Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 6-7 Bos Rese!

“Jadi,” tangan Gara tiba-tiba mendarat di bahu Gea yang membuat wanita itu seketika terkesiap, “mending kamu sarapan di sini saja. Ada kuah lontong sayur yang masih tersisa di panci. Lontongnya juga masih hangat kok!”

Mata Gea melirik Gara dengan tatapan heran. “Hah? Lontong sayur? Kamu sarapan sama lontong sayur?” Gara mengangguk sambil menarik bahu Gea agar berjalan mengikuti arahannya. “Iya. Aku buat lontong sayur subuh tadi. Masih ada sisa banyak.”

Gea tak sempat bertanya banyak ketika Gara mendorongnya ke area dapur. Mengisyaratkan dengan kode tangan agar Gea cepat-cepat menuju panci yang teronggok di salah satu tungku kompor. “Buka aja. Lontongnya ada di panci sebelahnya,” katanya lagi memberikan instruksi.

Gea ragu-ragu membuka dua panci itu secara bergantian. Mulutnya nyaris menganga lebar melihat isi panci itu benar-benar kuah lontong sayur beserta lontong yang terbungkus rapi di dalam daun pisang. Ketika Gea mengalihkan pandangannya pada Gara, lelaki itu tersenyum sambil mengangguk. Senyumannya lebar sekali.

“Sarapan aja dulu. Santai aja, Ndut. Lontong sayur itu gak beracun kok! Tenang aja!”

Gea langsung memasang wajah cemberut. Ia justru malah berpikir sebaliknya karena perkataan Gara barusan. “Kamu kasih dia racun, kan?”

Gara tergelak. “Enggak, Gea Ananda. Lontong sayur itu gak beracun! Gak percayaan banget sih jadi orang!”

“Mana bisa aku percaya sama orang yang pernah bully aku, Gara!”

Gara tak menjawab. Senyuman di wajahnya juga langsung lesap. “Ya, udah kalau gak percaya. Terserah! Yang penting aku udah nawarin kamu sarapan sehat. Kalau kamu emang gak mau, gak usah sarapan aja kalau gitu. Kita langsung pergi kerja sekarang juga!”

“Eh? Eh? Eh? Kok gitu sih? Tadi katanya minta aku sarapan dulu. Kenapa sekarang malah jadi langsung kerja segala?”

“Jadi, mau sarapan dulu gak?”

Gea menatap lontong sayur di depannya dengan wajah ngeri. Masih dikerubungi rasa takut kalau-kalau makanan yang ditawarkan Gara bisa jadi memang beracun. Tapi, ia juga tak bisa kalau harus bekerja sekarang dengan perut kosong.

“Iya! Iya! Aku mau sarapan dulu. Tunggu bentar!”

“Lima menit!”

“Gak akan cukup, Gara!”

“Tiga menit!”

Gea makin panik. Ia buru-buru mencari wadah yang entah berada di mana. “Aku sarapan sekarang! Aku sarapan!”

“Dua menit!” Suara teriakan Gara semakin mengabur tapi masih dapat Gea dengar dengan jelas. “Buruan sarapan atau foto kamu yang lagi gendut itu aku sebar ke semua karyawan Molapar kalau telat masuk ke mobil!”

Sambil mendengkus kesal, Gea buru-buru menyendok kuah lontong sayur di panci beserta beberapa potong daging dan sebutir telur rebus yang berada di meja. Ia sempat menyentuh bungkusan lontong dari panci kukus, tapi batal Gea lakukan.

Gea sempat mengintip ke arah ruang tamu yang tepat bersebelahan dengan dapur. Hendak mencari keberadaan Gara yang tak ia temukan di sana. Sambil menyendok kuah lontong di wadah, mengunyah potongan dagingnya sesekali, kepala Gea celingukan memandangi setiap sudut rumah itu.

“Hm?” Mata Gea membola beberapa saat setelah suapan pertamanya masuk ke mulut. “Kok enak?”

Sendok demi sendok kuah lontong sayur itu masuk ke dalam mulut Gea. Ia menyantapnya dalam tempo yang cukup cepat. Sampai ketika menu sarapan di wadah itu habis, Gea langsung mendorong mangkuk beserta sendok itu menjauh darinya. Ia membekap mulutnya sendiri dengan wajah kaget.

“Ya, Tuhan! Aku makan banyak!” gumamnya penuh nada penyesalan. Ia mengelus perutnya yang sudah kekenyangan. “Gimana ini?” Wajahnya langsung panik.

Gea buru-buru turun dari kursi makannya. Mengambil wadah bekas menyantap sarapannya barusan dan mencucinya segera. Ia berjalan ke sana kemari tak tentu arah seolah mencari sesuatu. Membuka pintu demi pintu dengan hati-hati sementara ia tak menemukan Gara di mana pun!

“Ketemu!” katanya senang saat menemukan toilet di salah satu sudut dalam rumah.

Bersamaan dengan itu, Gara baru saja menuruni tangga dari lantai atas. Berjalan gontai dengan dua tangan menerobos di saku celananya.

“Ndut! Onat! Buruan woy sarapannya! Gak pake lama!” teriaknya lantang sambil berjalan ke arah dapur. Ia tampak terkejut ketika melihat di sana tak ada sosok Gea yang tengah dicarinya. “Ke mana tuh anak?”

Gara melihat sekeliling rumahnya. Tak ada sosok Gea ke mana pun matanya mengedar.

“Gea Ananda! Gendut! Donat! Gajah!” teriaknya lantang. “Di mana woy? Mau kerja gak? Atau mau hukuman?”

“Di sini!”

Gara berbalik badan menuju sumber suara yang baru saja ia dengar. Tahu-tahu Gea sudah berada di belakangnya lengkap dengan senyuman mengembang.

“Dari mana kamu?” sergap Gara. “Ngapain dari situ?”

“Oh ... anu ...,” Gea tergagap. Ia menunjuk sebarang arah dengan tangannya yang tampak gemetaran. Suaranya pun tak terdengar seperti tersedak-sedak. “Aku dari toilet barusan. Kebelet!”

“Oh. Toilet! Aku pikir kamu kabur! Ayo berangkat! Sarapannya udah, kan?”

Gea mengangguk cepat sambil menelan salivanya yang terasa kering. “Udah kok!” Ia mencoba tetap menjawab pertanyaan Gara meski kerongkongannya terasa nyeri sekali saat ini.

***

Gea menggeleng pelan ketika Gara menyodorkan sebuah kunci padanya yang tentu saja langsung mendapatkan reaksi wajah kusut dari lelaki itu. “Kamu ... minta aku nyetir?” tanya Gea takut keliru memahami tindakan Gara.

Mata Gara menyipit. “Kamu gak bisa nyetir?” terkanya.

Gea menggeleng lagi. Lebih mantap. “Enggak. Kan aku cewek, mana bisa nyetir mobil!” kilahnya membela diri.

“Apa hubungannya cewek sama gak bisa nyetir?” Gara menarik gagang pintu mobil dengan kasar sampai membuat Gea hampir saja terkena dorongannya kalau tak buru-buru melangkah mundur. “Awas!” pekik Gara dengan nada suara tinggi. “Naik lewat pintu lain!” perintahnya kemudian.

Dengan wajah cemberut Gea menurut. Setengah berlari menuju pintu mobil yang satunya. Ia sempat bingung harus membuka pintu yang ada di bagian depan atau belakang. Tepat ketika ia hendak membuka pintu bagian belakang, tiba-tiba Gara berteriak lewat jendela kaca yang sudah ia buka.

“Kamu pikir, aku ini supir kamu? Huh!” Gea sebentar mengintip Gara yang tengah memasang raut wajah jengkel di dalam mobil.

“Duduk di depan!” teriak Gara.

Cepat-cepat Gea membuka pintu mobil bagian depan. Ia disambut tatapan tajam Gara padanya dari arah kursi kemudi. “Kenapa lagi? Aku udah duduk di depan nih.” Buru-buru ia membela diri. Takut diteriaki Gara lagi kayak tadi. “Ngomongnya biasa aja gak perlu teriak-teriak segala. Aku gak tuli kok!”

Gara membuang napas jengkel. Suara deru mesin mobil menjeda percekcokan di antara mereka sebentar.

“Jadi asisten pribadi itu harus bisa diandelin. Masa iya nyetir mobil gak bisa?” dumel Gara.

“Bukan aku yang pilih jadi asisten pribadi kamu kok. Kan kemarin juga aku udah nolak. Kamu sendiri tuh yang ngotot! Kenapa sekarang malah kayak nyalahin aku?”

Gara langsung mendelik sinis. “Kamu udah berani ngelawan atasanmu sendiri? Huh! Gak takut aku sebarin tuh foto-foto gendut kamu?”

Gea langsung merapatkan bibirnya sampai pipinya mengembang sempurna. Banyak yang ingin ia lontarkan sebagai balasan, tapi ancaman Gara itu terlalu menakutkan baginya. Bukan hanya itu saja, Gea juga tak mau terkena bentakan Gara seperti tadi. Padahal kesalahannya memang sefatal itu yah sampe harus diteriaki segala?

Sifat cowok bossy itu sama sekali tidak berubah! Masih suka memerintah, membentak, bahkan mengancam. Gea sama sekali tak menemukan adanya perubahan dari sosok Gara yang dulu dengan yang sekarang.

Sama-sama menyebalkan!

“Ambilkan kopi!”

“Aku mau menu makan siang dari dapur perusahaan kita.”

“Sepatuku kotor! Bersihkan!”

“Ganti gorden jendela di ruang kerjaku!”

Dan masih banyak lagi perintah Gara yang terpaksa Gea lakukan. Perintah yang menurut Gea tak ada hubungannya dengan tugasnya sebagai asisten pribadi. Sejauh pengetahuan Gea maksudnya.

Bukan seperti ini tugas seorang asisten pribadi!

Mengecek email penting yang masuk ke email perusahaan, mengatur jadwal-jadwal penting Gara, dan segala hal yang memang bersangkutan dengan kepentingan Molapar. Tapi, ini?

Membuat kopi untuknya memang bagian dari tugas Gea sebagai asisten pribadi? Sampai ia harus mengurusi makan siangnya juga dan sepatunya yang kotor. Apa bedanya Gea dengan pembantu kalau kerjaannya hanya diperintah untuk melakukan hal remeh-temeh begini?

“Ambilkan aku minuman yang dingin!”

Perintah Gara terdengar lagi. Tepat saat itu Gea tengah membuka bungkusan plastik berisi kain-kain gorden yang baru tak jauh di belakang lelaki itu. Sesuai dengan perintah terakhirnya tadi. “Aku baru mau ganti gorden.”

“Ambilkan aku minum dulu!” Gara bersikeras.

Mata Gea terpejam beberapa saat lamanya. Dua tangannya menggenggam erat lipatan kain gorden bersama dengan raut wajahnya yang spontan berubah kusut. “Aku mau ganti gordennya dulu. Setelah itu baru aku ambil minuman dinginnya.” Gea berusaha tetap bersikap tenang. Jangan sampai ia berteriak lebih dulu pada Gara yang akan menjadi pemicu percekcokan mereka lagi seperti pagi tadi.

“Aku mau minuman dinginnya sekarang, Ndut.”

Tak bisa! Gea tak bisa bersabar lagi!

“Ambil sendiri sana!” bentak Gea yang spontan berdiri di depan Gara yang saat itu tengah duduk santai di kursi kerjanya. “Kulkasnya gak jauh dari sini kok!” Gea mengarahkan tangannya menunjuk sesuatu. “Kamu cuma perlu jalan kaki beberapa langkah doang, Gara. Apa susahnya sih ambil minum sendiri? Kaki kamu pincang?” Gea sampai menendang tungkai kaki Gara saking kesalnya.

Gara yang terkejut karena teriakan Gea spontan bangkit dari sofanya. Ia langsung berdiri menyejajarkan tinggi dengan Gea yang bahkan sampai berkaca pinggang saat meneriakinya barusan.

“Kamu berani membantah perintah atasanmu? Huh!” Gara melakukan hal yang sama. Berkaca pinggang bahkan sampai menekan dahi Gea penuh penekanan. Berhasil membuat perempuan itu melangkah mundur beberapa langkah. “Kamu itu bawahanku di sini!”

“Aku asisten pribadimu, Gara! Bukan cuma bawahanmu aja!”

“Memang apa bedanya?”

“Ya, bedalah! Dari tadi itu kamu Cuma nyuruh-nyuruh aku ngelakuin tugas yang bukan tugasku sebagai asisten pribadi kamu. Tapi, kamu ngasih aku perintah kayak aku tuh pembantu kamu!”

“Sama aja! Asisten pribadi itu sama aja dengan pembantu! Yang artinya ... kamu itu emang pembantuku!”

Gara nyebeliiinnn!!! Dasar atasan rese!

To be continued ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro