Bab 50 Aku Mau Kita Putus!
Bab 50 Aku Mau Kita Putus!
“Gara, aku mau kita putus!”
Gara sejenak terdiam. Bukan karena perkataan Gea semata. Tatapan mata basah perempuan itu cukup mengguncang hatinya saat ini. Bibirnya yang tengah gemetaran tampak memaksakan diri untuk menyemai senyum.
“Aku… gak bisa… lanjutin hubungan kita.”
Ocehan para pegawai di mall tadi mendadak menggaung di telinganya. Seperti sebuah rekaman yang secara otomatis berputar tanpa henti.
Nyatanya situasinya sama sekali belum berubah. Menjadi pacar Gara bukanlah solusinya. Membuat Gara harus bertanggung jawab atas apa yang menimpanya juga bukanlah solusi.
Gea tetap tersudut, disalahkan, dikambinghitamkan. Padahal ia sendiri pun tak tahu letak kesalahannya ada di mana.
“Gea, tunggu!”
Gara dengan cepat mencekal lengan Gea ketika melihat perempuan itu hendak berbalik badan darinya lagi.
“Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Aku–”
“Mungkin aku memang salah sejak awal. Keputusanku juga salah karena menuntut pertanggung jawaban dari kamu atas apa yang terjadi. Harusnya kita menyelesaikan masalah kita sendiri-sendiri aja. Mungkin lebih baik lagi kalau kita gak pernah ketemu selamanya.”
“Enggak, Gea!” Gara menggengam erat tangan Gea. “Kamu gak salah apapun. Semua ini salahku! Sejak awal semua ini salahku.”
Gara tampak enggan melepaskan genggaman tangannya, namun ia juga tak bisa berdiam diri seperti saat ini. Gara kemudian menarik tangan Gea kembali ke dalam restoran. Tepat di ambang pintu, Vania muncul hendak keluar dari area tersebut.
“Kita harus selesaikan kesalahpahaman ini, Vania.”
Vania mencebik sinis. Semakin memasang wajah kusut melihat Gara bergitu erat menggenggam tangan Gea yang berdiri tak jauh darinya dengan wajah berpaling.
“Kesalahpahaman apa maksud kamu? Huh! Kamu mau mengakui hubungan hasil perselingkuhanmu itu?”
“Tidak. Aku justru ingin mengakui tentang alasan kenapa kita bertunangan.”
“Maksud kamu?” Kening Vania mengerut.
“Ini semua bagian dari rencanaku untuk menyelamatkan Molapar. Aku terpaksa merencanakan pertunangan denganmu demi ambisiku agar diakui Ayah kalau aku tak butuh bantuan dia di kehidupanku. Itu kesalahan yang ingin aku ungkap agar dapat kamu pahami, Vania.”
“Ka–”
“Ya! Aku yang salah. Dan aku mengakui itu. Oleh karena itu, aku minta maaf karena sudah memanfaatkan pertunangan kita selama ini. Maaf… karena rasa sukamu itu malah aku salahgunakan demi kepentinganku sendiri, Vania. Terima kasih… karena kamu sudah menyukaiku selama ini. Tapi, maaf. Selama itu pula, perasaanku padamu tak pernah berubah. Meskipun aku sudah berusaha, nyatanya aku tetap tak bisa menyukaimu seperti kamu menyukaiku.”
Rahang Vania tampak menegang, alisnya berkedut, dan bibirnya merapat. Detik setelahnya tamparan keras mendarat di pipi Gara.
“Brengsek!”
Vania berlalu dengan sengaja mendorong tubuh Gara. Gea yang berada tak jauh darinya, sejak tadi mendengarkan perkataan Gara dengan perasaan bingung. Rasa kecewanya kini berubah keterkejutan.
Ketika laki-laki itu berbalik badan menatapnya, Gea tak bisa ikut tersenyum ketika Gara melemparkan senyuman padanya.
“Maaf, Gea. Karena membuat kamu harus terlibat di situasi seperti ini. Sekarang, kamu sudah tahu semuanya. Bisakah kamu menarik kata-katamu tadi? Karena sungguh. Orang yang bisa aku sukai itu ternyata cuma kamu.”
***
Gea menatap Gara yang tengah mengemudikan mobilnya lekat-lekat. Matanya berulang kali turun ke arah dua tangan mereka yang masih saling menggenggam. Sesekali Gara melepaskan genggaman tangan itu hanya untuk menarik tuas mobil, tapi sedetik setelahnya ia malah menarik tangan Gea lagi untuk ia genggam.
“Ga, kamu lagi nyetir. Lepasin aja tangannya.”
Gara hanya menggelengkan kepala.
“Kalau kecelakaan gimana?”
“Gak akan, Gea. Aku biasa nyetir satu tangan doang kok.”
Keduanya saling melemparkan senyuman.
“Kenapa kamu ngelakuin itu ke Vania, Ga? Itu jahat banget!”
Gara diam sebentar sambil membuang napasnya. “Aku tahu.”
“Kamu udah bikin dia sama aku sama-sama terluka. Tahu?”
“Aku tahu, Gea. Aku tahu! Sejak awal aku yang salah. Dan aku udah minta maaf kan tadi ke Vania?”
“Tapi, dia gak bilang udah maafin kamu, Ga. Gimana kalau ke depannya dia malah–”
“Udah.” Gara mengeratkan genggamannya sebagai penegasan. “Itu urusanku dengan dia. Mau dia melakukan apapun, asalkan gak berdampak ke kamu, akan aku terima sebagai balasan dari tindakanku.”
“Hanya itu?”
“Ya terus mau apa lagi? Ge, denger yah. Pertunangan dengan alasan bisnis bukan hanya terjadi antara aku dan Vania. Banyak rekan-rekanku sesama anak pengusaha melakukan hal serupa hanya demi perusahaannya semakin baik. Bahkan ada yang sampai menikah. Meskipun mereka sama-sama gak saling suka, tapi mereka tahu kalau pernikahan mereka itu demi kebaikan keluarganya.”
“Lalu, kamu?”
“Ini bukan tentang keluargaku. Ini tentang ambisiku. Kamu tahu? Ayah sudah menyiapkan banyak bisnis untuk aku kelola. Tapi, aku menolak.”
“Kenapa?”
“Karena aku gak mau terus bergantung hidup dengan bisnis keluargaku. Aku ingin membangun bisnisku sendiri dengan memiliki Molapar. Yah… meskipun pada akhirnya aku malah mengacaukannya karena tindakanku.”
“Lalu, sekarang bagaimana? Keadaan Molapar belum membaik, kan?”
“Tenang saja. Kamu tak perlu khawatir. Aku bisa mengatasi semuanya, Sayang. Kamu tak perlu memikirkan hal tentang Molapar lagi karena kamu sudah bukan bagian darinya.”
“Tapi, aku juga gak bisa kerja di mall milik kakak kamu, Ga.”
“Kenapa?”
“Para pegawai menggunjingku tadi. Mereka menolak keberadaanku. Dan,” napas Gea terasa sesak, “aku gak kuat diperlakukan kayak gitu.”
Gara mendadak menepikan mobilnya. Lalu menarik tubuh Gea ke dalam dekapannya.
“Maaf, Ge. Semua salahku. Semua karena tindakanku. Aku gak akan memaksamu untuk melakukan hal yang gak kamu suka. Kamu bisa keluar dari mall itu. Akan aku bicarakan dengan kakakku nanti.”
Gara melepaskan dekapannya, lalu menaruh dua tangannya di pipi Gea.
“Dan untuk sekarang, aku mau kamu beristirahat dengan tenang di apartemen. Oke? Kalau kamu butuh sesuatu, katakan padaku saja. Kamu tak perlu mengkhawatirkan apapun. Kamu bisa menenangkan dirimu di apartemen, sementara aku fokus menyelesaikan masalah di Molapar. Mengerti?”
“Kamu gak akan menganggap aku sebagai perempuan murahan karena bergantung hidup pada pacarnya, kan?”
“Enggak, Gea…. Aku tahu seberapa keras kerjamu selama di Molapar. Anggap saja ini sebagai uang pesangon dari pekerjaanmu selama menjadi asistenku. Mengerti?”
“Kamu yakin?”
“Iya, Sayang….”
“Kamu gak nyesel karena aku bergantung hidup padamu?”
“Laki-laki yang hebat itu akan melakukan segalanya untuk wanita yang ia cintai, Gea. Tanpa merasa keberatan apalagi menyesal.”
***
“Ga, kamu gak perlu antar aku sampai atas.” Gea sudah memasang mata tajam ketika Gara memencet tombol lift dalam apartemen menuju lantai tempat Gea tinggal sekarang.
“Gak bisa. Aku harus memastikan kamu tiba di apartemen dengan selamat, Sayang.”
Ah, hati wanita mana coba yang gak berbunga-bunga dengan perilaku kekasihnya seperti ini. Apalagi ini kali pertama Gea memiliki kekasih secara resmi!
Gea tak menampik. Ia suka dengan cara Gara memperlakukannya. Kata-kata manis dan tindakannya begitu mengguncang hatinya. Nyaris setiap detik.
“Kamu… gak berencana untuk cari-cari alasan untuk nginep di sini, kan?” tuduh Gea penuh curiga.
Gara tampak menggelengkan kepala dengan senyuman mengembang. “Enggak dong! Untuk apa juga aku nginep di sini sementara aku udah punya rumah. Jangan aneh-aneh kamu!”
“Bukan aku yang aneh-aneh, Ga. Aku cuma takut kamu punya niatan yang aneh. Udah lift buka, kamu langsung balik aja.”
“Kok gitu sih? Aku haus. Mau minum dulu bentar.”
“Nah, kan? Akal-akalan aja kamu. Orang kaya beli minuman kemasan aja di supermarket. Gak usah numpang-numpang minum.”
“Zero waste, Gea. Cintailah lingkungan dengan tidak membeli barang-barang yang hanya akan jadi sampah nantinya. Mending aku nebeng minum di apartemen kamu. Lebih sehat juga, kan?”
Pintu lift terbuka detik itu juga. Gea langsung menahan Gara agar tetap berada di dalam lift.
“Pulang, Sayang. Oke?”
Wajah Gara langsung kusut. “Besok aku ke sini bawain kamu sarapan.”
“Gak usah.”
“Aku ke sini besok. Bye!”
Pintu lift tertutup dengan senyuman lebar dari arah Gara. Gea tak punya waktu menolak keinginan laki-laki itu.
Ketika ia balik badan, Gea dapati Dion tengah berdiri memerhatikannya dari pintu apartemen dengan senyum mengembang.
“Cieh… punya pacar juga lo?”
“Mau apa lagi lo ke sini?”
“Lo harus ikut gue, Ge.”
“Gue mau istirahat. Besok aja.”
“Bokap sakit. Dia di rumah sakit sekarang.”
Gea seketika itu juga menarik tangan Dion untuk segera keluar dari apartemen. Memencet tombol lift dengan tergesa-gesa, tak hentinya mengentakkan kaki menunggu lift turun, sampai menggenggam erat tangan adiknya.
“Di rumah sakit mana?”
“Rumah sakit Quala.”
“Sakitnya karena apa?”
“Dia kecelakaan, Ge. Tabrak lari.”
“Hah? Gak parah kan lukanya Bapak?”
Dion mencoba setenang mungkin menceritakan detailnya. Ia tentu tak mau membuat kakaknya semakin kalap mendengar apa yang sebenarnya terjadi.
Tepat ketika keduanya tengah menunggu taksi datang, mobil Gara tiba-tiba menepi di dekat mereka.
“Kalian mau ke mana?”
“Gara!” Gea spontan berteriak dengan senyum semringah. Bercampur dengan perasaan lega.
“Mau ke mana malam-malam begini?” tanya Gara lagi dengan rasa penasaran. Raut wajahnya juga tampak begitu serius. Ingin segera mendapatkan jawaban yang lebih pasti.
“Bapakku kecelakaan. Dia… di rumah sakit sekarang.” Gea merengek dengan isak tangis yang akhirnya pecah.
“Masuk ke mobil! Aku antar kalian kesana sekarang!”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro