X : His Reason
Warning : terdapat adegan kekerasan yang (agak) sadis tapi tidak membunuh.
Aku akan mengakhiri hidupku.
Toh, tidak akan ada yang peduli.
Setidaknya aku akan hidup lebih tenang. Sebagai diri sendiri, bukanlah aset yang diincar dalam keadaan nyawa yang terancam.
Seharusnya begitu.
Brak!
Pintu kayu itu terbuka lebar. Terdengar aliran air yang menetes deras dengan sapuan angin kencang menyeruak ke dalam ruangan yang mengurungku.
"[Reader]!"
Ternyata Reiji yang menghampiriku. Tubuhnya basah kuyup. Sepasang manik abunya berkilat menatapku cemas.
"Maafkan kami!"ungkapnya dengan nafas terengah-engah.
Aku menggeleng. "Bukan salahmu,"
Dia hanya menjalankan pesan Ai. Selebihnya ada lagi yang datang dari luar yaitu Kurosaki dan Syo. Aku bisa mengintip prajurit yang tidak lagi sadarkan diri. Pedang yang kugenggam jadi kaku karena kehadiran mereka. Padahal tekadku sudah cukup kuat.
"Kau akan baik-baik saja."Syo memegang bahuku.
Aku merasa lega tapi segera kutolak kata hatiku itu. Aku mendaratkan tangan Syo dengan tatapan gusar. Aku tidak akan percaya lagi kepada mereka. Salah satu dari mereka sekalipun.
Aku akan baik-baik saja meskipun sendirian.
"Jangan sentuh aku! Jangan ganggu hidupku! Biarkan aku hidup dengan benar, apa susahnya?"protesku menjadi-jadi setelah terlalu lama membebani batin ini.
Nyonya yang mengurungku kini berada dalam posisi terpojok, tepatnya dia sedang mengendap-endap keluar dari sana. Langsung saja kususul. Aku mengangkat kaki ke arah dinding -- menghalangi jalurnya keluar dari sana. Gara-gara dia, hidupku dalam penderitaan yang tidak seharusnya kualami. Aku tidak terima dia keluar dengan nyaman.
Kutarik rambutnya ke atas dengan tatapan dingin, "Jangan harap kau bisa hidup kaya raya dengan eksistensiku."
Aku menendang asal dirinya sambil melampiaskan kekesalan. Kepalanya, tubuhnya, dan kakinya semauku kutendang. Entah asa dari mana aku melakukannya, tapi sedikit demi sedikit beban itu terangkat.
"[Reader], sadarlah! Tidak semestinya kau menendang dengan keji seperti itu!" Kurosaki berseru namun kuabaikan.
Aku mendengar korban yang kusiksa meringis kesakitan berusaha menahan kakiku namun dia gagal. Kedua lainnya termenung menatapku. Kalau perlu, sampai aku puas aku akan terus melakukannya. Aku menitikkan air mataku sambil mengingat semua luka yang otomatis terbuka kembali. Dingin dan menyesakkan.
"Berhenti,"
Intonasi tinggi itu mendiamkanku sejenak. Aku mengira aku berhalusinasi jadi tetap menendang wanita tua itu.
Namun aku merasakan tanganku dikekang dari belakang oleh jemari yang hangat. Aku menoleh. Aku yakin sekali bahwa suara Ai hanyalah bayangan belaka namun ternyata dia benar-benar ada di belakangku.
"Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah."
Aku menatapnya tajam, "Kau jangan melarangku apa-apa lagi! Biarkan aku melakukannya! Dia yang menghancurkan hidupku selama ini tahu!"
Tidak lagi kupedulikan Ai menganggapku egois, drama queen, atau segala sesuatu yang berbau negatif.
"Kalau begitu, mulai sekarang hidupmu tidak akan seperti ini lagi. Mulai dari awal," kekangan di pergelangan tanganku merenggang kemudian beralih memelukku dari belakang.
Curang.
Kenapa suaranya malah menenangkanku?
Wanita sialan itu tidak berdaya dengan wajah memar karena tendangan dariku segera meninggalkan dengan langkah pincang.
"Dasar kejam,"umpatku melepas pelukannya tapi dia menahannya. "Aku bisa sendirian,"
Aku segera keluar melintasi hujan yang mengguyur bumi dengan derasnya. Menghirup aroma hujan yang lemah lembut mengiringi suasana. Namun kudengar langkah yang menyusul -- tentu saja bukan berasal dari sepasang kakiku.
Aku menoleh. Ternyata Ai ada di belakang.
"Kenapa kau di sini?"tanyaku gusar.
Ai mengarahkan jemarinya yang menampung sedikit air. "Menjemputmu,"
Aku melipat tanganku. "Aku bukan bola ping pong yang dengan senang hati memantul semaumu kemudian kembali lagi. Kau malah mengizinkanku bebas,"
"Tapi nyatanya kau belum bebas."
Aku menggigit bibir bawahku, "Orang sepertimu tidak akan mengerti akan sakit yang kurasakan. Aku tidak mengerti jalan pikiranmu, seolah kau dekat kemudian menjauh na--"
Kulihat Ai malah menghampiriku bersama payung transparan yang digenggamnya. Membuatku jadi teduh bersamanya dalam payung itu. Ia menyentuh pipiku, kemudian keningnya menempel di keningku.
"Saat ini, aku terus memikirkanmu sejak kau menghilang,"
Terkena sentuhan yang panas menjalari wajahku itu, aku terdiam.
Ia beralih menatapku, "Meninggalkanmu bukanlah keinginanku. Kau mungkin tidak percaya tapi aku merasa kehilangan. Itu menyakitkan,"
Dengan keberanian yang kugunakan sekali lagi, aku berkata, "Kalau begitu, Ai, apakah kau menyukaiku? Jujur. Kalau tidak, kau bisa tinggalkan aku. Kalau iya--,"
Saat aku bertanya demikian, segala jawabannya akan kuterima dengan lapang dada. Meskipun dia menjawab tidak.
Namun payung itu masih menaungi kami. Ai memegang daguku dengan jemari kanannya tepat aku sedang melebarkan iris mataku secara otomatis. Aku merasakan benda kenyal itu di bibirku. Hembusan napasnya, karbondioksida miliknya beradu dengan milikku. Aku beralih memejamkan mata, mengenggam jas putih miliknya.
"Jawabanku sudah jelas kan? Apa kau ingin jauh dariku?"ungkapnya mendekapku usai menciumku.
Aku mengeratkan pelukan darinya itu. "Kau sudah tahu jawabannya."
Sejak kapan aku mulai menyukainya, aku tidak ingat. Aku hanya kembali merasa nyaman oleh kesunyian di antara kami. Rasa di antara kami. Jiwa di antara raga kami. Karena kebersamaan begitu tidak ternilai harganya dan berarti, melebihi apapun.
♡ ♡ ♡ ♡ ♡
"Mikaze-sama! [Reader]!"
Reiji, Syo, dan Kurosaki memanggilnya tepat kami berjalan kembali ke sini. Kami berjalan beriringan.
Kurosaki menyeringai, "Sepertinya memang ada sesuatu,"
Aku merasakan wajahku memanas, "Se-sesuatu?"
Kurasakan Ai mengalungi leherku usai melipat payungnya, "Dia milikku,"
Dua kata itu membuat suasana sunyi dalam hitungan detik beralih menjadi heboh. Reiji menyikut rajanya sambil mengedipkan mata.
"Berarti [Reader] sudah bisa kembali ke istana dong? Yey~"
Syo menganga, "Mikaze-sama, dengan gadis ini? Kenapa bukan aku? Nanti kan bisa masuk berita acara!"
Ketika aku menghabiskan waktu bersama mereka, keadaannya terasa nyaman dan hangat. Aku menghapus air mataku yang menitik. Bukan lagi air mata kesedihan namun aku terharu.
Aku menemukan tempatku berpulang. Kali ini, bukan lagi sebagai sosok nomaden yang tinggal dalam ketidakpastian.
♡ ♡ ♡ ♡ ♡
Author's POV
Seorang pria paruh baya menghampiri ruangan kayu itu berantakan akan isinya -- porak poranda. Ia melepas kacamatanya kemudian mengelap agar tidak lagi basah oleh tetesan air.
Dia pun duduk di sebuah kursi usang sambil membuka pigura foto. Seorang laki-laki bersurai biru terang dan cokelat tampak bahagia tertawa bersama-sama.
"Aku ingin mewujudkan impianmu sekali lagi,"
Masa kelam lima tahun silam itu menyebabkan kondisi bagi keponakannya. Ketika dia memilih keegoisannya daripada perasaan orang lain. Pria itu sangat menyesalinya. Ia ingin sekali mengubah hal itu di masa lalu dengan masa depannya.
"Aku akan mengembalikan apa yang dulu milikmu dan menghilangkan yang tidak seharusnya ada,"gumamnya menyendiri di dalam ruangan itu.
Tok. Tok.
"Tuan, anda bisa mengunjungi keponakan anda hari ini,"tegur seorang asisten laki-laki yang bekerja dengannya.
Kedua matanya melebar. Itu adalah kesempatan yang tidak disangka akan ia dapatkan.
"Aku akan segera ke sana,"jawabnya beranjak dari kursi.
Semua yang hilang dan akan kembali baru saja dimulai. Yang akan bangkit beralih menguasai kembali. Bagi pria itu, sudah semestinya dia mulai bergerak.
A/N :
Maaf ya agak pendek padahal janjinya 2K words.
Cuma kesannya bertele-tele jadinya dirombak lagi.
Happy birthday to Mikaze Ai ☆
Ini special picnya, kekeke~
Tadinya sih niat bikin one shot tapi kayaknya ga jadi haha / agasshi php / disepak.
See ya on the next part!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro