VI : Learning
Warning : Tidak disarankan melihat mulmed kalau mau mengomentari gambaran peta itu dengan kata-kata negatif. Itu cuma gambaran kasar kira-kira setting tempat FTS yang cenderung digunakan.
Ai benar-benar pergi setelah insiden di antara kami.
Aku membentaknya, tetapi masih menerima benda titipannya. Aku lupa mengembalikannya.
Aku terdiam dan meratapi kalung yang masih setia melingkar di sekitar leherku. Sebenarnya aku tidak seharusnya bertanya, lagipula alasan darinya memang logis.
Tapi aku sakit hati. Sakit!
Tapi aku bukan siapa-siapanya di luar tameng serbaguna yang malah memarahi pihak yang menyelamatkanku. Pada akhirnya, aku merasakan perasaanku campur aduk. Antara menyesal dan kecewa.
"Daripada kau melamun, mendingan perkaya dulu kemampuanmu."suara badass itu tepat berada di telingaku, membuat seolah jantungku terlonjak ke depan.
Aku menatap ke belakang dengan sinis.
Ah, dasar, aku lagi galau juga.
"Apa?" Langsung saja tatapan mata heterokrom milik laki-laki bersurai abu menyambutku saat aku menyahutnya.
"Hidup berleha-leha di saat atasan sedang menjalankan misi, ya?"
Jleb. Itu sarkasme yang indah. Makasih, bang.
"A-anu, aku sudah mau latihan kok!"tidak terima dikatakan begitu, aku beranjak dari posisi duduk menjadi berdiri.
Kurosaki mengacak rambutku kemudian menyeringai. "Kalau begitu lak-sa-na-kan. Aku, Reiji, dan Camus punya segudang misi untukmu,"
Sambil membenarkan rambutku yang jadi berantakan karenanya, aku menatap Reiji dan Camus yang datang tepat di belakang Kurosaki.
"Dalam seminggu, [Reader]-chan akan jadi gadis keren~" Reiji tersenyum membawa tumpukan buku tebal.
Camus berdeham. "Ini misi yang berlangsung seminggu penuh. Karena kau sudah bersiap, kau tidak boleh menarik kata-katamu barusan,"
T-tunggu. Aku belum seratus persen yakin akan kemampuan fisikku.
Keringat dingin mengucur di pelipisku saat aku tertawa garing. "A-ah, aku masih pemula. Keren apanya co--waah!"
Kurosaki menggendong tubuhku dengan satu tangan kanannya yang kekar. Syok, aku menepuk tubuhnya yang bidang. Kalau dia tidak sanggup membawa diriku dan menjatuhkanku dengan tidak cantik, aku akan menghajarnya.
"Tidak ada kata tapi. Mikaze-sama akan membutuhkanmu mulai sekarang,"ungkapnya tidak mempedulikan keinginanku yang setengah mati ingin membacoknya.
Mendengar nama laki-laki itu sekali lagi walaupun kini eksistensinya tidak ada di sini membentuk luapan oleh perasaan rindu yang tidak gundah menetapi hatiku. Meskipun dia telah mengutarakan kata-kata menyakitkan.
♡ ♡ ♡ ♡ ♡
"Satu, dua, tiga, empat...,"
Aku berjalan membawa keseimbangan di atas kepalaku yang menahan buku-buku tebal. Reiji menginstruksiku di sebelah kiri.
"Sudah, ayo belajar table manner," Camus menutup bacaannya sambil melepas kacamata yang melapisi bingkai maniknya.
Belajar, belajar, belajar. Di dalam ruangan yang membuatku tidak nyaman!
Aku mencoba berdiri tegap dalam sekali hentak, akibatnya buku-buku mendarat dengan tidak elegan di sekitarku. Reiji langsung menatapku ngeri.
"Apa.., rasanya tidak sakit?"tanyanya melihat buku tebal itu mendarat berada di kakiku.
Aku menggeleng segera menuju ruang makan yang luas. Tidak banyak penghuni di sana kecuali sederetan pelayan berpakaian hitam putih di sana.
Aku duduk di atas meja yang beredar oleh jenis kuliner yang tidak kuketahui. Yang jelas tidak ada bacon dan telur. Selain itu ada peralatan makan berupa sendok, garpu, dan pisau beraneka ukuran.
"Letakkan sapu tanganmu di paha,"pesan Camus menyodorkan kain putih.
Aku mengangguk kemudian meletakkan sesuai suruhannya. "Aku hanya harus makan kan?"
Camus mengangguk.
Aku memotong daging yang dibalut saus kecap itu dan kutusuk dengan pisau untuk kulahap tetapi jemariku ditahan Camus. Dia menatapku sinis.
"Apa kau sejenis dengan Pithecanthropus Erectus?"
Aku tahu dia ilmuwan, tapi aku tidak bodoh dikatai dengan sebutan yang terdengar rumit itu. Aku, disamakan dengan makhluk primata mirip monyet.
Dasar kurang ajar. Kurang ajar. Kurang ajarrr! Asdfghjkl
(Author : jangan dimasukin ke dalam hati,nak, bagi yang tersinggung)
"Beritahu aku dong kalau aku salah!" Aku memutar bola mataku. Selain Kurosaki, emak Camus sepertinya berminat dalam menyindirku.
Camus memegang tanganku. Diarahkannya garpu dan pisau yang bergerak dengan seharusnya.
"Pisau untuk memotong dan garpu untuk menusuk makanan. Dilarang menggunakan pisau untuk memasukkan makanan ke dalam mulut. Mengerti?"
"Iya, emak,"jawabku puas karena dia mengajariku lebih baik dibandingkan mengejek semau jidatnya.
Dan aku mencoba untuk terbiasa belajar mendengar dan menerima. Segala kejadian yang kualami, benar-benar baru bagiku.
♡ ♡ ♡ ♡ ♡
Sambil menikmati malam dengan berbaring, kini aku bergelung di balik selimut di sebuah kamar tidur yang tidak terlalu luas tetapi cukup huni untuk satu orang.
Badanku sakit semua.
Belajar gaya berjalan, table manner, dan wawasan umum.
Aku tidak tahu apa gunanya untuk kupelajari karena aku adalah tameng. Oh, dan aku ingat label serbaguna.
Keesokan harinya, aku kembali berkutat dalam pelajaran table manner.
"Dengar, kau tidak boleh tampak memalukan dalam seminggu ke depan," Camus menjelaskan sambil menepuk meja.
Aku menarik nafas kemudian menghembuskan dengan memejamkan mata. "Untuk apa semingguan?"
"Mikaze-sama akan kembali. Kami sengaja merayakan event ini untuk pertama kalinya.."
Aku berohria dengan jawaban itu kemudian mengerjapkan mataku beberapa kali. "Eh! Jadi memangnya aku ada kaitan dengan hal itu?"
Kurosaki yang menuruni anak tangga ikutan nimbrung. "Secara publik, akan ada penduduk tertentu yang hadir di sana. Kita semua akan berada di sana,"
Apa yang sedang Ai lakukan dan renungkan di sana, aku ingin tahu. Belum tiga hari dirinya pergi, tetapi eksistensinya sudah diharapkan banyak pihak. Termasuk aku.
Aku harus minta maaf kepadanya. Aku tidak peduli siapa yang salah di antara kami, hanya saja aku sadar aku tidak perlu berandai-andai. Kalau dia tidak menerimaku, aku yang akan meyakininya untuk menerimaku.
Aku sadar, aku ini sebongkah beban dari sekian banyak konflik yang harus dihadapi Ai. Secara internal, aku memiliki misi yang buram. Aku ingin tahu keberadaanku di matanya seperti apa. Sesimpel itu di pemikiran, serumit itu menjalaninya.
♡ ♡ ♡ ♡ ♡
Aku berjalan di lorong untuk menemukan angin segar di malam hari setelah seharian berada di dalam istana -- tubuhku justru lebih menikmati udara di luar ruangan yang lebih menyebar.
"Nona,"
Aku menoleh ke sekeliling tetapi tidak ada siapapun. Mungkin aku hanya sedang melamun.
"No-na~"panggilnya terdengar mengeja. Terdengar suara gemerisik atas dedaunan yang berguguran di seberang.
Ternyata seseorang sedang berbaring di hamparan rumput hijau. Tempatku biasa berlatih. Aku menghampiri laki-laki bertubuh maskulin yang eksotis karena warna kulitnya yang sedikit gelap tetapi tidak menurunkan paras tampannya.
Ah, dia yang mengacungkan pedang kepadaku di episode dua.
"Aijima kan? Kau memanggilku?"aku bertanya sambil menunjuk diri sendiri.
Aijima mengangguk. "Aku tidak mungkin memanggil kucing tetangga,"
Aku menatapnya yang kini berdiri di hadapanku. Dirinya mengaduh sesaat ketika melihat sikutnya terluka dan sedikit mengucurkan darah.
"Hee.., kok bisa terluka?" aku mengaduk isi celana pendekku. Berkat Tomochika, aku mendapat saran untuk sering membawa P3K mini.
"Aku suka terjatuh kalau memanjat pohon."
Aku mendecak. "Kalau infeksi karena tidak diobati, lukamu akan lama sembuh,"
Aijima terkekeh. "Kukira kau gadis yang sombong."
Sambil mengoleskan alkohol, aku berkata, "Aku malah yakin kalau kau adalah psikopat,"
"Kejam sekali loh, haha!"sahutnya terkekeh.
Kami saling tertawa sesekali Aijima mengaduh sesekali saat aku mengobati lukanya. Setelah aku mengobati lukanya, aku ikut berbaring di hamparan rumput di sebelahnya.
"Apakah tidak menjadi perompak lagi terasa aneh buatmu?" Aku bertanya tanpa menolehnya sambil menatap bintang yang tidak terhitung jumlahnya.
"Aneh sih sudah pasti, tetapi aku menemukan hidup yang lebih baik setelah bertemu Mikaze-sama. Petualangan sebelumnya jauh lebih menegangkan sekaligus menyenangkan."
Aku menopang kepalaku dengan kesepuluh jemariku. "Dan tiba-tiba saja kan, dia meminta kalian hadir di acara formal minggu depan?"
Aijima menolehku. "Ini pertama kalinya dia menyelenggarakan acara seperti ini. Dia tidak pernah peduli walaupun kami menang perang. Aku rasa ini lebih mirip acara penyambutan untukmu. Lagipula hari kedatangan Mikaze-sama nanti, istana akhirnya bisa dibuka untuk publik,"
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. "Aku? Hahaha, mana mungkin sih, dia ...,"
Aku merentangkan tanganku ke atas, seolah-olah meraih bintang di angkasa. Berjuta kejadian dialami oleh siapapun, di kondisi manapun.
"Entahlah. Yang penting kalian bahagia. Aku juga akan ikut bahagia,"ungkapnya menunjukkan deretan giginya yang rapi.
Bahagia. Aku rasa semua orang mengejar perasaan itu.
Baik Ai juga yang berada jauh di sana.
To be Continued...
Ada yang berminat buat fan art Ai? Kalau mau sila komentar ya, mungkin nanti bisa dipajang di bagian teks yang cocok di adegan episod berikutnya atau A/N.
Agasshi sudah mulai sibuk kuliah nih '-') kayaknya bisa sekali seminggu update deh.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro