XV : Story [Part 2]
Kini kami duduk berkumpul membentuk lingkaran. Reiji menuangkan teh hitam beraroma sitrus dari teko porselen ke cangkir kami masing-masing sedangkan Camus mengambil sekotak gula balok.
Usai Reiji menuang dan meletakkan teko ke posisi semula -- di atas meja, ia menatapku lebih dulu.
"Tadi kau ingin tahu soal Aine kan?"
Aku mengangguk singkat tanpa sadar sudah mencengkram rokku, "Kalau benar-benar perlu dirahasiakan dariku, kalian bisa abaikan saja kemauanku barusan. Aku paham ka--"
Ai menepuk bahu kananku, "Tidak ada lagi yang perlu dirahasiakan setelah kau sudah tahu identitasku yang sebenarnya."
Mendengar ucapan sang raja, kami hanya bisa tersenyum getir.
"Jadi [Reader] sudah tahu kalau sebenarnya Mikaze-sama adalah ciptaan paman Aine?"
Ai mendengus, "Tepatnya 'ayah' sengaja berkata seperti itu setelah pertemuan kembali semenjak terakhir kali aku dibuang olehnya."
Reiji mengangguk begitu menerima informasi barusan. Camus mengaduk gula itu sampai larut bersama dengan teh beralih menatap Reiji. Akibatnya, tatapan itu menyerempak ke satu arah. Arah yang dimaksudkan itu -- Reiji, menarik napas sedalam-dalamnya kemudian mengembuskan napas perlahan.
"Karena kalian sangat penasaran, aku akan menceritakan kisahku yang membosankan." Reiji tersenyum ramah, mengucapkan hal barusan sebagai pembuka kisahnya di masa lalu.
Reiji's POV
Mendengar soal Aine dari [Reader] tidak bisa kuanggap remeh. Sejak Aine koma dan dirawat, aku seolah kehilangan hidup. Aine adalah sahabat terbaikku -- kami belajar banyak di institusi pendidikan mengenai ilmu politik.
Kami mengikuti seleksi sekolah tinggi. Aku lulus dan Aine gagal. Namun aku merasa enggan untuk melanjutkan pendidikan tanpanya -- berhubung paman Aine yang membiayai pendidikanku.
Ia mendesak agar aku tetap harus masuk tanpanya karena aku telah berjuang. Impian Aine saat itu adalah ingin menjadi pemimpin. Menolong orang yang kesusahan akan jadi lebih mudah baginya bila ia mendapat jabatan tinggi.
Saat itu, Aine benar-benar terpuruk atas kegagalannya. Ia merasa seperti orang yang tidak berguna. Aku berusaha membujuknya namun aku terlambat. Aine memutuskan untuk bunuh diri ketika seminggu setelah hasil tes itu -- tindakan itu ia lakukan dengan terjun dari jendela lantai tiga rumahnya.
Suatu hari, aku memilih duduk di tepi pantai. Berada dalam perasaan bersalah serta menyesal, aku menatap uluran tangan saat itu.
"Kau .. mau bergabung bersamaku?"
Aku terlonjak kaget melihat Ai di situ. Aku mengiranya Aine namun jelas-jelas sebelum aku ke pantai, aku sempat menjenguknya.
"Bergabung?"
"Aku tidak punya tujuan. Aku merasa berlayar dengan kapal bukanlah hal buruk. Menjadi perompak sekaligus menerima pengalaman."
Aku tidak mengerti kenapa aku bisa bertemu dengan sosok yang mendekati -- kalau bisa disebut persis, mungkin aku bisa mengiyakan perbandingannya secara fisik.
"Bermodal mencari pengalaman itu tidak selalu mudah. Kau tidak boleh bunuh diri demi alasan apapun walau sesulit apapun itu,"ucapku walau ia menatapku bingung setelah aku berkata demikian.
Aku ikut dengannya dan petualanganku sebagai perompak di mulai. Bertemu dengan anggota lain. Merasakan suasana yang menyenangkan. Menolong orang yang tidak mampu meskipun melakukannya dengan melukai musuh. Aku kira aku benar-benar sudah lupa akan kesedihan dan penyesalanku saat itu. Aku terjun dalam misi dan tujuan pada masa itu.
Tapi aku sadar, aku mungkin hanya sedang melarikan diri. Menganggap kesalahan itu bukan milikku.
♡ ♡ ♡ ♡ ♡
"Itu bukan salah Reiji, kok!"
Aku yang bersuara paling nyaring setelah mendengar kisah barusan. Dan bagian mananya yang membosankan? Itu justru menyedihkan -- membuatku bersiap-siap mencari tisu.
Reiji menggaruk tengkuknya, "Begitukah?"
"Dan bagaimana setelah kau bertemu Aine?"sanggah Camus langsung to-the-point.
"Aku bertemu dengannya. Dia masih menyambutku dengan ramah seperti dulu. Dia mengalami amnesia usai bunuh diri waktu itu. Benaknya sedang terombang-ambing karena masih ada yang belum sepenuhnya ia ingat,"ucap Reiji menghela napas.
Aku menatap Ai yang tidak bereaksi apapun. Namun ia langsung menatap Camus dan Reiji.
"Bisakah aku punya waktu sebentar untuk bicara dengan [Reader]?"
Reiji berdeham secara disengaja menyikut Ai, "Ehem, kurevisi ucapanmu barusan : Bisakah aku punya waktu bersama gadisku, sekarang?"
Wajahku perlahan memerah karena godaan Reiji. Ai merangkul bahuku berkata, "Nah, itu kau sudah mengerti. Jadi, biarkan kami berdua di sini."
Camus dan Reiji akhirnya pergi. Menutup pintu sepelan mungkin. Kini kami berdua lagi. Entah kenapa ia meminta waktu berdua saja di ruang tamu. Kurasakan kini dadaku berdesir.
Ai berdiri beralih menghadap jendela berkata, "[Reader], setelah mendengar kisahnya Reiji, aku ingin tahu pendapatmu."
"Pendapat apa?'
"Bagaimana jika suatu saat aku akan pergi dan tak kembali?"
Aku mendongak menatap tubuh tinggi miliknya. Aku menghampirinya, mengenggam lengan kemeja birunya dengan tangan kiriku.
"Pergi?"
"Aku hanya bilang 'jika',"sangkalnya kepadaku.
Aku menggigit bibir bawahku. Siapa yang tahu jika 'jika' yang ia maksudkan bisa menjadi kenyataan?
Ai tidak memandangku, terfokus pada jendela. "Aku tidak ingin melepaskan tanggung jawabku. Membiarkanmu terluka itu adalah kesalahan terburuk."
Kenapa dia menyalahkan dirinya sendiri?
Entah kini sikap afektifku -- emosi -- membuat lenganku terarah untuk memeluknya dari belakang.
"Aku sudah baik-baik saja. Sungguh. Aku akan bertahan dalam posisi sebisaku karena yang paling mengerti kondisi tubuhku adalah diriku sendiri. Jadi, kau jangan khawatir!"
Kutahu ia punya masalah, yang begitu berat untuk diembannya seorang diri.
Ia memegang jemariku yang masih melekat di tubuhnya, "Kalau seandainya kita tidak pernah bertemu dan yang menemuimu lebih dulu adalah Aine?"
Pertanyaan itu belum terjawab olehku ketika ia masih berandai. Kediaman itu akhirnya terpecah oleh rintikan demi rintikan tetesan air dari angkasa. Semakin deras, membuat ruangan tamu menjadi lebih redup karena belum menyalakan penerangan.
Ai melepas pelukanku menghampiri tungku api yang terbuat dari bata yang menampung kayu kering -- bermaksud melempar sebatang korek yang terlalap si jago merah. Membakar perlahan kayu yang dingin. Menjalari kehangatan yang awalnya tersembunyi.
"Berhentilah berandai-andai,"ungkapku berdiri tepat di posisi belakang Ai.
Ia menatap bara api itu sambil menjawabku, "Aku tidak bisa berhenti berandai sejak kita membahas Aine."
Aku mencengkram kerah bajunya, "Ai, dengar ya. Dia ya dia, kau ya kau! Jangan saling membandingkan!"
"Walaupun kami identik secara fisik?"
Tampilan mereka memang serupa walau Aine membedakannya dengan gaya rambut yang dibiarkan tergerai. Aku tentu mengerti perbedaan di antara mereka selain fisik.
Ai menggenggam pergelangan tanganku, "Aku berpikir kalau suatu saat dia akan menggantikanku sebagai raja dan kau akan beralih memilihnya,"
Dia merasakan keraguan. Namun aku ingin menjadi kekuatannya. Tapi apa yang bisa kulakukan? Berdiam diri dalam suasana panik? Aku tidak mau seperti itu.
"Kenapa aku tidak bisa menjadi kekuatanmu ketika kau membutuhkanku? Selain perasaanku, aku tidak punya apa-apa."
Aku menarik napas kemudian menghembuskan karbondioksida yang bertukar dengan oksigen. Aku mendongak, menatapnya lekat-lekat.
"Aku percaya kepadamu. Kau adalah raja yang memimpin Asvagarde. Bukan siapapun. Aku akan berusaha menjadi kekuatanmu."
Aku sadar aku tidak bisa lebih egois memohon kehadirannya. Ketika aku mengharapkannya bersamaku, ada sesuatu yang lebih penting dibandingkan menetap di sini tanpa nasib yang pasti.
Kutahu ia mendengarkanku walaupun bibirnya merapat tanpa mengucap sepatah kata pun.
Kutahu ia berpikir keras akan keputusan yang harus ia pilih.
Ia mengarahkan telapak tangan di hadapanku dan aku menyambutnya. Menempelkan telapak tanganku kemudian melekukkan jemariku terhadap sela telapak tangan miliknya.
"Jadi, kita tidak bisa terus-terusan berada dalam situasi sedih kan?"aku menyunggingkan senyuman disertai kekehan.
"Kalau begitu, aku akan percaya dan akan mengandalkanmu."
Krek.
Aku dan Ai menatap makhluk yang membuka kenop pintu -- Syo berdiri dengan seringai kaku.
Syo menggaruk tengkuknya, "Ehm, maaf Mikaze-sama. Aku tidak bermaksud menganggu. Hanya saja ada yang datang ke sini."
Aku memiringkan kepalaku. Seingatku villa ini cukup terpencil dari Asvagarde dan tidak banyak yang tahu selain kami.
"Siapa?"
Dihela napas dengan raut kekhawatiran, Syo berucap, "Aine."
• To be Continued •
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro