17. Modus
" They call it jealousy. Is it this annoying?"
Camilan? Checklist
Headphone? Checklist
Alat tulis? Checklist
Materi ujian? Checklist
Nala berkacak pinggang sembari menatap barang-barang yang memenuhi meja belajarnya. Sudah lama rasanya ia serius seperti ini.
" Yosh! Mari kita hapus cengiran dari Vanya! Oke Dit?" Seru Nala tersenyum lebar pada foto Radit di dinding. Mulai besok adalah ujian semester dan Nala sangat berambisi menggunakan momen itu untuk menakhlukkan dia makhluk paling menyebalkan sekaligus : Mikaila dan Vanya. Heh, bukannya sombong. Tapi untung saja Radit membagi kejeniusannya pada Nala. Rupanya hal itu berguna untuk pembalasan dendam yang manis seperti ini.
Kill them with your smile. Nala menyeringai jahat sebelum duduk di singgasana emasnya.
Kebiasaannya dari dulu, Nala tidak pernah bisa belajar dalam keadaan hening. Dia justru akan mengantuk. Maka dia selalu mendengarkan musik selagi belajar. Kepalanya terantuk sesuai beat musik yang didengarnya meskipun fokusnya tetap pada soal.
Satu jam kemudian, Nala meletakkan alat perangnya dan mengerucutkan bibir. Sebenarnya ada yang kurang. Ia berencana meminjam semua catatan Dewa untuk memudahkannya belajar. Beberapa kali menghabiskan waktu belajar dibimbing kekasihnya yang manis itu membuat Nala paham bahwa Dewa mempunyai cara mengajar yang berbeda. Penjelasannya lebih mudah dimengerti sehingga Nala lebih cepat memahami.
Nala menggigiti bibirnya sembari mengetuk-ngetukkan kedua ujung jari telunjuknya, berpikir. Hari minggu begini Dewa pasti sibuk. Tapi dia ingin belajar dengan benar. Dia tahu Dewa tidak akan keberatan mengantarkannya pada Nala. Tapi Nala tidak mungkin membiarkan itu. Akhirnya ia mengambil keputusan.
Nala berganti baju dan menyambar tas mungilnya. Tidak lupa mengambil beberapa buku bergambar untuk Dafa. Nala meraih ponsel sementara dirinya berjalan keluar rumah dan mengunci pintu.
" Halo Nala, ada apa?" Suara Dewa membelai telinga Nala, membuatnya merindukan laki-laki itu. Nala menepuk keningnya keras-keras. Bukan waktunya memikirkan itu, Nala!
" Kak Dewa, aku ke rumah ya. Aku mau pin..."
" LALAAAAAA!!! DAPA MAU LALAAAA!!"
Nala menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatapnya dengan horor. " Heh?" Gadis itu mengerjap beberapa kali sebelum menempelkan ponsel ke telinganya lagi. Saat itu bis yang ia tunggu datang.
" ...Lo? Nala!!"
" Iya iya, aku disini. Itu tadi Dafa? Kenapa?" Tanya Nala cemas.
" Nggak papa. Dafa baru sakit. Demam ini. Dari tadi rewel terus." Kata Dewa. Nala bisa mendengar Dafa masih menjerit-jerit di belakang sana. " Kamu ke rumah ada apa? Katanya mau belajar."
" Hmm..." Jawab Nala masih memusingkan keadaan Dafa, " Aku mau pinjem catatan kak Dewa yang kelas satu. Kemarin lupa bilangnya."
" Oh...Oke, aku antar..."
" Nggak!" Potong Nala. Benar kan! " Aku udah di jalan mau ke rumah kak Dewa."
" Astaga! Anak ini memang..."
Nala nyengir. " Udah nggak papa. Kebetulan kan, aku bisa ketemu Dafa. Kangen."
Nala bisa mendengar Dewa menghembuskan nafas lelah, " Dafa nggak bakal ngizinin kamu pulang. Dari tadi nyari kamu terus."
" LALAAAAAAAA!!! LALAAAAAAAA!!!"
" Kan, denger sendiri." Kata Dewa berusaha menjauh dari lengkingan Dafa. Mau tidak mau Nala terkikik. Dia benar-benar merindukan Dafa.
" Nggak ke warung?" Tanya Nala.
" Cuma ibu. Aku nggak bisa ninggal Dafa sama Dilla sendirian." Jawab Dewa.
" LAAAAALAAAAAAA!!!"
" Iya iya, nanti Lala kesini..." Nala bisa mendengar suara Dewa yang menenangkan Dafa. Ia selalu bisa mendengar kelembutan pada suara itu. Membayangkannya cukup membuat pipi Nala memanas.
" Ya sudah, aku tutup dulu ya."
" Nanti bilang kalau sudah sampai halte. Aku jemput. Susah dapat angkot kesini."
" Nggak perlu...aku..."
" Nala!" Dewa mengeluarkan suara yang penuh intimidasi. Suara yang tidak pernah bisa dilawan Nala. " Ada Raya. Dafa bisa sama dia sebentar."
Nala terdiam. Raya di rumah Dewa?
" Nanti bilang." Perintah Dewa tegas.
" Iya."
Gelembung yang sedari tadi ada di dada Nala mengempis. Kenapa Raya di rumah Dewa? Imajinasi Nala langsung beterbangan. Kemudian Nala menggeleng. Tidak. Apasih yang dia pikirkan? Mungkin mereka sedang mengerjakan proyek penelitian itu, kan? Mereka satu kelompok. Wajar bila mereka sering menghabiskan waktu bersama.
Menghabiskan waktu bersama? Dada Nala berdenyut sakit.
Astaga! Jadi begini rasanya cemburu?
**
Sejak kapan melihat wajah Dewa adalah suatu keharusan bagi Nala?
Melihat kedatangan laki-laki itu membuatnya lega akan kegelisahan yang tidak disadarinya. Dewa datang dengan motornya seperti biasa, tepat di depan Nala yang menunggu di halte. Ia tidak perlu memakai helm karena mereka akan melewati jalan kecil.
" Udah nunggu lama?" Tanya Dewa. Nala menggeleng. Tangannya menyisir rambut Dewa yang acak-acakan terkena angin.
" Kenapa ada kak Raya?" Tanya Nala tidak bisa menahan diri.
Nala harus menerima tatapan menyebalkan disertai cengiran itu dari Dewa. Nala menekuk wajahnya, bersikeras merapikan rambut Dewa.
" Apa?" Tanya Nala akhirnya gerah dengan Dewa yang menatapnya. Dewa hanya menggeleng sambil terus mengulum senyum.
" Sini!"
Dewa meraih Nala tanpa aba-aba. Dengan tubuh masih menangkring di atas motor, lengan Dewa merengkuh Nala. Nala terkejut.
" Kak Dewa, tempat umum ini!!" Protes Nala berusaha melepaskan lengan Dewa yang memerangkap pinggangnya dengan erat.
" Nggak ada siapa-siapa." Balas Dewa di telinga Nala. Nala menatap sekitar. Benar juga, sih. Suasananya sepi. Nala bisa merasakan Dewa menghirup dalam-dalam di balik rambutnya, seperti yang biasa laki-laki itu lakukan. Akhirnya Nala terdiam. Tidak bisa dipungkiri, dia juga rindu aroma Dewa yang menyegarkan.
" Di rumah nanti aku nggak bisa peluk-peluk kamu." Celetuk Dewa lagi masih bersembunyi di tengkuk Nala. Nala memutar bola mata.
" Iyalah! Bukan tontonan anak dibawah umur juga."
Dewa terkekeh membuat Nala merasa geli, " Kamu juga masih di bawah umur."
Nala mendengus mengingat masih beberapa bulan lagi baginya untuk genap berusia 17 tahun, " Kalau begitu kak Dewa pedofil."
" Pedofil itu kalau ada pemaksaan. Memangnya kamu terpaksa?"
Nala menggembungkan pipinya saat tidak bisa membalas Dewa. Dewa tertawa, kemudian ia meraup lembut pipi Nala dengan satu tangan, mengempiskan pipinya yang menggemaskan. Nala hendak protes, namun matanya melebar ketika Dewa tiba-tiba mendekatkan wajahnya. Tanpa sadar, Nala langsung mengepalkan tangan dan memejamkan matanya. Jantungnya berdentum keras.
" Ini di tempat umum, Kanala." Suara Dewa terdengar tepat di depannya hingga Nala bisa merasakan hembusan nafas segar laki-laki itu. Nala membuka matanya dan mendapati wajah geli Dewa. Dengan kesal, Nala melepaskan diri.
" Jahat!" Serunya menutupi rasa malu. Dewa semakin mengeraskan tawanya.
Nala mendelik, namun melihat wajah Dewa yang tertawa lepas seperti itu membuat kekesalannya surut. " Udah ah! Ayo pulang! Kasihan Dafa!"
Dewa menghentikan tawanya. Benar juga. Dia lupa jika Dafa sedang sakit. Bertemu Nala benar-benar membuat otaknya rusak. Dewa terkekeh.
" Ayo naik." Perintah Dewa yang dilaksanakan Nala dengan senang hati.
" Raya tiba-tiba datang tadi. Minta belajar bareng." Jawab Dewa beberapa saat kemudian.
" Oh..." Celetuk Nala meskipun itu tidak bisa menepis rasa cemburunya karena Dewa menghabiskan waktu bersama perempuan lain selain dirinya. Terlebih lagi, perempuan itu jelas-jelas menyukai Dewa dan pernah menjelek-jelekkan Nala di depan Dewa. Sesuatu sekali.
Nala disambut dengan pemandangan yang cukup membuatnya takjub. Raya sedang berusaha menenangkan Dafa yang meronta hebat di depan rumah. Terlihat sekali gadis itu kewalahan. Sedangkan Dilla berada di belakang mereka, mengawasi adiknya dengan cemas.
" LALAAAAA!! LALAAAAAA!"
Teriak Dafa ketika mereka sampai. Anak itu mengulurkan kedua tangannya ke arah Nala. Wajahnya merah padam dan sembab karena air mata.
" Ssstt...sini sini..." Nala bergegas menyambanginya dan merengkuh tubuh mungil itu dari pelukan Raya. Ia tidak sempat mengecek tampang Raya yang menunjukkan ketidaksukaan yang nyata. Fokusnya hanya pada Dafa. Anak itu langsung melingkarkan lengan mungilnya ke leher Nala dan menyembunyikan wajahnya di lekukan leher Nala. Menangis sesenggukan. Nala memeriksa suhu tubuhnya dengan cemas.
" Demamnya tinggi sekali. Pantesan rewel." Gumam Nala. " Udah makan?"
Dewa yang juga mengelus dahi adiknya menggeleng, " Nggak mau makan. Dari tadi nyari kamu terus."
Hanya Dilla yang menyadari bahwa Raya nyaris meledak melihat kedua pasangan itu begitu romantis. Entah mengapa Dilla ingin tertawa melihat Raya mendengus tidak suka. Dia tahu Raya menyukai kakaknya, dan dia tahu bagaimana respon kakaknya untuk Raya.
Nala menepuk-nepuk Dafa secara otomatis. Anak itu sudah berhenti menangis. Hanya tinggal isakan kecil. Ia meringkuk di tubuh Nala, menemukan kedamaian di sana.
" Dafa, makan ya?" Nala menawari dengan lembut. " Nanti kita gambar lagi. Kakak bawa buku gambar yang banyak buat Dafa."
Dafa mengangguk pelan.
" Astaga! Sama kak Nala langsung mau coba?" Seru Dilla tidak percaya. Nala nyengir.
" Kenapa? Kamu juga mau disuapi?" Tanya Nala pada Dilla yang memutar bola mata.
" Ogah! Ya udah, ini susunya Dafa. Aku mau belajar dulu ya. Besok ujian." Dilla menyodorkan botol susu yang masih penuh pada Nala yang diterima gadis itu.
" Ayo aku antar ke dapur." Kata Dewa melangkah.
" Nggak usah. Sana belajar lagi. Aku sama Dafa aja. Iya kan, fa?" Nala menunduk mencium puncak kepala beraroma minyak bayi yang khas. Dafa mengangguk asal. Nala terkikik gemas.
" Memangnya kamu nggak belajar? Besok ujian. Jangan sampai kamu urutan terakhir lagi. Malu-maluin Dewa aja." Cetus Raya.
Entah mengapa melihat Nala juga bisa akrab dengan Dilla membuat kadar ketidaksukaannya meningkat. Dilla, adik Dewa adalah pribadi yang irit suara. Raya yang sudah mengenal Dewa bertahun-tahun saja susah untuk akrab dengannya.
Nala berputar untuk menghadapi Raya pertama kali. Terlihat sekali ketidaksukaan dari Raya untuknya.
" Kehilangan satu hari belajar nggak ada pengaruhnya buatku. Santai aja. Kak Raya bakal lebih gampang nemu namaku besok." Jawab Nala singkat membuat Raya mengepul. Dewa harus menahan tawanya keras-keras saat Nala berputar angkuh meninggalkan mereka berdua di ruang tamu.
" Dia nggak berubah! Masih saja arogan!" Desis Raya.
" Udah Ray. Berhenti." Kata Dewa berusaha meredakan amarah Raya yang sia-sia.
Raya melemparkan pandangan kesal pada Dewa, " Kamu itu ya! Ck!"
Dewa melempar pandangan tajam pada Raya, pertanda dia tidak ingin mendengar satu kata pun tentang Nala dari Raya.
**
Sesekali Dafa bergerak kecil di pangkuan Nala.
" Lala...Lala..." Dafa mengigau di tengah tidur pulasnya.
Nala harus menahan diri untuk tidak memeluknya erat-erat sehingga yang bisa ia lakukan hanyalah menggigiti bibirnya seraya mengusap pelan punggung mungil itu. Nala menatap pohon kemuning yang sedang mekar-mekarnya, menghantarkan wangi di sekitar rumah ini.
Saat ini, Nala sedang duduk di samping rumah. Dafa benar-benar tidak mau lepas darinya. Setelah makan, Nala mencoba menidurkannya di kasur. Tapi anak itu langsung menangis keras-keras. Jadilah dia begini dengan Dafa meringkuk di pangkuannya dengan tangan mencengkram erat-erat bagian depan blus yang ia kenakan, tertidur pulas.
" Nggak nyoba di kasur lagi?" Suara Dewa membuat Nala menoleh. Dewa muncul dari pintu di sampingnya, kemudian duduk di sebelahnya. Ia memeriksa kondisi Dafa.
" Jangan. Kasihan." Jawab Nala dengan suara rendah. " Kak Raya mana? Udah selesai belajarnya?"
Dewa menggeleng, " Toilet. Masih lama. Kita juga bahas penelitian."
Dewa menyibak rambut Nala ke belakang bahu agar tidak mengganggu. " Maaf ya."
Nala menjulurkan lidahnya membuat Dewa terkekeh.
" Nggak nyangka Dafa manja banget sama kamu gini." Celetuk Dewa mengamati adiknya dengan sayang, " Kamu tahu kenapa Dafa sama Dilla bisa lengket sama kamu dengan mudah?"
Nala menatapnya, berfikir, " Hmm...karena aku cantik?"
Dewa menatapnya gemas. Nala nyengir lebar.
" Apa dong?"
" Karena kamu bisa ngambil hati mereka. Kamu bisa menghadapi karakter mereka. Kamu bisa jadi sosok yang lembut dan penyayang buat Dafa. Kamu juga bisa jadi teman yang menyenangkan buat Dilla." Jawab Dewa sungguh-sungguh, " Kamu melakukannya tanpa pura-pura. Itu salah satu kelebihan kamu."
" Serasa bunglon." Tukas Nala. Kemudian ia menatap jahil pada laki-laki di sampingnya," Kalau buat kak Dewa?"
Dewa menangkat alis, tidak menyangka Nala mengajaknya bercanda. Ia mencondongkan tubuhnya agar bisa berbisik di depan telinga Nala.
" Karena Nala harum." Jawabnya mencium leher gadis itu hingga membuat tubuh Nala merinding hebat. Nala mencubit pelan lengan Dewa dengan tangannya yang bebas.
" Stop! Dafa bangun, nih!" Sergah Nala dengan wajah merah padam. Dewa tertawa tanpa suara. Ia membelai kepala Nala.
" Jangan tanya seperti itu lagi sama aku." Katanya.
" Hm? Kenapa?"
Dewa menatap Nala. " Karena semua tentang kamu adalah apa yang aku inginkan. Aku ragu bisa jelasin satu persatu sama kamu." Katanya sebelum bangkit dan mencium dahi Nala dengan ringan.
" Masuk dulu, ya." Katanya geli melihat reaksi gadis itu. Nala menggerutu sembari mengusap bekas ciuman Dewa di dahinya, merasa sedikit melayang.
Nala menatap ke depan lagi tanpa benar-benar memperhatikan. Ia memikirkan kata-kata Dewa. Apakah dirinya seperti itu? Dia tidak pernah berusaha membuat orang lain menyukainya. Dia hanya bertindak apa adanya. Ia akan baik pada orang yang baik padanya, dan dia tidak segan melukai orang yang berusaha melukainya, atau melukai orang yang ia sayangi.
" Kak?"
Nala menoleh lagi. Kali ini pada Dilla yang datang dengan membawa buku tulis. Ia dengan santai duduk bersila di depan Nala. Gadis itu menatap adiknya yang masih terlelap dengan cemas, tidak berani memegangnya.
" Dafa gimana? Masih panas?" Tanya Dilla menyiratkan kehawatiran. Nala menggeleng.
" Udah turun. Habis makan dia kenyang, jadi nggak rewel. Bisa istirahat." Jawab Nala.
Dilla mendengus pelan, " Dafa ini, kalau sakit memang rewel banget. Bang Dewa sering susah kalau Dafa sakit."
Nala menjawabnya dengan mengusap peluh di dahi Dafa. " Abangmu itu sayang sekali sama kamu sama Dafa."
" Sama Kak Nala juga." Jawab Dilla membuat Nala menoleh padanya. Tapi gadis itu sudah mengulurkan buku tulisnya.
" Bener nggak kak? Aku mau tanya sama kak Dewa tapi nggak enak ganggu mereka." Dilla meringis. Nala terkekeh.
" Iya. Sini duduk atas!" Nala menerima uluran buku dari Dilla dan menepuk-nepuk bahu di sebelahnya. Namun gadis itu menggeleng. Ia masih mengamati adiknya dengan penuh kecemasan. Nala memahami itu dan membiarkan saja Dilla disana.
Nala mengamati tulisan Dilla yang rapi. Ia tidak heran, karena tulisan Dewa pun juga rapi. Gadis itu pun juga menunjukkan alur pikiran yang sama dengan kakaknya. Ia menjabarkan jawabannya dengan runtut dan singkat. Dari lima belas soal itu kesemuanya benar. Bahkan Nala takjub saat Dilla dengan mudah menjabarkan operasi bilangan dengan pangkat 13 menggunakan bilangan pascal. Hanya sedikit orang yang menyadari cara menghafal urutan pangkat bisa menggunakan aturan segitiga pascal.
" Kamu tahu strategi aturan segitiga pascal juga ternyata. Kamu pasti gampang masuk SMA Angkasa." Kata Nala menyeringai saat mengembalikan buku Dilla. Dilla hanya mengedikkan bahu, merasa biasa saja.
" Kamu mau jadi apa?" Tanya Nala tiba-tiba, teringat percakapannya dengan Dewa beberapa hari lalu.
Dilla mengelus jawabannya, mengulur waktu. " Aku pingin jadi arsitek. Tapi aku tahu dengan kondisi keluarga kami, sekolah saja susah."
Nala memahami kata-kata Dilla, tapi dia tidak menyukainya. Dia tidak menyukai semangat yang luntur seperti ini.
" Tapi bang Dewa selalu menyemangati Dilla. Bang Dewa bilang bahwa selalu ada jalan untuk kesulitan sebesar apapun. Makanya aku masuk Angkasa. SMA Angkasa banyak menawari beasiswa. Juga, SMA Angkasa salah satu SMA yang diperhitungkan di perguruan tinggi. Aku berharap dengan masuk SMA Angkasa, jalan buat jadi arsitek lebih lancar."
Nala menatap Dilla. Ada bagian dirinya yang merasa malu. Bahkan Dilla yang lebih muda darinya sudah tahu apa yang harus dicapai. Sedangkan dia? Untuk pertama kalinya, Nala menyesal sudah bermain-main dengan waktu sekolahnya.
" Kamu pasti bisa. Kamu kan bukan manusia bumi. Mirip kayak abangmu." Kata Nala. Dilla tertawa.
" Kan? Bang Dewa itu alien dari galaksi Andromeda!" Celetuknya tertawa membuat Nala tambah terbahak. Bahkan caranya melucu pun penuh dengan pelajaran. Hebat!!
" Eh, pada disini ternyata!"
Nala dan Dilla menoleh bersamaan. Nala melongok dari pintu, tampak tersenyum pada Dilla yang langsung bungkam. Raya melihat buku tulis Dilla. Ia keluar dan akhirnya duduk di samping Nala yang kosong.
" Kenapa? Kamu ada kesulitan lagi? Coba sini aku bantu!" Raya menawarkan diri.
" Nggak perlu. Tadi udah sama Kak Nala." Jawab Dilla datar membuat Nala melotot, yang dibalas pelototan oleh Dilla. Anak itu tidak tahu apa bahwa kata-katanya bisa memicu adu domba.
" Oh..." Raya menoleh pada Nala, ekspresinya sangsi, " Yakin bener semua? Coba sini aku lihat lagi?"
Nala memutar bola mata. Ia mengedikkan kepala, menyuruh Dilla memberikan bukunya pada Raya. Membuat gadis cilik itu mencibir padanya.
Raya tentu saja mengoreksinya dengan sungguh-sungguh. Ia tidak mungkin percaya kemampuan Nala untuk jadi korektor, kan? Mungkin saja dia pura-pura menawarkan diri untuk mengoreksi agar bisa mengambil hati Dilla.
Beberapa saat kemudian, Raya mengembalikan buku tulis Dilla dengan tidak rela.
" Jawaban Dilla emang udah bener semua. Nggak perlu dikoreksi dari awal." Kata Raya angkuh. Nala pasti hanya membaca tanpa tahu. Kalau saja ada yang salah mungkin anak itu tidak mengerti. Untung saja jawabannya benar.
Namun Nala malah mengangguk menyetujui. Dilla yang melihat itu mendengus. Ia berdiri.
" Makasih sarannya buat segitiga pascal, kak Nala." Kata Dilla sebelum masuk ke dalam. Nala mengerjap. Sedangkan Raya berdecih.
Mana mungkin Nala tahu aturan segitiga pascal? Anak selevel Nala?
Saat itu Dewa muncul. Ia menunduk mencium pipi Dafa, kemudian menatap Nala.
" Aku jemput ibu dulu ya, sekalian ngantar Raya pulang." Pamitnya. Nala mengangguk. Sama sekali tidak keberatan. Raya tersenyum senang sembari melemparkan pandangan meremehkan pada Nala. Namun wajahnya langsung berubah horor ketika melihat Dewa membungkuk dan mencium kening Nala.
**
" Oh, jadi ini yang namanya Kanala?"
Ibu Dewa, seorang wanita berusia empat puluhan dengan wajah bulat yang ramah menatapnya dengan berbinar. Nala yang masih menggendong Dafa tersenyum sopan.
"Pasti capek gendong Dafa seharian. Biasanya dia cuma lengket sama abangnya. Sini...sini..." Rani berusaha mengambil alih yang masih tertidur di pelukan Nala entah berapa lama. Namun ketika Dafa merasa kehilangan kehangatan, ia membuka mata dan melihat Nala yang menjauh darinya.
Seketika itu juga Dafa menangis.
" LALAAAA!! LALAAAAA!! DAPA MAU LALA!! LALAAAA!" Serunya kencang mencengkram erat-erat baju Nala.
" Astaga!" Seru Rani mengembalikan Dafa pada Nala. Ia tidak mengira anaknya masih menangisi hal yang sama dari pagi hingga sesore ini. Dewa memijit pangkal hidungnya.
" Dari tadi kayak gitu." Katanya, " Udah sore ini."
" Bentar lagi juga nggak papa." Kata Nala menenangkan. Ia mengayunkan Dafa dalam pelukannya, membuat anak itu menutup mata lagi meskipun masih terisak.
" Udah sore, La. Besok kamu ujian." Kata Dewa sedikit khawatir. Nala menatap Dewa dengan pandangan tidak terima.
" Nggak papa. Aku nggak bakal dapet nilai jelek lagi kok. Beneran!" Ucap Nala meyakinkan.
" Tapi..."
" Kak Dewa, ini adiknya masih sakit malah ngajak ribut! Santai aja, nggak papa!" Tepis Nala membuat Dewa terbungkam. Sedangkan Nala sudah melotot tajam padanya. Nala mengalihkan pandangan dan mendapati Rani masih mengamati mereka dengan tersenyum lebar.
" Maaf ya tante. Kak Dewa emang suka gitu sama Nala. Maksa banget." Celetuk Nala mengangkat tangan dan menunjuk Dewa dengan jari telunjuknya. Dewa mendengus dan menyentil ujung jemari mungil Nala.
Rani terkekeh. " Iya iya. Jangan malem-malem ya nak. Dafa tumben-tumbenan manja begini." Rani menatap anak bungsunya dengan pasrah. " Tante masuk dulu, ya. Dewa, jaga Nala!"
Dewa mengangguk. Ia mengikuti Nala yang duduk di sofa untuk menenangkan Dafa kembali.
" Gimana caranya?" Tanya Dewa menatap adik bungsunya yang terlihat damai di pelukan Nala.
" Aku ada cara. Tenang aja. Udah biasa di kampung." Jawab Nala memandangi Dafa dengan sayang.
Setelah yakin Dafa terlelap, Nala menidurkan Dafa di kamarnya. Ia tahu Dafa akan bangun, sehingga ia ikut merebahkan diri di sampingnya dengan tetap memeluk Dafa. Dafa menggeliat, merasa terusik. Ia merengek sedikit, namun Nala segera menepuk-nepuknya sehingga Dafa tahu bahwa Nala masih disitu.
Beberapa menit kemudian, cengkraman Dafa di bajunya mengendur. Dafa berguling telentang dengan dada yang naik turun teratur. Nala menyentuh dahinya pelan. Panasnya sudah jauh berkurang. Ia mengecup dahi Dafa dan bangun dari kasur pelan-pelan agar tidak membangunkan anak itu.
Dewa yang sedari tadi menunggu dengan bersandar di dinding mengangkat alis.
" Kenapa nggak dari tadi?"
Nala melipat bibirnya ke dalam. Sudah pasti Dewa akan menanyakan ini. Dengan wajah menunduk ia menjawab, " Aku nggak mau kak Dewa sama kak Raya sendirian disini." Jawab Nala akhirnya.
Hening. Kemudian ia melihat pintu berayun tertutup. Nala mengangkat wajahnya.
" Kenapa dit..."
Terlambat. Dengan satu tangan menahan pintu, Dewa meraih dagu Nala dengan tangan yang lain. Ia menunduk untuk mencium bibir Nala. Nala yang tadinya terkejut, perlahan memejamkan matanya. Ia harus meremas kaus Dewa erat-erat untuk menampung rasa yang memabukkan ini, juga kupu-kupu tak tahu malu yang beterbangan di perutnya. Dia belum terbiasa. Dia tidak akan pernah terbiasa dengan semua sensasi mengerikan yang diciptakan oleh ciuman Dewa. Dewa mengulum bibir bawah Nala beberapa saat sebelum melepasnya.
" Disini aja. Bahaya kalau dirumah kamu."
*TBC*
Astagahh...3000 kata >.< semoga kalian nggak pusing bacanya (^,^")
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro