Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. For the First Time

"You are like a water in the summer river, whenever I am catched by the winter."

Mendung yang bergelayut gelap benar-benar menepati janjinya untuk menumpahkan hujan. Namun langkah kaki Nala tidak terhenti. Dengan mengenakan dress hitam selutut, gadis itu berjalan menyusuri nisan yang tertata rapi. Tangannya memegang sebuah payung besar berwarna biru. Payung kesayangan Radit.

Nala berhenti di samping nisan bernama Arkaan Radhitya Halid dan Carrisa Eveline Halid yang berjejeran. Ia berjongkok di sana, mencabuti rumput yang mengganggu. Suara nyaring hujan yang menghantam payung sama sekali tidak mengganggunya. Ia justru bersyukur. Paling tidak, bukan sunyi disini.

" Halo mamaku tersayang. Selamat ulang tahun, ya." Sapa Nala meletakkan buket bunga Lily putih masing masing di atas nisan mamanya dan Radit.

Nala membelai nama Radit di kepala nisan, menumpahkan kegalauan hatinya.

" Radit, aku udah jahat." Isak Nala, " Aku udah nyakitin kak Dewa. Sekarang dia marah sama aku." Nala melingkarkan lengannya pada lutut dan menumpukan dagunya di sana.

" Aku takut dia ninggalin aku kayak kamu." Kata Nala lirih. " Ditinggal kamu rasanya aku mau mati aja."

Nala memandangi nisan dingin itu. Memorinya kembali pada masa-masa dulu, ketika masih ada Radit untuknya.

Ayahnya, Alexander Halid adalah seorang pengusaha yang gila kerja. Basis perusahaan ayahnya berada di Perancis. Saat itu masih ada mama yang menjaga mereka. Namun ketika kelas enam SD, Carissa mengikuti Alex ke Perancis. Meninggalkan Radit dan Nala hanya bersama pembantu.

Radit yang bilang kalau mereka bukan anak pembantu sehingga dia menolak mentah-mentah pembantu yang dibayar untuk mengurusi mereka. Radit berkata bahwa mereka berdua bisa mengurusi diri sendiri. Dan itulah yang terjadi. Radit tidak pernah mengizinkan ada pembantu mengambil alih tugas mereka. Sejak dulu, Radit dan Nala mengerjakan apapun berdua. Radit bahkan berkata mereka harus beda sekolah agar bisa mandiri. Nala tersenyum di sela isakannya.

" Kamu cerewet banget ya, Dit? Baru sadar aku." Kekeh Nala. " Dan lo itu playboy! Astaga! Muka amburadul gitu jadi idola. Pada kelilipan apa ya?"

Suara guntur menggelegar. Hujan turun semakin deras. Nala meringkuk dengan payung raksasa menaunginya. Angin yang membawa hujan tetap menerpanya dan membuat tubuhnya basah. Namun Nala seperti tidak peduli. Dia sudah mendedikasikan hari ini untuk mengunjungi Radit dan mamanya. Dia akan disini sepuasnya. Nala mengeratkan pelukannya, memandangi nisan keduanya dengan lelehan air mata.

" Aku kangen kamu." Tangis Nala teredam hujan. Ia meremas dress-nya yang mulai basah demi meredakan rasa rindu yang menyakitkan." Aku kangen kamu, Dit."

Nala semakin membenamkan wajah ke lututnya, membiarkan derasnya hujan menyahut kesedihannya.

" Ayo pulang!"

**

" Mau sampai kapan ngambek kayak cewek labil gini? Ck!"

Leon menyindir Dewa yang mengabaikannya. Pasalnya, anak itu marah-marah padanya karena memberitahu Nala tentang masa lalu mereka.

" Lo nggak mungkin bisa nyimpen itu dari Nala, De. Dia berhak tau. Biar dia nggak salah sangka sama lo."

Inilah yang Dewa takutkan. Dia begitu takut Nala mengetahui masa lalunya. Dia takut akan pemikiran anak itu tentangnya. Bahwa Dewa tidak sebaik apa yang dia pikirkan selama ini.

" De..."

" Jangan ganggu gue!" Desis Dewa mengusir tangan Leon dari bahunya. Leon menyerah. Dewa menyapukan pandangan di kantin. Namun ia tidak juga menemukan apa yang ia cari. Dia masih marah karena kejadian kemarin. Oh ya! Marah sekali. Tapi ia tidak bisa memungkiri bahwa dia butuh melihat gadis itu. Dia sudah cukup mengikuti egonya untuk tidak menghubungi Nala tadi malam dan tidak menjemputnya.

" Eh! Mau kemana lo?"

Leon bertanya saat Dewa bangkit. Dewa mengabaikannya. Ia menghampiri gadis bernama Lila.

" Lila?" Panggil Dewa duduk di depannya. Lila mengalihkan pandangannya dari bakso dan terperangah.

" Ehem." Dehem Dewa menghentikan wajah konyol gadis itu. Lila salah tingkah.

" Eh...iya kak? Kenapa?" Tanya Lila. Ia tidak siap dengan pandangan membunuh dari siswa yang lain.

" Nala ada di kelas? Tumben nggak ikut ke kantin." Kata Dewa berusaha biasa saja.

" Oh! Nala nggak masuk. Nggak ngerti tiba-tiba aja dia nggak masuk. Nggak ada surat izin juga. Chat-ku juga nggak dibales sama dia." Lila mengamati Dewa yang menegang, " Aku kira kak Dewa lebih tahu. Kak Dewa biasanya jemput Nala, kan?"

Dewa menghela nafas menenangkan diri. Ia mengangguk singkat. " Makasih."

Ia kembali di depan Leon.

" Kenapa? Nala kenapa?" Tanya Leon khawatir. Dewa menggeleng. Perasaannya tidak tenang. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengutak-atik sesuatu disana. Detik berikutnya rahangnya mengeras.

" De?" Tanya Leon hati-hati. Dewa mengantongi ponselnya kembali dan menatap Leon lekat-lekat.

" Le, pinjem mobil lo." Dewa berkata dengan suara rendah. Leon mengerutkan kening. Meskipun demikian, ia merogoh saku dan menyerahkan kunci mobil pada Dewa. Anak itu langsung berbalik.

" Seenggaknya gue harus tau lo bawa mobil gue kemana, kan?" Seru Leon pada Dewa.

" Jemput Nala." Balas Dewa tanpa memandangnya.

Leon menatap punggung Dewa dengan alis terangkat. Ia mencibir.

" Dasar labil. Dikira gampang nggak peduli sama orang yang dicinta? Cih!"

**

Dewa mengikuti petunjuk berupa panah kecil di layar ponselnya sementara dia berkonsentrasi pada jalanan yang hampir tidak terlihat karena hujan lebat. Ketika mengetahui dimana anak panah berakhir, Dewa tidak bisa tenang.

Ia memarkir mobil Leon di depan pemakaman umum. Ia berusaha melihat ke dalam, tapi nihil. Pandangannya tidak bisa menembus jarak tiga meter karena hujan. Akhirnya ia memutuskan untuk keluar setelah meraih payung di tempat duduk belakang.

Apa Nala menyambangi makam Radit? Tapi di tengah-tengah hujan begini! Dewa menepis kuat-kuat imajinasinya. Ia menyusuri satu persatu jalanan makam yang luas itu. Tidak ada suara apapun kecuali drasnya hujan yang menghantam bumi.

Lalu disana, di depannya, samar-samar ia melihat warna biru yang menarik perhatian. Dewa mendekatinya perlahan. Langkah kakinya tertelan berisik hujan. Rasa sakit menggelayar di tubuhnya, mengirimkan denyut pada jemarinya yang dingin saat melihat sosok menggigil di depannya. Gadisnya disana, meringkuk dibawah payung raksasa berwarna biru.

Dewa memandangi nisan sejenak, kemudian mengirimkan doa untuk dua orang yang disayang Nala.

" Ayo pulang!"

**

" Ayo pulang!"

Nala mendongak. Hampir saja dia berteriak.

Dewa berdiri di sampingnya. Satu tangannya berada di saku, yang lain memegang payung. Cowok itu menunduk dengan bibir terkatup rapat. Kenyataan bahwa Dewa mengabaikannya membuat Nala berpaling. Sejujurnya, dia belum mau pulang. Tapi sepertinya Dewa dalam keadaan tidak bisa ditolak. Maka Nala bangkit dengan masih menghindari mata Dewa.

Dewa berbalik dan berjalan mendahului. Nala mengikuti di belakangnya dalam diam. Tangannya mencengkram tangkai payung erat-erat. Nala menggigit bibirnya kuat-kuat demi menahan air matanya, walaupun itu tidak berhasil.

"Masuk!"

Nala menatap mobil hitam itu. Kemudian menggeleng. " Basah."

Cengkraman Nala semakin erat saat mendengar Dewa menghembuskan nafas keras. Ia menunduk dalam-dalam. Dadanya berdenyut amat sakit. Dia ingin pergi dari hadapan Dewa. Kecanggungan ini benar-benar menyiksanya.

Dari bawah bulu matanya, Nala melihat Dewa mengulurkan seragamnya yang sudah dilepas. Nala memejamkan matanya sejenak, kemudian meraihnya dengan gemetar.

" Masuk!" Kata Dewa lagi. Ia membukakan pintu. Nala tidak mempunyai pilihan selain mematuhi Dewa. Dewa menutup pintunya dan memutari mobil. Kemudian masuk di kursi kemudi tepat di samping Nala.

Sepanjang perjalanan, tidak ada yang berbicara. Entahlah, mungkin bibir Nala sudah penuh darah karena digigitnya kuat-kuat sejak tadi. Ia ingin meminta maaf pada Dewa. Tapi aura dingin cowok itu mengurungkan niatnya.

Nala mengira Dewa akan langsung berputar balik meninggalkannya di depan pagar. Tapi laki-laki itu justru mengantarnya sampai di depan rumah. Dewa berhenti di ambang pintu. Nala masih menunduk memandangi ujung kaki Dewa. Dewa mengulurkan tangan, meminta seragam yang sedari tadi dicengkram Nala.

Nala hanya bisa terpaku di tempat saat Dewa berputar hendak balik ke mobil tanpa mengatakan apapun padanya.

" Maaf." Celetuk Nala membuat Dewa berhenti. Dia harus meminta maaf. Dia tidak tahu lagi kapan bisa bertemu Dewa. Dia tidak tahu lagi kapan Dewa akan berbalik untuknya. Air matanya perlahan turun dengan berjuta penyesalan yang menyeruak di dada.

" Maaf." Nala terisak, " Aku nggak tahu, aku nggak ngerti. Maaf karena sudah membuat cemas. Aku benar-benar keras kepala. Kak Dewa, ma..."

Kata-kata Nala terhenti. Matanya terbelalak saat Dewa berbalik dan meraih Nala dalam pelukannya.

" Jangan seperti itu lagi. Aku bisa gila." Ucap Dewa dengan hembusan nafas yang sangat dekat. Suaranya bergetar, membuat Nala tahu betapa khawatirnya laki-laki itu akan dirinya. Tersihir, Nala mengangguk. Dewa mengeratkan pelukannya, membuat air mata Nala tidak mampu berhenti.

" Maaf." Bisik Nala sakit. Dewa mengurai pelukannya dan menatap Nala dengan ekspresi yang tidak terbaca. Nala menunduk untuk menghindarinya, karena jejak kemarahan dan kekecewaan masih ada di sorot tajam mata legam itu. Nala tidak bisa menghadapinya.

Namun kemudian, Dewa menarik pelan dagu Nala agar mendongak menghadapinya. Manik mata Nala melebar saat mendapati wajah Dewa sangat dekat dengannya hingga Nala bisa melihat betapa jernih kepekatan iris mata Dewa.

" Pergi." Ucapnya lirih. Matanya berpindah dari bibir ke mata Nala. " Lari sebelum terlambat."

Dewa menahan jaraknya beberapa saat, memberi Nala kesempatan menjauh darinya. Namun Nala tidak bergerak. Kali ini, ia tidak ingin berlari lagi. Ia tidak mau menjauh lagi. Gadis itu menggeleng singkat.

Setelahnya, Nala mengepalkan tangan erat-erat ketika Dewa menunduk dan menyatukan bibir mereka dengan lembut.

Dewa tidak bisa menahan diri. Semua hal tentang gadis ini mengikis nalarnya. Jemari Dewa menyusup di rambut Nala yang basah, menekan tengkuknya agar lebih mendekat.

Nala bisa mati saat itu juga. Ketika Dewa menciumnya dengan kelembutan yang nyata. Nala merasa waktu berhenti ketika dilihatnya Dewa menutup mata. Nala memutuskan untuk menutup matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam dunia dimana hanya ada dia, Dewa dan rasa hangat di dadanya yang menyebar hingga ke ujung-ujung jari.

Tangan Nala naik, meremas kaus Dewa ketika Dewa menggerakkan bibirnya. Mengecup bibir Nala dari satu ujung ke ujung lain, kemudian berhenti di tengah untuk memagut bibir bawahnya. Jantung Nala yang malang melompat keluar merasakan gelayar tak terelakan ini untuk pertama kali.

Satu tangan Dewa menahan tengkuknya, yang lain turun ke pinggang Nala, menariknya merapat. Ketika ujung lidah Dewa menyapu pertemuan bibir Nala, perutnya menghentak kuat, dirinya meremang merasakan sensasi yang timbul. Panas meletup dari ujung kepala Nala, bergulir searah dengan kulitnya yang bersentuhan dengan tubuh Dewa, mengaburkan pikirannya. Aroma Dewa yang ia rindukan berputar di udara, menggodanya. Terdorong naluri, Nala berjinjit menyambut ciuman Dewa yang semakin tidak ingin dilepaskannya.

Dewa menarik tengkuk Nala mendekat, mencium gadisnya sepenuh hati. Dewa menekan dengan tegas, memaksa sepasang bibir mungil itu membuka. Nala merasa nyawanya melayang ketika Dewa mengulum bibir atas dan bawah bergantian. Dewa melepaskan semua perasaannya. Rasa sayangnya, cintanya, ketakutannya, kemarahannya, frustasinya, dia ingin Nala tahu gadis itu miliknya. Hanya miliknya.

Nala terengah, namun ia menyambut kehangatan tak berujung ini dengan rakus. Hatinya tersiksa oleh segala macam rasa yang membuat darahnya menggelegak. Menolak dan mendamba di waktu yang sama. Takut dan berharap pada saat yang sama. Ia bisa merasakan kemarahan yang berbaur dengan kelembutan disana, maka ia membalas dengan rasa sesal yang teramat sangat. Membuat Nala sesak. Membuatnya menangis.

Dengan segera rasa asin membaur di pagutan bibir mereka. Dewa mengabaikannya. Dia belum ingin selesai merasai bibir manis yang membuatnya gila.

Tepat ketika nafas Nala terengah untuk kesekian kalinya, Dewa melepas ciumannya. Nala menunduk untuk meraih kembali nafasnya yang terputus. Namun Dewa menahannya. Laki-laki itu menatapnya tanpa ekspresi, kemudian mengusap ujung bibir Nala dengan ibu jari. Perlahan, akal pikiran Nala kembali. Ia memekik.

" It...tadi...itu ki-kita ci..." Nala tidak bisa melanjutkan perkataannya. Dia tidak mungkin berani melanjutkan.

Dewa yang melihat kegugupan Nala tiba-tiba tertawa. Dia juga tidak menyangka bisa mencium gadis itu, tapi dia kehilangan kendali atas tubuhnya karena takut oleh pikiran kehilangan Nala. Raganya menuntut tanpa meminta persetujuan otak dan Dewa tidak mampu berbuat apapun selain menurutinya. Seperti sebuah dahaga yang minta dipuaskan. Sejujurnya, dia juga gugup. Tapi Dewa lebih pandai menyembunyikannya.

" Maaf." Katanya lirih masih menahan wajah Nala yang merona. Nala melirik ke arah lain.

" Sepertinya sudah terbiasa." Celetuk Nala sinis ditengah kegugupannya. Rasa tidak suka menyergap ketika kemungkinan Dewa berciuman dengan gadis lain melintas di pikirannya.

Dewa memahami itu lebih dari apapun. Maka dia menatap lekat-lekat perempuannya. " Kamu yang pertama."

Namun wajah Nala tambah menekuk. Ia berusaha melepaskan wajahnya dari tangan Dewa.

" Berarti yang kedua bukan aku." Dengus Nala. " Aku..."

Cup.

Nala melotot saat Dewa menunduk untuk mengecup ringan bibirnya. Dewa menatap Nala sekilas, kemudian menunduk lagi.

Cup.

" Ketiga." Katanya.

Cup.

" Keempat."

Cup.

" Kelima."

Ketika Dewa menunduk untuk menyatukan bibir mereka kembali, Nala menutupi tangannya dengan punggung tangan. Jantungnya sudah tidak kuat lagi. Dewa berhenti sejenak, kemudian ia tetap mengecup telapak tangan Nala sampai Nala merasa tengkuknya merinding.

Dewa menurunkan tangan Nala, kemudian menyatukan bibir mereka dengan intensitas yang berhasil membuat kaki Nala lemas. Nala mencengkram lengan Dewa erat-erat. Jika saja Dewa tidak menahan pinggangnya, dia bisa menyelosor ke lantai sekarang juga.

" Kamu minta sampai berapa?" Tanya Dewa ketika melepaskan pagutannya. Nala merasa kepalanya pening. Nala menggeleng lemah. Dia yakin Dewa serius dengan pertanyaannya.

Laki-laki itu tertawa pelan dan merengkuh Nala. Ia mengecup kening Nala.

" Kayaknya kamu yang udah biasa dicium." Balik Dewa di atas kepala Nala. Nala mendengus kecil. Tenaganya habis. Ia hanya menggeleng pelan di dada Dewa.

" Naluri." Nala berhasil mengatakan satu kata itu. Dan itu benar. Ia membalas berdasarkan naluri. Seperti membalas pelukan. Semua terjadi tanpa ia sadari. Dan sekarang setelah ia menyadarinya, wajahnya jadi merah padam. Dewa terkekeh lagi.

" Hmm..." Dewa menumpukan dagunya di pundak Nala. " Maaf, kemarin aku kelepasan."

Nala menggeleng. " Aku juga. Maaf karena udah keras kepala." Kata Nala teredam bahu Dewa. Dewa mengeratkan pelukannya. Ia memejamkan mata. Menghirup banyak-banyak aroma khas gadis itu untuk mengisi lubang yang terbentuk sejak kemarin.

" Kak Dewa..." Panggil Nala. Demi apapun, dunia Dewa seketika terasa baik-baik saja saat mendengar gadis itu memanggilnya.

" Hmm..." Jawab Dewa tidak mau beranjak dari kenyamanannya.

" Aku mandi dulu. Basah ini."

Oh iya, Dewa lupa jika gadisnya basah kuyup. Dewa melepaskannya dan menatap Nala. Ia menyadari mata gadis itu membengkak. Dewa menangkup sisi wajah Nala bersamaan dengan rasa sakit yang mencubit dada. Ia menyentuh sudut mata cantik itu dengan ibu jarinya.

Kemudian, ia teringat sesuatu. Dewa menarik pelan tangan kanan Nala dan langsung menemukan bekas kemerahan di sana. Rahangnya mengatup rapat. Nala yang mengikuti arah pandang Dewa akhirnya paham.

" Nggak papa. Kemarin langsung aku kompres jadi nggak bengkak." Katanya melepaskan diri. " Udah biasa dulu waktu latihan takewondo."

Dewa menatap Nala, " Kamu belum periksa. Siapa tahu ada yang retak."

" Astaga kak Dewa! Aku nggak papa. Ini cuma luka biasa. Kalau retak bakal lebih parah dari ini."

Dewa menghembuskan nafas tidak setuju. Tapi ia hanya diam dan menyila rambut Nala.

" Ini..." gagapnya menarik pelan kaus Dewa yang basah karena dirinya, " Juga harus ganti. Nanti coba aku carikan punya Radit yang longgar."

Dewa tersenyum kecil dan mengangguk. " Sudah, sana mandi dulu. Nanti masuk angin."

Nala mengangguk gugup membuat Dewa berdecak.

" Apa yang mengganggu pikiranmu?" Dewa meraih dagu Nala, memaksa gadis itu menatapnya, " Hm?"

Nala menelan ludah, " Jangan pergi dulu." Cicit Nala mengeluarkan kegelisahannya.

Mendengarnya, Dewa tertawa lembut. " Aku pulangnya nanti. Sini!"

Dewa menarik pelan Nala ke dalam pelukannya dan memeluknya erat-erat. " Aku masih disini waktu kamu selesai mandi nanti."

Nala yang tenggelam di dada bidang laki-laki itu hanya bisa tersenyum lebar. Ia mengangguk, menggesek-gesekkan pipinya di dada Dewa. Dewa terkekeh. Ia mengecup pelan puncak kepala Nala untuk memberikannya ketenangan. Gadis itu pasti berpikir yang tidak-tidak gara-gara Dewa tidak menghubunginya sejak kemarin.

Nala mendongak dengan wajah cerah. " Kak Dewa tahu darimana aku di makam?"

Dewa menjawab dengan enteng, " Aku pasang GPS di ponsel kamu. Udah lama sih, waktu kamu masih hobi pergi diam-diam sama Reno dulu."

Nala mengerjap konyol, " ASTAGA!!"

*TBC*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro