Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4

Yura terbaring di ranjang, dia menutupi tubuhnya dengan selimut. Tatapan wanita ini tampak mengerikan, seperti macan buas kelaparan, tinggal mencari mangsa yang siap dia terkam.

"Aku harap tidak akan pernah hamil anak dari laki-laki bajingan seperti kamu," cecar Yura. Sepertinya wanita ini tak ada puas-puas memancing emosi Raga.

"Kamu itu istri aku, Yura. Sudah sewajarnya jika kamu hamil anak aku." Yura malah tertawa miris mendengar kata-kata dari Raga. Lah, dia kan udah punya anak, untuk apa hamil lagi, kagak ada gunanya lahiran anak biadap satu ini.

"Apa tak ada wanita lain yang bisa kamu nikahi, selain aku? Atau stok dayang-dayang kamu sudah habis, sehingga harus nikah dengan mantan kamu sendiri," ujar Yura dengan memberikan tatapan iblisnya kepada Raga. Masa sih buaya ini kehabisan stok, nggak mungkin banget.

"Harusnya kamu bersyukur memiliki suami seperti aku. Di luaran sana, banyak wanita mengantri jadi istri, bahkan simpananku," ucap Raga dengan bangga. Seolah-olah tak pernah berbuat dosa dengan Yura, padahal jelas dia pernah membuat Yura patah hati, sehingga wanita itu menjomblo begitu lama, jadi perawan tua pula. Ups, keceplosan. Hehe.

"What? Bersyukur? Cih, tak akan pernah, aku akan bersyukur jika kamu hilang dari hidupku selamanya." Nggak ada untung-untungnya buat Yura nikah dengan Raga, adanya buntung kali.

"Tidak akan pernah, aku sudah pernah bilang kan, jika urusanku dan Alfira selesai, aku akan kembali dengan kamu." Anjay sih Raga. Emang Yura barang, dibuang, lalu dipungut kembali. Sial banget nasib Yura menjadi istri Raga, udah belagu, menyebalkan, merasa paling berkuasa.

"Kamu pikir aku mau, setelah semua kebiadapan kamu lakukan. Hello, Tuan Raga, aku masih punya harga diri." Tidak peduli seberapa besar Yura membencinya. Dalam kamusnya, pantang mundur sebelum maju. Dia yakin nanti juga hati Yura luluh dengan gombalannya.

"Aku akan beli dengan cara apapun harga diri kamu." Yaelah beli harga diri, udah kayak beli skincare tinggal pesan online, langsung datang. Enggak pakai ribet-ribet lagi. Ngelawak kali sih Raga.

"O iya, kamu bisa beli harga diri aku. Semudah itu? Dengan cara apa?" Yura tidak akan membiarka harga dirinya diinjak-injak, apalagi dengan Raga yang telah menjadi salah satu alasan dia tak ingin membuka hatinya. "Ah, sudahlah. Keluar dari sini, aku tidak mau kita sekamar, jika kamu ingin mengeluarkan nafsu baru ke sini. Anggap saja aku seperti pelacur di rumah ini," lanjut Yura membuat Raga menggelengkan kepala tak percaya. Sebenarnya jijik juga disentuh Raga, tapi mau gimana lagi, dia harus mau. Geli-geli enak soalnya.

"Kita suami istri, sudah seharusnya satu kamar," protes Raga. Masa udah sah nggak satu kamar, tega amat sih Yura. Kasian atuh titid yang berada di balik dalaman Raga.

"Enggak akan pernah. Jangan mimpi kamu!" bentak Yura. Wanita ini bangkit dari ranjang, dia membongkar isi kopernya, karena baru menginjak rumah ini, dia belum sempat memasukan pakaian di dalam lemari. Boro-boro rapikan, baru sampai sudah dicicip saja martabak mininya.

"Yura, ini kamar aku, dan akan jadi kamar kita. Kamu tidak bisa membantah." Raga mendekat dengan tatapan sadisnya. Tak peduli apapun pendapat Yura mereka harus tetap satu kamar.

"Oh, jadi kamu merasa punya hak atas aku. Setelah drama pernikahan yang kamu buat ini. Kamu pikir  dengan mengancam aku, kamu bisa miliki hati aku lagi, adanya aku semakin benci sama kamu. Laki-laki kayak kamu ini, harusnya enyah di muka bumi ini." Astaga, ini perempuan kalau soal memberi kritikan, badas banget dah, tak pakai otak, apalagi hati, main asa jeplak aja tuh mulut.

"Fine, aku minta maaf. Kamu enggak suka atas pernikahan ini, tetapi kamu udah nggak bisa apa-apa, aku udah jadi suami sah kamu, mau nolak gimana pun, aku tetap suami kamu." Benar jug yak, di kan suami Yura, suka nggak suka, Yura harus terima. Untuk saat ini Raga harus bisa mencari cara meluluhkan hati keras Yura.

*

Malam pertama mereka, menjadi malam hening, bagaimana nggak hening, Yura maupun Raga tidak ada yang memulai bicara layaknya sepasang suami istri pada umumnya.

Saat ini Yura tengah duduk di sofa sambil mengoreksi tugas-tugas muridnya. Ia sama sekali tidak mempedulikan Raga yang tengah memperhatikan dirinya. Namun itu sama sekali tidak menganggunya, mau Raga lihat sampai besok pagi, dia tetap tak peduli.

Memang ya kita enggak bisa balik ke masa lalu, di mana ketika menyakiti hati seseorang, dan buruknya orang itu sangat membenci kita. Seperti Raga rasakan, dia mengharapkan Yura masih ada rasa, boro-boro ada rasa, untuk meliriknya saja ogah-ogahan.

"Yura," lirih Raga memanggil istrinya yang fokus dengan lembar-lembaran kertas di hadapannya.

Namun Yura mengacuhkan pria berparas tampan ini, jangan harap menoleh, dia melirik saja tak sudi. Anggap angin lalu yang lewat memanggilnya.

"Yura, aku minta maaf atas yang pernah terjadi dulu." Dia sadar mungkin kata maaf ini akan membantunya mendapatkan cinta Yura kembali. Walaupun tahu ujung-ujungnya Yura akan menunjukan keketusannya, maklum darah wanita ini tinggi, jika melihatnya. Mungkin kalau tensi, bisa meledak alat tensinya.

Mendengar kalimat 'maaf' dari mulut bajingan berdarah playboy cap kadal ini, sontak Yura mendelik ke arah Raga. Ada hati juga dia, sampai-sampai bisa mengatakan maaf, selama ini kemana saja, lupa punya salah, terus dengan maaf bisa mengubah segalanya. Dasar suami nggak ada akhlaknya. "Kamu punya salah?"

"Ya, aku punya salah sama kamu, aku bermaksud minta maaf, dan aku janji, kamu sekarang akan jadi wanita satu-satunya di hidup aku," ucap Raga dengan muka penuh penyesalan. Dia mendekat berlutut di depan Yura.

Astaga, mendadak isi perut memberontak seakan minta dikeluarkan. Kata-kata Raga menjijikan sekali, entah darimana dia belajar. "Kamu yakin aku satu-satunya, bukan kamu nggak pernah cukup satu."

Sudah Raga duga, jika Yura akan terus menyela, tidak semudah yang dia pikirkan. Satu-satu wanita paling sakit saat dia menikah dengan Alfira, yaitu Yura. Padahal banyak kok wanita-wanita lain juga yang Raga dekati, tetapi memang Yura yang hancur hatinya. "Kamu enggak percaya?"

Dih, Raga mana mungkin Yura percaya gitu saja. Udah ditinggal nikah, terus datang seolah-olah tak pernah terjadi apapun, ya kali Yura bisa terima. Ini manusia yang punya rasa sakit, pikir tuh pakai otak, jangan dengkul melulu.

"Percaya sama kamu, bisa habis-habiskan energi aku," Yura berdecak. Tak menanggapi Raga yang tengah berlutut memohon maaf kepadanya. Enak ya udah goreskan rasa sakit, terus minta maaf. Jangan mentang-mentang orang kaya bisa menindas Yura yang hidupnya sederhana.

"Apa yang harus aku lakukan agar dapat maaf kamu?" Raga bangkit, dia seperti orang yang frustasi, takut ditolak cintanya. Baru kali ini seorang Raga memohon cinta dan maaf dari wanita. Selama ini kan wanita yang selalu berdatangan. Yura memutar bola matanya berpikir.

Yura menghentikan langkahnya, dia menoleh ke arah Raga sembari menyemat senyum hambar. "Aku kasih kesempatan kamu 30 hari untuk memperbaiki semuanya dan membuat aku kembali cinta, jika dalam 30 hari kamu gagal kita cerai, bagaimana setuju?" ucapnya. Yura optimis Raga tidak akan mampu membuatnya terkesan, apalagi cinta seperti dulu. Ya, memang dia masih ada rasa, tetapi rasa itu bercampur dengan kebencian dengan setiap melihat wajah laki-laki itu, apalagi mengingat betapa sakit hati Yura saat Raga menikahi sahabatnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro