Bab 14
Sejak menikah ini pertama kalinya mereka dinner di luar, itu juga karena Tian yang minta. Kalau Raga yang minta sih Yura ogah-ogahan. Apalagi kalau cuma berdua, lebih baik jangan.
"Kamu kok duduk di belakang?" tanya Raga melihat Yura yang duduk samping putranya.
"Emangnya kenapa? Terserah aku dong mau duduk di mana pun," ucap Yura ketus. Enggak mau lah dia dekat-dekat Raga, tuh muka kagak dosa banget setelah bentak Yura.
"Tapi aku bukan supir," protes Raga. Paling tidak dia ada temannya saat menyetir. Nah, kalau Yura duduk samping Tian, dia sendiri kayak orang bego jadinya. Benaran jadi supir pribadi nih.
"Kalau gitu enggak usah aja dinner-nya." Yura hendak turun dari mobil dengan muka jutek.
"Jangan!" Raga menahan Yura. Dia pun menghempaskan napas panjangnya, daripada enggak sama sekali lebih baik pasrah.
"Pi, ayo buruan. Tian udah lapar nih, makannya di mall aja ya." Tian senang sekali bisa jalan-jalan seperti ini, layaknya sebuah keluarga kecil, meski tidak bersama Alfira.
"Hemmm." Raga hanya berdehem sebal.
"Papi kok mukanya cemberut sih." Tian bisa melihat muka kesal Raga dari kaca spion. Bagaimana Raga enggak kesal? Dia melihat Yura bersikap manis sekali dengan putranya, sedangkan dirinya sama sekali tidak.
"Papi kamu lapar, mungkin pengen makan orang." Yura kan orangnya blak-blakan, enggak suka dia tunjukan, suka dia baik- baikan. Ya karena lagi kesal minta ampun dengan sih Raga, ya, dia enggak perlu baik dengan suaminya ini.
"Orangnya kamu!" Apa Yura tidak tahu lebih baik menahan lapar, daripada melihat Yura marah kepadanya. Sadar sih dia salah, tapi kan dia emosi sesaat.
Tian terkekeh.
"Papi, kenapa? Kok sewot?" Tian yang polos bahkan menyadari jika Raga lagi super kesal, masa cuma karena Yura duduk di belakang sampai sebegitunya.
Bukan itu sih permasalahannya. Masalahnya dia cemburu dengan Tian, enak tuh jadi anak itu, dielus-elus, sekali malah dicium keningnya.
"Papi, awas kucing!" sontak Raga menginjak pedal rem mendadak. Gara-gara Yura sih, sampai-sampai dia gagal fokus.
"Astaga, kamu itu bisa nyetir enggak sih? Kalau Tian sampai celaka gimana? Kamu bikin SIM di mana? Kok bisa diterima, ya." Yura menggerutu kesal. untung cuma kejedot kepala Tian, enggak sampai lecet. Mungkin suaminya ini baru belajar nyetir, masa kucing lewat enggak kelihatan.
"Bawel! Itu kucing nyebarang enggak lihat." Bisa saka ngelesnya. Kucing itu juga makhluk hidup lho, harusnya diperlakukan lembut. Lah, Raga turun malah mengusir kucing itu dengan kasar.
"Kamu itu dari lahir udah kasar gini, ya. Tadi aku dibentak, sekarang kamu kasar sama kucing. Tega amat." Yura yang ikut turun dari mobil melihat perlakuan Raga dengan binatang. Dari dulu kan Raga memang tidak suka dengan binatang, berbeda dengan Yura.
"Push... kucing yang malang." Yura menggendong kucing ini, lalu mengelus-elus kepalanya berulang kali. "Kamu pasti lapar, ya." Dia pun mengambil roti di dalam tasnya. Syukur Yura selalu bekal roti, apalagi membawa Tian, takutnya jalan macet, dan mereka sudah kelaparan.
"Kenapa enggak sekalian kamu bawa pulang aja?"
"Boleh?" Yura bersemangat sekali, dia kan dari dulu ingin memelihari kucing, tapi selalu enggak dibolehkan ayahnya. Ya alasannya classic sih, kotor, bau, dan bla-bla. Padahal kucing itu funny, menggemaskan deh.
"Kamu serius pengen kucing?" Raga tadinya cuma asal bicara, dia sama sekali enggak serius. Nah, Yura malah menganggapnya serius, tapi melihat muka Yura tampak sumringah
"Ya seriusan lah. Boleh ya. Aku enggak marah lagi deh, kalau kamu kasih ijin." Ini sih pilihan sulit buat Raga, dia enggak suka kucing, dia harus mempelihara kucing. Udah dekil lagi ini kucing, menjijikan.
"Kita beli di toko kucing aja. Yang ini biarkan di sini." Mungkin kalau kucingnya bersih, Raga masih pertimbangkan.
"Enggak mau! Aku mau yang ini." Yura kan sudah jatuh cinta saat pertama kali lihat. Dan sih kucing pun dapat merasakan ketulusan hati Yura, binatang ini langsung bergaung 'meong', seolah-olah tahu jika Yura ingin membawanya pulang.
"Tapi ini kotor, Yura." Yura tak peduli, layaknya anak kecil meminta mainan.
"Raga, aku mau ya ini. Boleh ya, boleh. Aku janji memandikan kucing ini, nanti juga jadi wangi," rengek Yura berharap Raga menyetujui permintaannya.
Raga pun menghela napas panjang. Tak punya pilihan lain, dia mengiyakan saja. Daripada semakin lama, makin lama juga dia mengisi perutnya. "Ya sudah boleh."
"Benaran, Ga?" ah, Yura hampir tak percaya. Saking senangnya, dia mencium pipi kanan dan kiri Raga, syukur Tian menunggu di dalam mobil.
Raga tersenyum.
Dia dapat melihat semangat Yura, bahkan wanita ini sampai menciumnya tanpa diminta, kan biasa dia harus menggodanya dulu baru deh dapat ciuman. "Tapi benaran ya, maafin aku."
"Iya, benar. Aku duduk di samping kamu deh." Yura masuk mobil, dia duduk samping Raga, dan membiarkan Yura duduk sendirian di bangku belakang.
Raga sampai menggeleng tak percaya dengan tingkah konyol Yura.
"Wah, ada kucing. Emangnya Papi boleh bawa pulang?" tanya Tian kepo. Dia kan pernah minta izin pelihara hamster, tapi enggak boleh. Sedangkan Yura kan kucing, ah tidak adil.
"Boleh dong." Tian memicingkan matanya kepada Raga, lalu dia memukuli bahu Raga berulang kali.
"Tian, apa-apaan sih kamu?" sama sekali tidak merasa ada salah. "Kenapa kamu pukul, Papi? Kamu udah lapar?" lanjutnya.
"Tian udah enggak lapar." Sekarang giliran Tian yang malah ngambek, enggak ada hujan, nggak ada angin, tiba-tiba ngambek aja. "Papi, nggak adil ih." Tian membuang mukanya seraya menyilang tangannya di dada.
"Enggak adil apanya?" Raga sampai heran.
"Itu Tante Yura boleh pelihara kucing, masa aku enggak boleh pelihara hamster. Itu namanya Papi udah enggak adil." Kucing saja membuatntmya stress, apalagi ditambah hamster, bisa keluar isi otaknya.
"Enggak! Cukup satu kucing, jangan ditambah hamster, sekalian kita bikin kebun binatang aja." Kalau soal binatang Raga angkat tangan deh. Sejak kecil dia sudah terbiasa hidup wow sih, jadi enggak pernah tuh main kotor-kotoran, apalagi Raga anak tunggal.
"Tuh kan Papi enggak adil, Tante Yura boleh, masa Tian enggak boleh," protes Tian. Dia mulai menuntut keinginannya ke Raga.
"Ya udah cuma hamster, kan. Lagian dia yang akan mengurus hamsternya bukan kamu." Yura ikut membujuk Raga biar anak itu senang.
"Tap--"
"Enggak ada kata tapi, pokoknya boleh. Sekarang kita ke mall dulu, habis itu kita cari hamster, sekalian aku singgah ke salon kucing." Raga menghela napas panjang, istri dan anaknya sehati banget sih, perasaan enggak ada yang mau mendengar keluhannya.
"Nanti aku bikin penampungan binatang sekalian di rumah itu," sergah Raga. Dia terpaksa menerima kemauan dua orang ini. Emang susah ya, berurusan dengan wanita. Untuk bilang enggak aja, bibirnya terasa kaku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro