Bab 15
Yura dan Tian sangat bersemangat, kelaparan mereka menghilang ketika menemani binatang peliharaannya di salon.
Sebelum membawa kucing ini pulang, Raga untuk membawa ke salon khusus kucing. Maklum lah, kucingnya kotor, kumannya pasti di mana-mana. Dan setelah ini akan membawanya ke dokter binatang, agar disuntik rabies.
Demi keselamatan semua orang, apalagi dia sama sekali tidak tahu berasal dari mana kucing ini, dan apa saja yang dimakannya.
"Tian, harus rawat hamsternya dengan baik, kalau enggak Papi marah loh, jangan lupa disayang juga, kasih makannya yang teratur." Yura memberikan nasehat ala kadarnya ke Tian. Ya, namanya bocil cuma suka-suka, takutnya nanti malah sih hamster mentok.
"Siap, Tante." Tian sangat bersemangat, kan jarang-jarang ayahnya itu memberikan dia izin mempelihara hamster. Kapan lagi coba?
"Bagus, anak ganteng." Yura tersenyum sambil mengelitik kecil dagu Tian.
"Papinya enggak ganteng gitu," protes Raga. Yang berjasa di sini kan dia, masa enggak dapat pujian sama sekali. Lah, sih bocil ini enggak berbuat apa-apa dapat pujian.
"Iya, kamu juga ganteng kok."
Iyakan aja deh, daripada Raga berubah pikiran. Kasian kucing malang ini.
"Kamu mau beri nama kucing ini siapa?"
Ah, Yura sampai lupa mau memberikannya nama. Dia bingung nama yang bagus untuk kucingnya. "Menurut kamu bagusnya siapa?"
Raga melirik kucing yang berada di kandang, dia mendelik sinis, bagaimana tidak, itu kucing enak banget di pangkuan istrinya. Sedangkan dia harus fokus dengan mobil-mobil di depan, dan sekarang malah minta nama untuk kucing ini pula.
"Mikky, Milly, Messie, atau Manis."
"Ih Milly dan Messie itu kan nama mantan kamu," celetuk Yura sebal. Ingatannya kan cukup baik mengingat salah satu mantan-mantan Raga yang banyaknya minta, bisa bikin klub sepak bola Raga jika mengumpulkan satu persatu mantannya.
"Kamu masih ingat?" Raga saja sudah lupa Messie dan Milly yang mana, mantannya kan banyak, saking banyak dia selalu lupa, bahkan kalau ketemu selalu salah menyebutkan namanya. Cuma satu yang selalu melekat di otak dan hatinya, yakni wanita sekarang telah menjadi istrinya.
"Masih banget." Mata Yura sampai melotot kesal, kalau bisa keluar, keluar tuh bola mata. Setiap membicarakan mantan-mantan Raga seakan seluruh tubuhnya mendidih. Apalagi di situ letak kebodohan Yura. Nah, Yura mantannya cuma satu Raga, dan lebih menyebalkan menikah pun harus dengan Raga. Jodoh memang enggak ada yang pernah tahu, ya.
"Kamu dari dulu enggak berubah, ya. Setiap bicara mantan aku, kamu itu panas dingin, tenang yang ada di hati aku cuma kamu kok." Mulai deh sih Raga besar kepalanya, belum pernah ditampar bolak-balik kali Raga.
"Siapa yang panas dingin? Jadi suami jangan suka kepedean." Gengsi dong Yura mau mengakui perasaannya, ada sih, tapi dia sendiri menyangkal rasa itu.
"Barusan itu apa? Emosi? Pakai teriak-teriak lagi, pendengaran aku baik kok, sayang. Enggak perlu kamu teriak-teriak." Raga bisa saja memancing emosi Yura semakin kesal.
"Ya, kamu yang mulai. Aku itu engg--"
"Shutts... ada Tian." Astaga, Yura sampai lupa ada Tian yang mendengar pertengkaran kecil mereka. Dia pun menoleh sejenak, melihat Tian yang hanya menyengir.
"Tante minta maaf udah marah-marahkan Papi kamu." Takutnya Tian malah membencinya nanti, dia enggak mau itu terjadi. Entah kenapa Yura sangat menyayangi Tian, walaupun mereka baru beberapa hari ini dekatnya.
"Enggak pa-pa kok, Tante. Mami juga sering marahkan Papi depan Tian, sampai-sampai teman Papi diusir dengan mami." Tian yang polos, cerita apa yang pernah dia lihatnya saja, dia sama sekali tidak ngadi-ngadi.
"Teman? Kenapa mami usir?" tanya Yura kepo.
Mendengar pembicaraan yang sudah tak wajar ini, sontak Raga menghentikan mobilnya. Untungnya sudah di parkiran mall.
Setelah mengalami kemacetan nyaris satu jam dan belum lagi singgah sana-sini, akhirnya mereka sampai juga di mall.
Dan kesal pembicaraan mereka sudah tak berbobot lagi. "Tian, jangan dilanjutkan."
"Sayang, lanjutkan saja. Tante mau dengar dong." Yura kan sudah terlanjut kepo, masa mau dihentikan. Kalau dia mati penasaran, gimana? Ada yang mau menanggung?
"Tapi Papi enggak boleh." Tian takut uang jajannya malah dipotong.
"Jangan dengarkan Papi, pokoknya semuanya Tante tanggung jawab," ucap Yura sangat lembut sembari memberikan senyuman yang paling manis.
Raga memasang muka melas ke Tian, berharap putranya tutup mulut. Bisa-bisa Yura semakin membencinya, lebih parah rumah tangganya hancur.
"Benaran ya, Tante." Sesekali Tian ingin memandang muka Raga, tapi Yura sengaja menutupinya. "Papi, jangan marah, ya. Tian kan cuma bicara jujur. Hehe." Jujur kan enggak dosa.
"Mami itu marah karena teman Papi itu perempuan, Tante. Cantik, bajunya itu robek-robek," ujar Tian melanjutkan ceritanya yang terpotong.
"Itu bukan robek-robek, Tian. Modelnya memang gitu," sahut Raga membenahi kalimat Tian.
"Kamu dilarang bicara! Diam!" sergah Yura dengan tatapan yang tajam. Otaknya mulai bekerja dengan kelakuan Raga yang tak pernah berubah.
"Lanjut, sayang," ucap Yura lagi.
"Terus mami marah, karena tante waktu itu berani cium Papi." Raga menepuk jidatnya, habis hidupnya setelah ini. Kenapa juga Tian itu polos banget?
"Cium? Terus Papi kamu sendiri waktu itu, gimana?" Yura bertanya sambil mendelik Raga yang sudah tertunduk tak berdaya.
"Papi balas cium juga." Dada Yura semakin panas. Fix, Raga enggak pernah berubah, kalau memang dari awal playboy, sampai kapan pun akan tetap sama. Dasar cap kadal!
"Aku bisa jelaskan ke kamu, Ra." Raga tidak mau Yura salah paham, dan mengira dirinya masih suka gonta-ganti perempuan.
"Jelaskan apa? Hah?" Dia kan tidak bodoh, mana mau ditipu terus menerus. Belum juga berhasil membuat hatinya luluh, sudah membuatnya patah. Raga memang keterlaluan, mulutnya berbisa.
"Tian itu kan masih kecil, bisa jadi kesimpulannya salah."
"Justru Tian masih kecil itu jujur, laki-laki kayak kamu itu memang susah dipercaya." Yura pernah kali tersiksa batinnya karena laki-laki ini. Ya tabiatnya udah gitu, mau diapakan lagi.
"Aku kan bilang mau berubah, berubah itu butuh proses, Yura. Kamu harus percaya itu." Sejak menikah dengan Yura, dia sudah meninggalkan dunia gelapnyan itu, seperti minum, main perempuan, dan kelayapan tak jelas.
"Aku udah enggak percaya sama kamu, dan lebih baik kita bicarakan ini jangan depan Tian. Kasian dia masih kecil, kalau tahu kelakuan bapaknya," sindir Yura sinis.
Sebenarnya dia tidak terlalu berharap Raga berubah, tapi tak tahu mengapa perasaannya tersayat mendengar pernyataan Tian tersebut.
"Tian udah besar, Tante." Buktinya Tian sudah bisa mengerti, jika kedua orang tuanya tidak tinggal bersama lagi.
"Gara-gara kamu tuh," ucap Yura pelan dengan menekan suaranya. Dia menatap sebal Raga, lantaran dia tak enak hati mendengar komentar Tian itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro