari hadapan Fhatian. Nyeri di dadanya selalu kian menyesakkan, ketika mulai berbicara dengan topik yang menyinggung kondisi rumah tangganya saat ini dengan Fhatian yang sama sekali tidak terlihat seperti tengah tertimpa beban. Dan memang pada dasarnya, laki-laki itu tidak ditimpa beban apa pun. Hanya Belvina yang merasakannya. Entah bagaimana bisa, yang jelas bak ada sayatan 'tak kasat mata di relung hatinya, hingga membuat Belvina tidak jarang mengeluarkan air mata tatkala mengingat, jika kini Fhatian sudah menemukan tambatan hatinya. Sedangkan dirinya, terdampar di sebuah pulau terpencil yang ia sendiri tidak tahu jelas letaknya di mana.
Mau seberusaha bagaimanapun Belvina dalam bersikap, kesinisannya sama sekali tidak bisa ditutupi. Hal yang terjadi di luar kendalinya.
"Belvi!" Fhatian berjalan cepat menghampiri Belvina yang menghentikan langkahnya. "Soal Saarah. Kamu nggak benar-benar serius 'kan, untuk menempatkannya di paviliun belakang?"
Lagi-lagi tentang Saarah. Orang yang tengah dibutakan oleh cinta memang berbeda. Fhatian contoh nyata yang berada tepat di depan mata Belvina.
Dengan berani, Belvina menatap balik Fhatian dengan sorot menantang. "Kapan aku pernah bercanda untuk suatu hal yang serius?" tanyanya balik.
"Bel, tapi Saarah itu istriku juga." Fhatian mencoba menentang keputusan Belvina. Ia menatap Belvina dengan pandangan yang sulit diartikan. Sesulit ia mengartikan makna perasaannya yang sesungguhnya kepada Belvina.
Sebelah alis Belvina dinaikkan. Kepalamya mengangguk-angguk. "Benar. Dia memang istrimu. Tapi, kuharap kamu tidak lupa, siapa Nyonya di rumah ini. Maksudku, Nyonya yang sesungguhnya." Usai mengatakan itu, Belvina benar-benar melenggang keluar. Ia semakin merasa benar-benar perlu mendinginkan isi kepalanya. Masalah yang datang, seolah-olah mengajak bermain sekaligus berperang dalam satu waktu. Suatu keadaan yang benar-benar sulit untuk ia hadapi seorang diri. Sayangnya, ia memang harus menghadapi kenyataan pahit lagi berat ini seorang diri. Fhatian sungguh tidak bisa dikatakan sebagai patnernya. Karena apa yang terjadi, akibat kegilaan laki-laki itu.
°°°°°BERSAMBUNG°°°°°
Haiiii....
Ada yang merindu?
Ada yang merana?
Ada yang menyendiri?
Bagaimana kondisi hati kalian saat ini?
Yuk, kita saling berbagi. Silakan balas apa pun sesuka hati kalian di kolom komentar di bawah!!!
Salam Kasih,
RosIta.
Kalimantan Barat, 29 Desember 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro