Bab 5
Jelas Raga tidak ikhlas, jika harus melepaskan Yura untuk kedua kalinya. Memang sih Raga yang salah, wajar Yura sampai membencinya.
Namun dia tidak akan pernah mundur, hanya meluluhkan hati Yura tak akan sulit, apalagi dia sudah pernah mengetuk pintu hati istrinya itu. Pede sekali sih babang Raga satu ini.
Sebagai istri Yura sudah menyiapkan segala keperluan Raga, dari air hangat untuk mandi, pakaian, bahkan sarapan. Padahal kan Yura harus ke sekolah pagi-pagi sekali. Kebanyakan perempuan memang gitu sih, strong. Baik sekali Yura.
"Pagi istriku, sayang." Raga baru keluar menghampiri Yura. Dia sumringah melihat beberapa makanan sudah tersedia, kalau biasanya dia langsung berangkat, tanpa sarapan. Eh, sekarang udah ada yang mengurusnya, sedap beneeer dah.
"Ih jijik." Yura bergidik geli. Ah, masih pagi sudah buat semangatnya down, dia kan harus mengajar, bukan dapat semangat, Raga membuatnya kehilangan mood. Sih Yura bukannya senang dapat sapaan dari suami, dia malah kesal, sebelum-sebelumnya kan yang menyapa selalu kedua keponakan tengilnya.
"Jangan jijik, ntar bucin." Seolah-olah dia tak peduli, Raga sekarang justru tak ada habis menggoda wanita cantik ini.
"Nggak ada bucin-bucinan, aku ogah banget termakan rayuan kamu." Lagian kan dulu udah pernah, dan sekarang harus waspada, sih Raga ini bagaikan penjahat dalam hidupnya. Jangan sampai masuk lubang buaya yang sama, bisa tekanan batin dua kali. Nanti malah ada drama poligami karena hamili anak orang lagi.
"Enggak boleh gitu sama suami sendiri. Asal kamu tahu surganya istri ada bersama suami, pernah belajar agama, kan." Kali aja luluh, lumayan dapat sedikit belas kasih Yura. Enggak ada maksud bawa-bawa agama sih, kan benar surga istri ada kepada suaminya.
"Tapi kalau suaminya bajingan kayak kamu sih, buang-buang waktu istri untuk patuh, adanya makan hati." Menikah dengan Raga membuat hidupnya yang sudah susah, tambah susah. Setiap hari harus melihat wajah Raga, bisa muak. Ada enaknya sih karena Raga kan orang kaya, dia tidak perlu khawatir dan dicecar jadi beban oleh adiknya lagi. Kadang-kadang harus butuh alasan untuk menikah, dan alasan terbesar Yura, karena kelicikan Raga.
"Hati ayam, sapi, atau kambing. Kamu jangan benci-benci amat sama suami sendiri, dosa loh. Tugas istri itu menurut sama suami, layani suami dengan baik, apalagi kalau di ranjang," ucap Raga sambil menaiki alisnya berulang kali. Beuh, nggak ada akhlaknya, lagi makan ngomongkan ranjang. Dasar penjahat kelamin, hobbynya gesek-gesekan, basah baru tahu rasa.
Uhuk...
Yura sampai tersedak, gara-gara sih ranjang itu. Ingat kejadian basah-basah enak kemarin. Duh, masih pagi juga udah dibikin hareudang. Enggak lucu deh main pagi-pagi gini.
"Kamu itu bisa nggak sih, bicaranya yang berbobot. Ini otaknya malah ranjang, nanti tumpul tuh pedang," sewot Yura.
"Takut ya pedang aku tumpul, tenang nanti aku asah, biar enak mainnya." Raga terkekeh geli dengan kata-kata dia sendiri. Nih mulut makin anjay, enggak ada rem sama sekali.
Perasaan dulu sama Alfira nggak gini-gini amat, nikah tanpa cinta memang nggak enak, apalagi saat itu Raga sangat terpaksa. Dia pun tak pernah menyangka Alfira akan hamil, padahal main baru sekali, huh.
Sebenarnya aneh juga, karena Raga pakai pengaman, dia sangat berhati-hati, maklum pada waktu itu dia anak crazy rich yang diminati banyak gadis, barangkali ada yang ingin menjebaknya. Eh, ternyata sih Alfira hamil anaknya pula, dia sama sekali nggak pernah menggoda Alfira, justru perempuan laknat itu menggodanya, mau gimana lagi, kucing dikasih makan ikan, ya mau lah.
"Daripada bicara yang enggak ada manfaatnya, lebih baik cepatan sarapannya, aku harus ke sekolah." Yura sudah terlambat, dia harus buru-buru pergi. Sebenarnya dia diberikan ijin cuti, hanya Yura menolak, alasannya sih karena anak-anak sebentar lagi mau ujian.
So, dia ingin tetap mengajar, padahal dia menghindar honeymoon, ogah banget honeymoon. Enggak ada cerita bulan madu-maduan.
"Untuk apa sih kamu masih ngajar?" tanya Raga. Mau protes, takut Yura marah, mau tidak mau setuju keputusan wanita ini yang masih ingin menjadi guru. Dia kan bisa kasih apapun yang Yura mau.
"Cari uang lah, aku nggak mau hidup dengan uang kamu, lagi pula aku ada ayah yang selalu butuh uang untuk kehidupannya." Yura enggak mau egois, meski Hendra Hazmi yang sudah membuatnya terjerumus dengan pernikahannya ini, tetapi sama sekali Yura tidak lupa untuk memberi uang bulanan.
"Aku bisa kasih kamu uang. Gaji kamu itu paling cukup buat beli bahan makanan di dapur," ujar Raga. Tanpa disadari, dia sudah merendahkan Yura.
"Kamu pikir uang aku enggak cukup, dari dulu aku dan ayah cukup-cukup aja." Meski adiknya, Aira juga membantu.
"Iya-iya aku tahu uang kamu cukup, tapi aku kan suami kamu, ya, udah tugas aku kasih nafkah sama kamu." Tumben dia sedikit bijak, belajar darimana, hehe.
"Enggak perlu, ya. Aku bisa sendiri, kamu nggak perlu sok jadi suami yang baik, jadi pacar aja dulu udah nggak becus." Selalu ingat yang dulu-dulu, sih Yura nggak bisa terima kenyataan atau apa sih.
"Aku dosa kali ngelantarkan kamu."
"Biarin! Biar dosa kamu bejibun." Entah hati Yura sekarang terbuat dari apa, sulit sekali untuk ditembus, tenang babang Raga, masih ada hari esok untuk berjuang lagi, 30 hari masih panjang.
"Astaga, sama suami sendiri gitu amat. Kamu nggak takut sama api neraka, hah?" untung sih suami masih punya stock batas sabar tak terhingga, maklumlah hadapi Yura sekarang harus hati-hati, salah sikit bisa innalillahi.
Mana ada sih orang enggak takut api neraka, dia juga takut lho.
Lagian Yura, hanya besar gengsi. Dia tak mau kelihatan masih menyimpan rasa di hatinya, sebesar apa rasanya? Dia pun tak tahu, semoga saja rasa itu cepat hilang. Ini Yura nggak doyan babang ganteng ya, banyak yang antri kok, kalau nggak mau.
"Masalah takut atau enggak, itu urusanku," hardik wanita ini. Dia bangkit dari duduknya, semakin lama bicara unfaedah, dia akan semakin menghabiskan waktu yang terbuang sia-sia.
"Eh, kamu mau ke mana?" Raga mencekal tangan sih Yura.
"Ke sekolah, lah. Masa aku mau ke neraka, mati juga belum." Saking malasnya, Yura ingin buru-buru meninggalkan pria ini yang masih sarapan sendiri.
"Aku antar, ya." Raga sampai berhenti sarapan, demi membuat Yura terkesan.
Selain itu, pernikahan mereka kemarin sederhana, tidak ada perayaan apapun, itu juga karena permintaan Yura, mau tidak mau dia setuju. So, Raga ingin menunjukan jika dia suami dari Yura, takutnya ada yang menggoda istrinya.
"Enggak." Dia pikir Yura bocah kali, pakai diantar-antar segala, sebelum ada suami, wanita ini berangkat sendiri.
"Eng--"
"Aku bilang enggak ya enggak!" sambar Yura. Dia lebih baik pergi naik ojek, panas-panasan, daripada jadi bahan pembicaraan di sekolah.
"Pokoknya aku akan tetap antar kamu. Titik."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro