Bab 8
Suara teriakan Yura membuat semua murid di kelas melihat kearah, seketika Yura pun malu. Kan dia tak pernah menjerit seakan melihat setan di depan para murid, gara-gara suami laknatnya, dia harus rela mempermalukan dirinya sendiri.
"Kalian kerjakan tugas yang Ibu berikan tadi. Ibu tinggal sebentar, ada urusan." Yura merengkuh kasar tangan suaminya ke luar kelas. Bisa-bisa membuat harga dirinya jatuh di depan muridnya.
Lalu apa lagi yang Yura kalau tidak ingin membasmi pria satu ini. Enyah kek dari hidupnya segera, nggak tahu kali rambut Yura sudah rontok, bisa tambah rontok gara-gara suami brenseknya ini selalu membuat hidupnya tak tenang. "Kamu itu harus pakai bahasa apa sih supaya ngerti, hah?" gumam wanita ini geram.
"Bahasa cinta." Sekalian saja Raga gombalin, biar Yura klepek-klepek. Namanya juga usaha harus keras, bat.
"Jangan buat aku jijik di sini." Yura udah nggak kemakan gombalan Raga lagi. Udah pada basi, sama kayak dia udah basi, kan bekas orang.
"Dosa lho jijik sama suami sendiri, kamu itu harus belajar terima aku, minimal cintanya itu ditambah satu persen." Berharap bolehkan, baru kali ini Raga kesusahan meluluhkan hati wanita, dan tololnya, perempuan itu mantannya pula.
Kenapa nggak Yura saja dulu yang hamil? Kan dia jadi enak. Haha.
Namun jika dia masih bersama Yura, kemungkinan dia masih se-brensek dulu. Bisa-bisa dia punya bini dua atau tiga, bisa tambah benci Yura dengannya.
"Raga, suamiku yang baik, aku kan lagi ngajar. Bisa nggak kamu tunggunya tempat lain." Jarang-jarang lho Yura mau berkata lembut dengannya, dia pun terpaksa bicara lembut sembari melebarkan senyum ter-termanisnya.
"Wah, ada kemajuan kamu." Raga terkekeh. Dia santainya dia menowel ujung dagu Yura, dan parahnya ada penugas kebersihan melihat mereka, sehingga petugas itu tertawa.
Lagi-lagi Yura merasa malu sekali. Entah mau berapa kali wibawanya sebagai guru jatuh karena Raga.
Baru pertama kali, dia mengikutinya ke sekolah sudah membuat masalah.
Astaga, harus sabar berapa banyak lagi Yura. Wanita ini sampai mengelus dada lho.
"Raga, kamu boleh kok menunggu aku selesai mengajar, tapi aku mohon, kamu nunggu tempat lain," ucap Yura. Dia sampai lelah sendiri dengan tingkah Raga, daripada makan hati, lebih makan nasi biar kenyang. Raga sih suka bikin emosi, wanita itu kan ingin dimengerti. Dasar Raga!
"Boleh saja, tapi ada syaratnya lho." Kapan lagi punya kesempatan begini? Harus dia manfaatkan sebaik mungkin, jangan kasih kendor.
Yura menghempaskan napas kasarnya, sudah dia duga Raga pasti minta imbalan. Mana ada yang gratis. Hidup ini keras, dan mahal. Asem memang sih Raga. "Ya udah, sebutkan apa syaratnya?"
"Gampang. Cukup kita sekamar," ucap Raga enteng. Itu muka terbuat dari apa ya, kagak berdosa banget.
"Gila! Enggak mau." Yura sampai menjerit saking shock-nya. Mulut wanita terbuka selebar-lebarnya. Susah payah dia membuat mereka tidur pisah kamar, masa harus sekamar, seatap dengan pria ini saja membuat Yura jengkel setengah mati.
"Ya sudah, kalau begitu juga nggak mau pergi dari sini." Raga pun tak segan-segan tetap berada di sini, kalau perlu bergeledotan terus samping wanita ini.
Yura melirik jam di pergelangan tangannya. Ternyata waktu mengajarnya masih satu jam lagi, lumayan jika harus berhadapan pria ini terus menerus, bisa-bisa mati mendadak dia.
"Oke. Kita satu kamar, itu kan yang kamu mau. Mulai hari ini kita tinggal satu kamar." Meski harus menderita semalam hanya demi satu jam ini, dia pasrah saja. Sudah seharusnya sih mereka satu kamar. Yura juga sih ngada-ngadi, masa suami istri pisah kamar.
"Deal?" Raga menyodorkan tangannya sebagai perjanjian. Tentu, dia antusias sekali. Kemajuan pesat, baru sehari bisa sekamar.
"Hmmm." Yura hanya dapat berdehem sambil menyambut tangan Raga.
*
Setelah selesai mengajar, Yura pergi ke rumah Hendra untuk melihat pak tua itu. Biar pun matre Hendra tetap ayahnya.
"Yura." Baru juga dia turun dari mobil sudah mendapatkan tamu tak diundang. Yura tak begitu kaget sih, pasalnya tamu tak diundang ini sahabatnya sendiri.
"Melisa, lo kapan datangnya?" tanya Yura memasang muka lemas, gara-gara Raga semua rencananya berantakan.
Melisa tak menjawab, dia malah tercenggang melihat sosok Raga bisa bersama sahabatnya. Seperti mimpi melihat mereka bisa bersama lagi. Setahu Melisa Raga kan menikah dengan sahabat laknatnya itu.
"Raga, ini benaran lo. Gua mimpi apa semalam lihat lo ada di sini? Kok kalian bisa bareng sih?" ah, langsung Melisa kepoin mereka. Beneran langkah kejadian seperti ini.
"Lo pikir gua setan. Ya, benaran gua lah." Ya kali setan ada ganteng, kalau ada mbak kunti pasti felling in love dengan Raga. "Lo belum dengar berita terhangat sejagad raya?" Melisa menaiki alisnya satu nanar, heran lah dia berita apa yang telah dilewatinya. Kelamaan di Bandung jadi ketinggalan berita hot deh
"Berita apaan? Heboh banget kayaknya. Kasih tahu gua dong." Melisa penasaran banget, dia sampai merengek kepada Yura.
"Beritanya nggak seheboh yang lo pikirkan," ucap Yura ketus. Hanya berita mereka nikah, tak penting bagi Yura, nikah itu kan dilandaskan atas dasar cinta, bukan paksaan. Miris banget sih nasib Yura.
"Ra, apaan sih? gua jadi kepo. Kasih tau kek sama gua." Melisa menguyur tubuh Yura dengan kencang agar segera memberitahuya. Dia kan tahu banget lah kisah cinta mereka berdua yang berujung sadis. Sayang sekali Melisa nggak tahu kisah cinta mereka ada part dua. Hohoho.
"Yura dan gua udah nikah," ungkap Raga sambil menunjukan jemarinya dan Yura yang tersemat cincin pernikahan. Raga terlihat antusias sekali memberitahu berita pernikahannya.
Melisa malah tertawa geli. Mana mungkin dia percaya, secara dia tahu banget Yura sangat membenci Raga, wanita yang dulunya air sekarang jadi api. Enggak mungkin banget Raga bisa meluluhkan hati sahabatnya ini, lagi pula Raga masih menikah dengan Alfira, masalahnya seminggu yang lalu, dia melihat sendiri Raga berjalan dengan Alfira dan anak mereka.
"Hahaha. Sorry, Ga. Gua nggak maksud ketawain lo, tapi benaran deh candaan lo nggak lucu." Melisa terkekeh geli, khayalan Raga terlalu berlebihan baginya. Nggak sekalian bilang sih Yura hamil, biar lebih heboh. "Gak mungkin Yura mau dijadikan istri kedua lo, adanya Yura benci sama lo." Blak-blakan sekali mulut Melisa, main asal bunyi. Ya, dia kan cuma bicarakan fakta, nggak dilebih-lebihkan kok.
"Dia nggak bercanda gua memang nikah sama PK ini," kata Yura langsung menyelonong masuk ke dalam rumah ayahnya.
"Pk?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro