Extra 1. Party
"I do love you"
Lila berguling telentang di lantai kamar Nala sembari membaca serial komik cantik miliknya sendiri yang baru saja ia beli. Namun demikian, pikirannya tidak bisa lepas dari sosok gadis yang tengah melipat baju dari lemarinya. Sedari tadi, Nala memunggunginya. Berkutat dengan baju-baju yang harus ia bawa ke Perancis.
Akhirnya, Lila memutuskan untuk mendekati Nala. Ia melihat dengan jelas Nala cepat-cepat berpaling dan mengusap wajahnya, tapi Lila pura-pura tidak melihatnya.
Nala hanya bilang padanya bahwa mereka putus. Dia tahu hubungan Dewa dan Nala berakhir, tapi bukankah putus nyambung suatu hal biasa dalam suatu hubungan? Dia tidak mau mengambil kesimpulan lebih jauh. Siapa tahu ini hanya sebuah batu yang menganggu hubungan keduanya meskipun dia menyayangkan sikap Dewa yang tidak pernah muncul di depan Nala.
Tapi benarkah demikian? Sementara Nala berencana pergi ke Perancis?
Lila menghela nafas dalam dan mulai memungut salah satu baju Nala dan melipatnya.
" Jadi, nanti malam gimana?" Tanya Lila berusaha biasa saja. Nala meliriknya sekilas dan menggeleng.
" Gue mau siap-siap." Jawab Nala singkat.
Kali ini Lila menatap Nala dengan memelas, " La, apa lo perlu ke Perancis? Kenapa nggak disini aja? Gue bakal kehilangan lo."
Untuk pertama kalinya selama beberapa minggu ini, Nala mengangkat sudut-sudut bibirnya. Gadis itu tersenyum geli pada Lila yang terdengar berlebihan.
" Ini permintaan papa gue, La." Jawab Nala. Lila mengerucutkan bibir.
" Terus gue gimana kalau diganggu Vanya? Iya kali gue bisa taekwondo kaya lo mah gue santai!" Celetuk Lila melipat baju dengan kesal.
" Vanya nggak punya alasan ganggu lo, ck! Udah ada kak Zio dia." Tukas Nala mengambil setumpuk baju lagi dari lemari.
Lila tambah menekuk mukanya dan berkata lirih." Gue lebih suka Vanya yang ganggu gue."
Nala tidak berkomentar, namun anak itu hanya tersenyum tipis. Lila meletakkan baju-baju di pangkuannya dan menarik tangan Nala.
" Apaan sih?" Tanya Nala pada Lila yang akhir-akhir ini menjadi aneh.
" Malam ini aja, lo mau ya? Mereka udah mohon-mohon sama lo." Pinta Lila berusaha meluluhkan pendirian Nala. Tangan Nala dalam genggamannya menegang.
" Gue nggak bisa, La. Mending diganti yang lain aja." Kata Nala. Beberapa hari yang lalu, guru bagian kesiswaan meminta Nala untuk menyampaikan sepatah dua patah kata pada kelas tiga di acara perpisahan mewakili dari adik kelas. Sebuah permintaan yang terbit karena Nala adalah siswa berprestasi tahun ajaran ini.
" Lo takut ketemu kak Dewa, ya?" Tanya Lila tanpa basa-basi. Nala mengalihkan pandangannya, namun tidak menjawab.
" Nala, selesaikan masalah kalian dengan baik. Nggak enak tahu lama-lama berantem gini!" Ucap Lila berusaha memberi pendapat.
Nala menggigit bagian bawah bibirnya dan memutuskan untuk meneruskan pekerjaannya.
" Kita nggak ada masalah." Jawab Nala datar. " Kita emang udah putus."
Lila menghembuskan nafas kasar. Ia menjambret baju dari tangan Nala dan memaksa Nala menoleh padanya. Detik berikutnya, ia terkesiap saat mendapati setetes air mata menetes di pipi Nala. Nala berusaha berpaling, namun Lila menahan tangannya.
" Kayak gini lo bilang nggak ada masalah?" Bisik Lila tidak percaya. " Lo jelas-jelas ada masalah!"
Nala menepis tangan Lila hingga melepaskan dagunya dan menghapus wajahnya cepat. " Nggak ada gunanya, La. Gue emang udah nggak ada apa-apa lagi sama dia."
Lila menatap Nala yang memungut bajunya yang terjatuh karena Lila, melipatnya kembali dengan telaten.
"Lo kangen dia, kan?" Kata Lila mengepalkan tangannya erat-erat karena dirinya ikut merasakan perih hanya dari segala gerak gerik Nala. Di matanya, gadis itu terlihat hancur. Tidak ada Nala yang ceria, tidak ada Nala yang senyum-senyum tidak jelas. Sebenarnya apa yang terjadi? Batinnya frustasi. Tapi dia cukup tahu diri untuk menghormati privasi Nala.
Nala tidak menjawab. Gadis yang memunggunginya itu tetap bersimpuh dan memasukkan baju-bajunya ke dalam koper dengan rapi.
" Lo pingin lihat kak Dewa, kan?" Ujar Lila lagi pada Nala yang mengabaikannya. Tapi Lila cukup mengenal Nala untuk tahu apa yang disembunyikannya saat ini. Lila beringsut dan memeluk Nala dari belakang. Tepat saat itu, sesuatu yang basah mengenai lengannya.
" Nangis aja nggak papa, La. Gue disini." Ujar Lila pelan. Tidak ada tanggapan, hanya saja, Nala bergeming.
Mulanya hening, kemudian Lila merasakan tubuh di pelukannya berguncang disertai isakan tertahan. Lila mengeratkan pelukannya, membuat tangisan gadis itu semakin terdengar. Mendengarnya, Lila ikut meneteskan air mata.
" Ikut gue malam ini, oke? Lo harus berani hadapi dia. Jangan terus menghindar. Itu sama sekali nggak menyelesaikan apapun." Pinta Lila. " Lo juga perlu nutup mulut setan anak-anak kelas tiga yang selama ini ngomongin lo dari belakang. Kanala nggak serapuh itu. Dia gadis kuat."
**
Auditorium SMA Angkasa dipenuhi oleh siswa siswi dalam balutan gaun berbagai warna ceria. Nala melambai singkat pada Joey yang membungkukkan badan padanya sebelum melangkah mendekati gedung bertingkat tiga yang saat ini menjadi pusat kegiatan. Lila yang berjalan di sampingnya meraih tangannya dan tersenyum menyemangati.
Nala akhirnya mengabulkan permintaan Lila untuk menemaninya ke pesta perpisahan kelas tiga setelah Lila memohon-mohon padanya. Nala menguatkan dirinya, berusaha meredam keinginan untuk berbalik yang semakin kuat seiring langkahnya yang mendekati gedung.
Beberapa anak menoleh ke arah mereka, beberapa mengabaikannya, yang lain memulai bisik-bisik tanpa melepas pandangan dari Nala. Tapi gadis itu tidak peduli. Bukan bisik-bisik yang ditakutinya saat ini.
Dia tidak bisa menghentikan dirinya untuk memandangi sekitar. Sekuat apapun Nala menahannya, namun mata Nala selalu menjelajah untuk mencari sosok yang familier. Ada kelegaan yang bercampur dengan kekecewaan tidak menangkap apapun yang diinginkannya.
" Whoaaa!" Seru Lila takjub ketika mereka melangkahkan kaki ke dalam. Nuansa ceria datang dari balon dan pita berbagai warna yang dipasang di setiap sudut ruangan.
" Nala!"
Nala menoleh dan mendapati Vanya berlari ke arahnya dengan wajah bercahaya. Di belakangnya, Zio melangkah tenang dengan kedua tangan tenggelam di saju celana hitamnya. Tampak gagah dengan kemeja hijau yang senada dengan Vanya. Lila mendengus, tidak percaya akan wajah malaikat Vanya.
" Cantik banget!" Pekiknya memandangi Nala dari atas sampai bawah. Sementara Lila membuat gerakan seperti orang muntah di belakangnya. Zio melihatnya, tapi laki-laki itu tidak menanggapi dan tetap setia dengan wajah dinginnya.
Nala menunduk sekilas. Ia mengenakan dress pendek selutut berwarna biru laut. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan japit kecil menghiasi rambutnya. Nala tersenyum dan kembali menatap Vanya.
" Lo juga." Kata Nala tulus. " Ngomong-ngomong, lo liat pak Arjuna?"
Vanya menepuk jidatnya sendiri, " Ah iya gue lupa! Tadi gue disuruh beliau buat bawa lo ke dia kalau lo udah datang. Ayo gih kesana! Acaranya mau mulai ini!"
Nala tertawa singkat dan mengikuti langkah Vanya, meninggalkan Lila yang menggerutu sembari mengikuti Nala dengan tidak rela dan Zio yang menatap ketiganya dengan pandangan tidak bisa dijelaskan.
" Ck!" Decak Lila hilang kesabaran ketika Nala malah mengobrol panjang dengan pak Arjuna. Ia bersedekap sembari mengetuk-ngetukkan kakinya. Pandangannya menyapu lautan anak-anak yang semakin memadati ruangan. Tapi dia tidak pernah melihat Dewa atau Leon. Hah! Padahal dia ingin memberikan kesempatan pada Nala dan Dewa untuk bicara berdua.
Dia tidak percaya jika keduanya memutuskan hubungan. Tidak. Dewa terlalu menjaga Nala dan Nala terlalu menyukai Dewa.
Kesakitan Nala hanyalah bukti bahwa gadis itu terlalu membutuhkan Dewa.
Tidak ada alasan keduanya selesai.
**
" Cantik." Puji Leon membidik kameranya. Ia menurunkannya lagi hanya untuk menyipit dan menemukan mangsa baru. Kemudian mengangkat kameranya lagi.
" Itu juga." Komentarnya sembari membidik. " Ternyata kalau dandan, cewek-cewek Angkasa jadi cantik semua."
Mata Leon berbinar kala melihat mangsa baru lagi. Ia mengangkat kameranya dan bersiap membidik ketika tiba-tiba saja, kameranya direbut dengan sangat kasar.
" ADUHH!!" Serunya saat sudut kamera menabrak matanya hingga perih. Ia menoleh kepada sang tersangka dan menggeplaknya keras-keras. Namun Dewa tidak membalas. Laki-laki itu menyiapkan kamera di tangannya dengan pandangan tidak lepas dari sebuah titik nun jauh di depannya.
Dewa menempatkan kamera itu di depannya, membidik sasaran yang terpisahkan oleh luasnya ruangan auditorium ini. Sesaat, seluruh tubuhnya macet ketika melihat gadis itu tersenyum. Lalu ketika gadis itu menoleh, tangan Dewa membidik tanpa sadar. Mengabadikan gadis paling cantik dalam balutan dress biru laut dengan rambut panjangnya yang mengayun indah.
Perlahan, Dewa menurunkan kameranya. Matanya tetap terpaku pada sosok gadis di seberang sana yang kini tengah menunduk untuk mengamati secarik kertas di tangannya.
Leon yang kini mengerti apa yang membuat Dewa jadi mendadak diam bersedekap dan bersandar pada sebuah tiang besar di sampingnya.
" Kapan mau nyerahin angket ke anak-anak OSIS?" Tanya Leon mengingatkan Dewa pada tujuan mereka karena Dewa harus diseret lebih dulu agar mau menghadiri acara ini. Namun Dewa tidak menjawab. Laki-laki itu sudah sibuk membidik lagi sasaran yang sama.
Leon menghela nafas panjang.
" Dilla udah nunggu di rumah, De." Kata Leon berusaha mengingatkan lagi.
Dewa terdiam dengan kamera yang siap membidik entah untuk keberapa kalinya.
" De!" Seru Leon ketika Dewa mendadak berjalan cepat ke arah tangga menuju lantai dua. Leon berusaha mengimbangi Dewa yang kini menghilang di ujung tangga. Ketika ia sampai, Dewa sudah berada jauh di sana, mengambil sudut gelap dan tersembunyi tepat di samping controller room sembari menatap ke bawah yang memang terlihat dari lantai dua.
Leon menyambanginya dan mengikuti tatapan Dewa. Tampak Nala kini menaiki panggung dan bersiap di balik mikrofon. Rupanya gadis itu bersedia memenuhi permintaan sekolah. Dari atas sini yang hanya berisi mereka berdua, mereka bisa melihat dengan jelas gerak-gerik gadis cantik itu.
Dewa mengangkat kameranya lagi dan membidik setiap gerakan yang gadis itu lakukan. Lagi-lagi, Leon menghembuskan nafas panjang. Saat ini tidak ada yang mampu menolong sahabatnya dari kesakitan yang amat sangat. Karenanya, dia berbalik untuk memberikan ruang pada Dewa.
" Gue ada di bawah kalau lo butuh apa-apa." Kata Leon memutar badannya.
Namun saat itu, Dewa menahan kerah bajunya. Membuat Leon berbalik untuk menatap Dewa yang masih terpaku ke bawah.
" Sebentar." Ucap Dewa sembari menurunkan kameranya dan menatap Nala dengan sepasang matanya.
" Makin lama lo disini makin tersiksa, De! Ayo pulang! Lo ditunggu orang rumah." Kata Leon berusaha menyadarkan Dewa dari kegilaannya.
" Sebentar, Le." Bisik Dewa pelan tanpa menatapnya. " Sebentar aja."
Leon mengusap wajahnya dengan kasar. Ia membiarkan saja dewa mencengkram kerah bajunya. Saat ini, ia sendiri tidak bisa memikirkan apapun selain membiarkan ini semua terjadi. Dia menghormati keputusan Dewa, tapi dia tidak mengira jika Nala akan pergi ke Perancis.
Gadis itu benar-benar akan meninggalkan Dewa. Rahang Leon mengetat.
Suara dering telfon terdengar dari kantong celana Dewa, membuat laki-laki itu melepaskan kerah Leon dan meraih ponsel di sakunya tanpa mengalihkan tatapannya. Ia menerima panggilan tanpa peduli siapa yang menelfonnya.
" Halo." Sapa Dewa tanpa minat.
" De, nak, jangan pulang malam-malam ya? Urusan warung besok saja."
Dewa mengedipkan matanya sekali ketika suara Rani berhasil menembus kesadarannya.
" Iya bu."
" Kamu dimana? Sudah selesai urusannya?"
Dewa terdiam sejenak. Matanya mengikuti Nala yang sedang berbicara di atas panggung.
" Ini mau pulang."
"Oh, ya sudah. Hati-hati ya."
" Iya bu."
Leon menoleh pada Dewa yang menurunkan ponselnya. " Ibu nggak ngerti hari ini kita perpisahan?"
Dewa menggeleng. Dia memang tidak memberitahu Rani bahwa hari ini sekolahnya mengadakan acara perpisahan. Jika Rani tahu, ibunya pasti akan memaksa Dewa untuk menghadirinya dan diam-diam menangani warung sendirian.
" Yaudah ayok pulang. Yang sakit gue ini!" Protes Leon sengsara melihat Dewa yang menatap Nala tanpa berkedip.
Dewa seperti lupa cara bernafas. Laki-laki itu mengangkat ponselnya, kemudian membuka daftar telfonnya nyaris tanpa sadar dan berhenti tepat di nomor telfon Nala.
Bukan sekali dua kali dorongan untuk menghubungi gadis itu menyiksanya. Dan menyaksikan lagi gadis itu setelah sekian lama tidak berjumpa membuat pertahanannya jebol seperti air bah. Seluruh perasaan yang berusaha ia redam kini meluap dan membanjiri setiap senti tubuhnya, membalutnya dengan kerinduan yang menusuk-nusuk dada.
Ibu jari Dewa dengan gemetar bergerak ke nomor telfon Nala, menekannya.
Satu detik, kemudian muncul sederetan menu dimana Dewa memilih menu dengan lambang tempat sampah.
Tapi itu tidak ada gunanya, batin Dewa saat ia menyusupkan kembali ponsel ke kantongnya. Matanya kembali menatap Nala yang kini sedang mengucapkan salam perpisahan. Nomor berjumlah dua belas digit itu terekam sempurna di kepalanya . Lebih dari apapun, mencegah dirinya mengetikkan kembali nomor-nomor itu ke ponselnya adalah hal sulit yang akan dilaluinya nyaris setiap waktu.
Dewa menelan ludah ketika akhirnya gadis itu mulai menuruni tangga.
Aku cinta kamu, Kanala.
Dewa mengizinkan dirinya memuaskan rindu dengan menatap sosok gadis itu lebih lama sebelum memaksa kakinya berputar dan berjalan kembali ke kegelapan, menghindari ruang terbuka untuk menuruni tangga lain yang menuju pintu belakang auditorium.
" Lah!! Angketnya?" Tanya Leon mengimbangi langkah Dewa.
Dewa mengangkat kamera di tangannya, melihat satu per satu hasil bidikannya. " Suruh ketemu di pintu belakang."
Leon menepuk jidatnya sendiri kala memahami perilaku Dewa. " Siniin kamera gue! Gue masih mau foto-foto!" Seru Leon meraih kamera dari belakang tubuh Dewa. Dewa mengangkat kameranya menjauh dari jangkauan Leon tanpa menoleh.
" Malam ini kamera lo gue pinjem." Ujar Dewa meninggalkan Leon yang mengumpat tertahan. Leon mengambil langkah besar-besar dan menjajari Dewa. Leon berdecak keras, mengutuk kebodohan sahabatnya sendiri. Terlebih ketika Dewa mengajukan pertanyaan yang membuat Leon yakin Dewa sudah kehilangan akal sehat.
" Le, berapa biaya pergi ke Perancis?"
**
Nala menghentikan langkah kakinya di tengah tangga.
Entah apa yang mendorongnya, gadis itu menoleh ke atas. Kegelapan hampir merajai disana. Tapi sesuatu membuat pandangannya terus terpaku pada sudut di samping controller room yang kosong.
Nala menyapu lantai dua dengan nyalang. Jantungnya berdentum kencang tanpa tahu sebabnya. Namun tidak ada sesuatu yang ditangkap matanya kecuali pencahayaan redup yang membuat kursi-kursi biru itu terlihat sedikit mengerikan.
Nala memejamkan mata dan menghembuskan nafas pelan. Ia menggeleng singkat, merutuki kebodohan hatinya dan meneruskan langkahnya menuruni tangga.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro